Jakarta, IDN Times - Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) tengah disoroti karena kebutuhan investasi atau anggaran yang membengkak (cost overrun) hingga 1,9 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp26,98 triliun (kurs Rp14.203). KCJB merupakan proyek yang termasuk dalam program Belt Road Initiative (BRI) atau One Belt One Road (OBOR) yang diusung oleh Pemerintah China.
Proyek KCJB pertama dicetuskan pada akhir 2015. Lalu, didirikanlah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) berdasarkan akta No 86 tanggal 16 Oktober 2015 dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dalam Surat Nomor AHU-2461647 AH.01.01.11 Tahun 2015 tanggal 20 Oktober 2015.
PT KCIC merupakan gabungan dari konsorsium Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia yang memegang 60 persen saham, dan konsorsium Tiongkok yakni Beijing Yawan HSR Co Ltd, sebagai pemegang 40 persen saham.
Konsorsium Indonesia itu terdiri dari empat BUMN, yakni PT Wijaya Karya (WIKA) dengan 38 persen saham, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan masing-masing 25 persen, serta PT Jasa Marga dengan 12 persen.
Kemudian, pada 2016 proyek KCJB ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.