Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi e-commerce (pexels.com/AS Photography)
ilustrasi e-commerce (pexels.com/AS Photography)

Intinya sih...

  • Penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh bukan pajak baru, hanya pergeseran mekanisme.

  • Kebijakan ini memudahkan administrasi, tutup celah shadow economy, dan UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap dapat perlakuan khusus.

  • Perlu dilakukan bertahap dan tidak ganggu pertumbuhan UMKM, serta dongkrak kepatuhan perpajakan.

Jakarta, IDN Times – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah memfinalisasi rencana penunjukan platform marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang berjualan melalui skema Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Dengan demikian, barang-barang yang dijual pedagang secara online di e-commerce nantinya akan dikenai PPh yang dipungut melalui pihak marketplace. Namun, rencana tersebut memicu beragam respons dari masyarakat, termasuk kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat berdampak terhadap omzet pedagang, khususnya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

1. Bukan pajak baru, hanya pergeseran mekanisme

Ditjen Pajak RI

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) DJP, Rosmauli, menegaskan kebijakan ini bukan merupakan bentuk pajak baru, karena kebijakan ini hanya mengatur pergeseran mekanisme pemungutan PPh dari yang sebelumnya dilakukan secara mandiri oleh pedagang, kini dilakukan secara otomatis oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk.

"Perlu dipahami bahwa pada prinsipnya, pajak penghasilan dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, termasuk dari hasil penjualan barang dan jasa secara online," ujar Rosmauli, Kamis (26/6/2025).

Dengan sistem ini, menurutnya, pedagang justru akan lebih dimudahkan karena proses administrasi perpajakan akan dilakukan secara otomatis dan terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan.

2. Permudah administrasi dan tutup celah shadow economy

Ilustrasi APBN (IDN Times/Arief Rahmat)

Selain memberikan kemudahan administrasi, kebijakan ini juga bertujuan untuk memperkuat pengawasan atas aktivitas ekonomi digital dan menutup celah shadow economy, terutama dari pedagang yang belum menjalankan kewajiban perpajakan. Banyak dari mereka yang belum patuh karena kurangnya pemahaman atau anggapan bahwa sistem pajak terlalu rumit.

"Dengan melibatkan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22, diharapkan kepatuhan para pelaku usaha bisa meningkat secara proporsional dan kontribusi perpajakan menjadi lebih mencerminkan kapasitas ekonomi yang sebenarnya," tegasnya.

3. UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap dapat perlakuan khusus

Ilustrasi UMKM. (Dok. Bank Mandiri)

DJP memastikan pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tetap tidak dikenai pemungutan pajak. Hanya UMKM yang memiliki omzet di atas angka tersebut yang akan dikenai PPh Pasal 22 melalui sistem pemungutan oleh marketplace.

"Kebijakan ini tidak mengubah substansi ketentuan perpajakan lainnya," tegas Rosmauli.

Saat ini, peraturan terkait masih dalam tahap finalisasi di internal pemerintah. DJP berkomitmen untuk menyampaikan ketentuan tersebut secara terbuka dan transparan kepada publik begitu aturan resmi diterbitkan.

4. Perlu dilakukan bertahap dan tidak ganggu pertumbuhan UMKM

Ilustrasi e-commerce (IDN Times/Arief Rahmat)

Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menyampaikan jika marketplace ditunjuk sebagai pemungut pajak, kebijakan ini akan berdampak langsung terhadap jutaan penjual, khususnya UMKM digital.

"Penting bagi kami memastikan kesiapan sistem, dukungan teknis, serta komunikasi yang efektif kepada para seller," jelasnya kepada IDN Times, Rabu (25/6/2025).

idEA menyatakan siap bekerja sama dengan DJP untuk mendukung kebijakan perpajakan yang adil dan transparan. Namun, mereka mendorong penerapan yang hati-hati dan bertahap, agar tidak menghambat pertumbuhan UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi digital nasional.

5. Dongkrak kepatuhan perpajakan

ilustrasi pajak (IDN Times/Aditya Pratama)

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai mekanisme pemungutan oleh pihak ketiga, seperti marketplace, akan mendorong tingkat kepatuhan pajak, terutama di sektor UMKM.

"Mayoritas merchant di e-commerce adalah UMKM. Sementara itu, Gross Merchandise Value (GMV) ekonomi digital Indonesia, sekitar 72 persennya berasal dari sektor e-commerce," ujarnya, Jumat (27/6/2025).

Ia menambahkan, mekanisme pemungutan serupa sudah diterapkan untuk layanan digital asing, seperti video streaming, dan terbukti efektif meski pelaku usaha berada di luar negeri. Tingkat kepatuhan pajak juga biasanya lebih tinggi bila dilakukan melalui pihak ketiga, seperti PPh 21 karyawan yang dipotong oleh perusahaan.

Editorial Team