Gejolak Tarif Dagang, BI Tahan BI Rate di Level 5,75 Persen

- BI tetapkan suku bunga acuan tetap di 5,75 persen, deposit facility 5 persen, dan lending facility 6,5 persen pada April 2025.
- Ketidakpastian ekonomi global meningkat akibat kebijakan tarif resiprokal AS dan retaliasi dari China, menurunkan volume perdagangan dunia.
- Ekspektasi kenaikan Fed Funds Rate (FFR) tahun ini dan tahun depan mendorong aliran modal global bergeser ke aset yang dianggap aman seperti negara Eropa, Jepang, dan komoditas emas.
Jakarta, IDN Times – Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan atau BI Rate tetap berada di level 5,75 persen pada April 2025.
Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang diselenggarakan pada 22–23 April 2025.
“Demikian juga suku bunga deposit facility tetap 5 persen dan lending facility tetap 6,5 persen,” ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam Konferensi Pers Hasil RDG BI Periode April, Rabu (23/4/2025).
Perry menjelaskan, keputusan ini konsisten dengan upaya bank sentral menjaga prakiraan inflasi tahun 2025 dan 2026 agar tetap terkendali dalam sasaran 2,5 persen ±1 persen.
1. Ketidakpastian global meningkat

Perry menambahkan, ketidakpastian ekonomi global semakin tinggi, didorong oleh kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat pada awal April.
Tarif resiprokal ini pun direspons beberapa negara dengan melakukan langkah retaliasi seperti dari China. Hal ini memperburuk fragmentasi ekonomi global.
"(Gejolak ini) menurunkan volume perdagangan dunia," jelasnya.
2. Proyeksi ekonomi global melambat

Akibatnya, laju ekonomi global pada 2025 diperkirakan menurun dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen. Penurunan terbesar terjadi di Amerika Serikat dan China, sebagai dampak dari perang tarif dagang antara kedua negara tersebut.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negara maju dan berkembang lainnya juga diperkirakan melambat. Hal ini disebabkan oleh dampak langsung dari penurunan ekspor ke AS, serta dampak tidak langsung dari turunnya volume perdagangan dunia.
"Perang tarif dan dampak negatifnya terhadap pertumbuhan ekonomi AS, China, dan global memicu peningkatan ketidakpastian di pasar keuangan, serta mendorong perilaku investor untuk menarik dananya," kata Perry.
3. BI fokus stabilkan rupiah dan mendorong pertumbuhan ekonomi

Di sisi lain, yield U.S. Treasury menurun, dan indeks mata uang dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia (DXY) melemah, di tengah peningkatan ekspektasi kenaikan Fed Funds Rate (FFR) tahun ini dan tahun depan.
Aliran modal global mulai bergeser dari Amerika Serikat ke negara dan aset yang dianggap aman (safe haven), seperti negara-negara Eropa, Jepang, serta komoditas seperti emas.
Kondisi ini mendorong Bank Indonesia untuk tetap fokus pada stabilitas nilai tukar rupiah, di tengah meningkatnya ketidakpastian global, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.