Seorang penumpang pesawat melewati selasar menuju akses boarding Bandara Ahmad Yani Semarang. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Mahalnya harga tiket pesawat domestik pun kemudian menimbulkan pertanyaan apa yang menjadi penyebab utamanya. Dari sisi pemerintah, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan, kurangnya jumlah pesawat yang bisa beroperasi menjadi salah satu pemicu utama mahalnya harga tiket rute domestik.
“Jadi airline ini kan lagi aktual nih, tiket mahal gitu kan. Jadi, sebenarnya Indonesia itu turun sekali jumlah maskapainya. Jadi, kita itu dulu pernah di jumlah pesawat itu 500-an lebih. Sekarang, turun hanya ke sekitar 400-an. Jadi ini memang problem, memang jumlah airline kita turun signifikan," tutur pria yang karib disapa Tiko tersebut.
Pemerintah, kata Tiko, sebenarnya telah berupaya maksimal untuk menurunkan harga tiket pesawat. Namun, dia mengakui pesawat-pesawat di Indonesia memiliki spesifikasi yang mahal sehingga harga tiketnya harus disesuaikan.
Selain itu, Tiko juga menekankan pesawat-pesawat yang digunakan Indonesia berbeda dengan di Eropa dan Amerika. Tiko merujuk ke jenis pesawat yang digunakan oleh Garuda Indonesia.
"Pesawat kita ini mahal-mahal. Jadi, kalau teman-teman lihat, yang pernah ke luar negeri naik pesawat di Amerika atau Eropa, pesawat kita Garuda 737NG sama 320, itu spesifikasinya bagus banget. Kayak naik Alphard, bukan Hiace dan omprengan, iya kan? Jadi, kan susah kita ngomong. Tiket yang omprengan buat naik Alphard kan gak mungkin. Gak mungkin balik modal Alphard," tuturnya.
Tiko menegaskan, pesawat yang digunakan dalam penerbangan di Indonesia memiliki kualitas terbaik. Sederet maskapai, terutama Garuda Indonesia telah membeli pesawat dengan kualitas terbaik sejak dulu.
"Jadi, bahasanya seperti itu. Bahwa, kita tuh dulu pesawatnya yang best quality semua dan yang besar, 307, 330, maupun yang kecil 737NG maupun 320 itu, semuanya tuh best quality," ujar dia.
Hal itu yang kemudian membuat maskapai di Indonesia menerapkan harga tiket tinggi untuk penerbangannya.
"Ya itu gak mungkin kita charge dengan tiket omprengan karena tidak akan balik modal," kata Tiko.
Selain itu, harga tiket pesawat yang mahal juga warisan dari maskapai penerbangan sejak dulu dibawa hingga sekarang. Ada kaitan pula dengan utang antara maskapai dan lessor perihal pembelian armada pesawat.
"Jadi, memang ya kita berusaha turunkan efisiensi, naikkan volume penerbangan, beli pesawat baru. Tapi, juga kita gak bisa terlalu murah karena kita gak akan untung kalau terlalu murah," ujar Tiko.
Di sisi lain, pengamat penerbangan Alvin Lie mengungkapkan, harga tiket pesawat domestik tidak fleksibel seperti ke luar negeri. Hal itu menjadi alasan mengapa harga tiket pesawat domestik menjadi isu yang besar sehingga mengharuskan pemerintah mengintervensi untuk menurunkannya.
"Seharusnya harga tiket pesawat (domestik) itu fleksibel seperti harga tiket ke luar negeri, itu kan fleksibel. Hari tertentu mahal, hari berikutnya bisa murah karena mengikuti mekanisme pasar. Ketika ramai harganya mahal. Ketika sepi harganya murah," ujar Alvin kepada IDN Times.
Alvin lantas mengungkapkan alasan mengapa harga tiket pesawat domestik tidak fleksibel, yakni tidak adanya revisi tarif batas atas (TBA) sejak 2019 atau dalam lima tahun terakhir. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi maskapai-maskapai di Indonesia yang banyak mengalami kenaikan biaya operasi.
"Ini sudah lima tahun lebih biaya-biaya operasi maskapai penerbangan ini sudah naik. Kursinya berubah, harga avtur juga sudah naik, biaya-biaya tetap seperti gaji, sewa kantor, sewa fasilitas bandara, harga tarif listrik dan semuanya itu sudah berubah, tapi harga tiket domestik itu tidak boleh berubah," tutur Alvin.
Atas dasar hal tersebut, maskapai-maskapai di Indonesia jadi tidak punya pilihan untuk menetapkan harga tiket pesawat domestik yang tinggi. Alvin menambahkan, maskapai-maskapai tidak bisa melakukan subsidi laiknya yang dilakukan untuk menjual harga tiket pesawat rute internasional.
"Akhirnya maskapai penerbangan tidak punya pilihan lain selain menetapkan harga tiketnya pada tarif batas atas, tidak bisa saling subsidi seperti harga tiket internasional di mana ketika ramai tinggi, itu untuk menyubsidi ketika sepi harganya dibanting disubsidi dari laba ketika ramai," ujar dia.