5 Fakta di Balik Sengkarut Pinjaman Fintech 

LBH menerima aduan dari 1.330 peminjam online

Jakarta, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menemukan sedikitnya 14 jenis pelanggaran hukum dan hak konsumen dari peminjam dana berbasis financial technology (fintech). LBH menginventaris kasus dari konsumen yang mengadu hingga 23 November lalu. 

Pelanggaran yang dilakukan sejumlah penyelenggara peer to peer (P2P) lending diduga berkaitan erat dengan pelanggaran hak atas rasa aman dan hak aplikasi pinjaman daring.

Untuk mengurai temuan-temuan LBH lainnya, berikut adalah fakta-faktanya:

1. Sebanyak 1.330 korban melaporkan berbagai jenis pelanggaran akibat pinjaman fintech

5 Fakta di Balik Sengkarut Pinjaman Fintech IDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Berdasarkan laporan LBH, di antara 1.330 korban aplikasi pinjaman yang mengadu, ada pelanggaran hak konsumen yang dilakukan oleh pihak penyelenggara pinjaman daring.

Tercatat, 1.145 orang mengadukan masalah bunga yang terlalu tinggi dan tanpa batas, 1.100 laporan penagihan dilakukan kebanyak pihak termasuk kontak darurat, penyebaran data pribadi sebanyak 915 laporan, serta 662 korban melaporkan kontak dan lokasi kantor pinjaman daring tak jelas.

Sedang, untuk laporan pelanggaran hak konsumenn lainnya, seperti biaya administrasi yang tak jelas (674 laporan), aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan dan bunga terus berjalan (645 laporan), sudah bayar pinjaman, tapi tak masuk sistem dan tetap ditagih secara intimidatif (6 laporan), aplikasi tak bisa dibuka atau hilang di appstore/playstore saat jatuh tempo pengembalian (7 laporan), data KTP dipakai aplikasi lain tanpa izin peminjam (1 orang), dan virtual account yang salah sehingga bunga terus berkembang (2 orang).

Selanjutnya, ada juga pelanggaran hukum macam penyebaran informasi pada gawai (903 laporan), pengancaman, penipuan, fitnah, dan pelecehan seksual melalui media elektronik (781 laporan).

Sementara itu, semua pelapor juga mengadukan adanya pelanggaran karena penagihan dilakukan orang yang berbeda-beda dan pengambilan seluruh informasi yang ada pada seluruh gawai.

"Pengguna aplikasi pinjaman daring dimintakan akses ke seluruh data di gawainya. Lalu kemudian data ini menimbulkan bahaya lain," kata Pengacara Publik LBH Jakarta, Jaenny Silvia Sari Sirait kepada IDN Times.

2. Peminjam tak hanya menggunakan satu aplikasi pinjaman online

5 Fakta di Balik Sengkarut Pinjaman Fintech https://www.instagram.com/pixabay

Dari seluruh korban yang sudah melapor ke LBH, sekitar 48,48 persen menggunakan 1-5 aplikasi. Sisanya, korban menggunakan 6-40 aplikasi untuk melakukan pinjamannya.

Berdasarkan laporan tersebut dapat disimpulkan bahwa para korban menggunakan lebih dari satu aplikasi untuk melakukan pinjaman daring.

"Penyebabnya adalah ketika seseorang meminjam pada satu aplikasi, kita perlu ketahui bahwa ada bunga yang sangat besar ditetapkan penyelenggara. Untuk bayar bunga tersebut, si peminjam harus mengajukan pinjaman ke aplikasi lain," jelas Jeanny. 

Ini menjadi "lingkaran setan" karena untuk menutup bunga yang tinggi dari satu aplikasi itu, peminjam terpaksa harus meminjam uang pada aplikasi lain. "Sedangkan, pinjaman pokok pada aplikasi pertama tak bisa dibayarkan, itu terus berlanjut sampai menggunakan terus aplikasi serupa," beber Jeanny.

Baca Juga: Marak Fintech Bodong, Yuk Kenali 5 Cirinya Menurut OJK!

3. Pengguna aplikasi pinjaman daring tersebar dari 25 provinsi

5 Fakta di Balik Sengkarut Pinjaman Fintech Pixabay

Temuan LBH lainnya, sebaran korban dari pinjaman daring ternyata tak hanya di Jakarta saja. Para korban yang mengadu ke LBH Jakarta berasal dari 25 provinsi di Indonesia.

Namun demikian, pengadu terbanyak tetap berasal dari Jakarta (36,07 persen) yang kemudian diikuti Jawa Barat (27,24 persen), Banten (9,80 persen), Jawa Timur (8,30 persen), Jawa Tengah (7,10 persen), Sulawesi Utara (1,58 persen), Kalimantan Timur (1,35 persen), Bali (1,28 persen), dan lain-lain (7,47 persen).

"Namun, hal ini belum tentu menunjukkan bahwa banyaknya korban berasal dari Jakarta. Bisa jadi hal itu terjadi lantaran informasi mengenai pos pengaduan korban pinjaman online ini lebih banyak didengar di Jakarta. Itu menandakan pula bahwa belum tentu korban di tempat lain lebih sedikit," kata Jeanny.

Jika dianalisa lebih jauh, imbuhnya, permasalahan ini sudah bukan dianggap sebagai permasalahan wilayah saja, tapi sudah level nasional.

Baca Juga: Ini 8 Derita Peminjam Fintech yang Mengadu ke LBH Jakarta

4. Perempuan lebih banyak yang jadi korban pinjaman online

5 Fakta di Balik Sengkarut Pinjaman Fintech pixabay.com

Berdasarkan jenis kelamin korban, jumlah korban terbanyak adalah perempuan (72 persen) dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan 28 persen sisanya merupakan laki-laki.

"Profesinya macam-macam, ada yang pembantu rumah tangga, ada yang driver ojek online, ada juga ibu rumah tangga, bahkan ada juga yang manajer," ujar Jeanny.

5. Mayoritas penyelenggara pinjaman online bermasalah itu tak terdaftar di OJK

5 Fakta di Balik Sengkarut Pinjaman Fintech unsplash.com/ Artem Bali

Dari aplikasi pinjaman daring yang diduga bermasalah itu dan dilaporkan konsumennya itu, sebanyak 64 aplikasi (71,91 persen), tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sisanya, 25 aplikasi (28 persen) terdaftar di OJK. 

Jika berdasarkan pengaduan yang diterima LBH Jakarta, Jeanny menilai lembaga resmi yang tercatat di OJK tidak lantas menjamin bebas pelanggaran. 

Baca Juga: Awas! Ada Aplikasi Fintech Asal China yang Agresif Saat Tagih Utang 

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya