3 Alasan Isu Pengupahan Selalu Jadi Tuntutan Buruh saat May Day 

Sistem pengupahan di Indonesia dinilai belum mumpuni

Jakarta, IDN Times - Setiap 1 Mei, jutaan buruh melakukan aksi dalam peringatan Hari Buruh Internasional (May Day). Dari semua jenis tuntutan, upah selalu jadi hal utama yang disuarakan oleh para pekerja.

Mengapa demikian? Apa yang salah salam regulasi penetapan upah di negara kita? Simak ulasan lengkap dari Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Bhima Yudhistira berikut ini.

Baca Juga: Berawal dari Kerusuhan, Ini Sejarah 1 Mei sebagai Hari Buruh Sedunia

1. Suara pekerja kerap dinomorduakan dalam pembuatan regulasi

3 Alasan Isu Pengupahan Selalu Jadi Tuntutan Buruh saat May Day Aksi serikat buruh di depan Kementerian Ketenagakerjaan, Selasa (10/11/2020) (Dok. KSPI)

Menurut Bhima, pengupahan adalah masalah yang seharusnya bisa diselesaikan secara tripartit antara pengusaha, buruh, dan pemerintah sebagai penengah. Sejak PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, kata Bhima, pemerintah seakan menyalahkan pekerja.

Produktivitas ekonomi dinilai masih rendah, sehingga pemerintah terkesan berpihak pada pengusaha dengan mengeluarkan berbagai regulasi. "Suara dari pekerja itu dinomorduakan atas nama pertumbuhan ekonomi," kata Bhima.

2. Sistem pengupahan di Indonesia belum mumpuni

3 Alasan Isu Pengupahan Selalu Jadi Tuntutan Buruh saat May Day Ribuan buruh mengikuti aksi unjuk rasa di Jalan Daan Mogot, Kota Tangerang, Banten (ANTARA FOTO/Fauzan)

Bhima mengatakan, isu soal pengupahan akan terus ada selama konsesus tidak tercapai. Dia lantas membandingkan sistem pengupahan di Indonesia dengan negara-negara maju.

"Di negara maju para pekerja juga memiliki posisi tawar yang tinggi sehingga pengupahan bahkan selesai level perusahaan. Sebab, ada hubungan yang harmonis antara pengusaha dengan serikat pekerja, bahkan ada beberapa negara yang gak punya upah minimum," katanya.

Bhima melanjutkan, banyak negara Eropa tak punya upah minimum karena rata-rata jaminan sosialnya mencapai 27 persen dari PDB. Sementara, jaminan sosial di Indonesia belum mumpuni sehingga banyak orang menuntut upah minimum sebagai cara melindungi diri dari kemiskinan.

Baca Juga: Pasal Bermasalah soal Upah versi Buruh di Aturan Turunan Omnibus Law

3. Omnibus Law UU Cipta Kerja kian memperparah tuntutan pekerja soal pengupahan

3 Alasan Isu Pengupahan Selalu Jadi Tuntutan Buruh saat May Day Buruh menolak RUU Omnibus Law karena dianggap menghilangkan hak hak buruh (IDN Times/Prayugo Utomo)

Menurut Bhima, isu pengupahan terus bergulir setelah hadirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Sebab, banyak formulasi upah yang dianggap tidak melindungi para pekerja. "Kalau menengok PP Pengupahan, banyak yang tidak berpihak kepada para pekerja, termasuk soal formulasi perhitungan upah minimum," kata Bhima.

Kemudian, dia melanjutkan, ada satuan upah yang berdasarkan pada jam ataupun pada hasil dan waktu. Apabila hal ini diterapkan, misalnya untuk satuan waktu, ini akan sangat merugikan para pekerja, khususnya di sektor padat karya.

"Karena pada waktu pembuatan dari  UU Cipta Kerja maupun sampai adanya PP Pengupahan ini, keterlibatan suara pekerja dianaktirikan, jadi lebih berat kepada dunia usaha agar biaya produksi murah. Ini konflik ini yang saya kira perlu ditengahi oleh pemerintah," tuturnya.

Baca Juga: Kurir Ungkap Tekanan Kerja di Shopee: Upah Dipotong, Paket Harus Habis

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya