Melongok Aksi Ultraman Masuk Mal di Tengah Fenomena Rojali-Rohana

- Mal 'paksa' pengunjung belanja dengan event meet and greet Ultraman, syaratnya minimal Rp500 ribu transaksi atau Rp300 ribu belanja merchandise.
- Food court masih ramai, tetapi gerai lain seperti elektronik dan pakaian sepi karena pola belanja selektif.
- Fenomena rojali terjadi lama, disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat menengah ke bawah dan kelas menengah atas lebih berhati-hati dalam investasi.
Jakarta, IDN Times - Akhir pekan memang jadi momen tepat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga maupun orang tersayang. Mal pun menjadi salah satu pilihan tempat yang kerap dijadikan tempat untuk menghabiskan akhir pekan sebelum memulai aktivitas esok harinya.
Di tengah situasi ekonomi seperti saat ini, masyarakat masih banyak yang mengunjungi mal, entah untuk berbelanja, makan, nonton bioskop, atau sekadar nongkrong. Namun, akhir-akhir ini muncul fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya (rohana) yang terjadi di banyak mal dan cukup mengkhawatirkan bagi banyak pelaku usaha di dalamnya.
Untuk membuktikan hal tersebut, IDN Times pun mendatangi salah satu mal di pinggiran Jakarta, tepatnya di area Jakarta Garden City (JGC), Cakung, Jakarta Timur.
Pantauan IDN Times pada Minggu (27/7/2025), pengunjung di mal tersebut terlihat ramai di setiap lantainya. Terlihat pula banyak orang tua yang mengajak anak-anaknya ke mal tersebut. Tak sedikit juga pasangan muda di mal tersebut sibuk mencari sesuatu untuk dibeli atau mencari tempat makan sesuai mood mereka.
IDN Times pun menemui pasangan suami istri muda bernama Iwan dan Syifa yang kebetulan tengah berada di mal tersebut. Pasangan yang baru saja menikah sebulan lalu itu mengaku belum ada rencana berbelanja, tetapi hanya ingin makan dan mampir ke tempat photobox.
"Hari ini ke sini sih emang cuma mau makan, habis itu ke Selfie Time (tempat photobox) di dalam mal," kata Syifa (27) yang tinggal tidak jauh dari lokasi mal.
1. Cara mal 'paksa' pengunjung belanja

Pihak mal sebenarnya tidak kehabisan akal untuk 'memaksa' pengunjung untuk berbelanja di sana. Salah satunya dengan menggelar event meet and greet dengan Ultraman. Itu dilakukan pihak mal bekerja sama dengan tenant bioskop dan importir film Ultraman yang tengah tayang saat ini.
Banyak anak kecil yang meminta orang tuanya untuk ikut dalam meet and greet dengan Ultraman. Namun, hal tersebut bukannya gratis lantaran ada syarat dan ketentuan yang mesti dipenuhi.
"Untuk meet and greet dengan Ultraman syaratnya menunjukkan bukti pembayaran atau transaksi minimal Rp500 ribu di seluruh tenant mal atau minimal Rp300 ribu berbelanja merchandise Ultraman di area pameran," kata salah satu petugas dalam event tersebut.
Beberapa merchandise yang dijual di sana, di antaranya sepatu hasil kolaborasi dengan Precise, action figure Ultraman dan monsternya, kaos, jam dinding kolaborasi dengan Seiko, dan kartu yang bisa dikoleksi. Beragam merchandise tersebut dijual dengan rentang harga Rp100 ribuan hingga Rp700 ribuan.
Meet and greet digelar dalam empat kesempatan dalam sehari, yakni pukul 13.00 WIB, 15.00 WIB, 18.00 WIB, dan 20.00 WIB. IDN Times yang hadir di tengah acara tersebut mendapati antrean meet and greet sudah mengular sejak sebelum pukul 13.00 WIB dan didominasi anak-anak.
"Ini permintaan anak saya, katanya mau foto sama Ultraman. Jadinya tadi beli merchandise dulu di sini," kata salah satu orang tua yang tidak ingin disebutkan namanya.
Bukan cuma anak kecil, ada pula orang dewasa yang ikut dalam antrean tersebut dan ingin berpose serta berfoto dengan Ultraman.
Pria yang hanya ingin disebut dengan inisial M (26) contohnya, yang merupakan penggemar berat Ultraman. Dia bahkan sudah menggunakan merchandise sepatu yang dijual dalam pameran di mal saat beraksi dengan Ultraman di atas panggung.
"Kesempatan banget ini buat saya karena saya sangat suka Ultraman. Ini juga sudah beli banyak merchandise-nya," ujar dia.
2. Foodcourt masih jadi tempat paling ramai di mal

IDN Times kemudian beranjak ke lantai paling atas untuk melihat kondisi food court. Benar saja, saat tiba di sana, orang-orang ramai duduk menikmati makanan dan minuman yang mereka pesan.
Hampir semua gerai makanan di area food court sibuk melayani pengunjung. Petugas kebersihan tak henti membersihkan meja untuk menyambut pengunjung lain yang hendak makan di sana.
Selain area food court, restoran-restoran di lantai lainnya juga terpantau cukup ramai pengunjung. Selain food court dan restoran, gerai penjual alat-alat olahraga multibrand juga terlihat ramai pengunjung lantaran memberikan diskon buy one get one pada salah satu produknya.
Hal itu pun berbeda 180 derajat dengan gerai lain yang menjual barang-barang seperti jam tangan, peralatan elektronik, gawai, parfum, dan pakaian. Gerai-gerai yang menjual produk tersebut terlihat sepi sehingga pegawainya terpaksa terus menawarkan ke pengunjung produk jualannya.
Kondisi itu nyatanya sejalan dengan pernyataan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja yang menyebut saat ini pengunjung pusat perbelanjaan lebih selektif dalam berbelanja dibandingkan sebelumnya.
"Pola belanjanya, satu mereka jadi lebih selektif berbelanja. Kalau gak perlu, gak belanja. Kemudian kalau pun belanja, beli barang produk yang harga satuan, yang unit price-nya murah, itu yang terjadi," tutur Alphonzus.
3. Fenomena rojali terjadi sejak lama

Alphonzus pun turut menyampaikan pandangannya terhadap fenomena rojali dan rohana. Menurut dia, kedua hal tersebut bukanlah hal baru dan terjadi sejak lama.
"Sebetulnya kan bukan hal yang baru. Rojali itu kan bukan kali ini saja terjadi. Kan sebelum-sebelumnya sudah terjadi, cuma saja memang intensitas jumlahnya yang berbeda dari waktu ke waktu," kata Alphonzus.
Di tengah ramainya pembahasan rojali dan rohana, Alphonzus mengatakan, jumlah kunjungan masyarakat ke pusat-pusat perbelanjaan di Indonesia terus meningkat. Sayangnya, tidak berkorelasi dengan jumlah transaksi.
Makanya data APBBI menyatakan bahwa jumlah kunjungan ke pusat perbelanjaan tetap naik, meskipun tidak signifikan. Tetapi yang berubah itu kan pola belanjanya," ujar Alphonzus.
4. Daya beli melemah

Menurut Alphonzus, penyebab dari fenomena rojali dan rohana itu terbagi dua, berdasarkan kategori konsumen. Bagi konsumen yang berasal dari masyarakat menengah ke bawah, pelemahan daya beli jadi faktornya.
"Saya kira fenomena ini yang terjadi sekarang ini lebih karena daya beli masyarakat untuk yang kelas menengah bawah," ucap Alphonzus.
Sementara itu, konsumen kelas menengah atas lebih berhati-hati dalam belanja, karena mengutamakan dananya ke investasi.
"Jadi misalkan kalau yang di kelas menengah, atas penyebabnya misalkan mereka lebih Kehati-hatian dalam berbelanja. Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global, sehingga mereka belanja atau investasi," tutur Alphonzus.
5. Belanja masyarakat diprediksi membaik pada semester II-2025

Hal senada diungkapkan Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA, David Sumual. Dia mengatakan, fenomena rojali terlihat di mal atau pusat-pusat perbelanjaan akibat menurunnya konsumsi kalangan kelas menengah.
"Rojali ini memang kelihatan di mal-mal," kata dia dalam Editors Briefing Bank Indonesia di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) akhir pekan lalu.
Big data BCA menunjukkan, belanja masyarakat sejak awal tahun hingga Juni 2025 trennya menurun. Ini terutama terjadi pada konsumen kelas menengah ke atas, yang berkontribusi sebesar 70 persen terhadap konsumsi dalam negeri.
Menurut David, masyarakat saat ini lebih berhati-hati membelanjakan uangnya, terutama untuk barang mahal atau bermerek. Kebanyakan masyarakat ke mal hanya untuk makan atau mencari barang diskon.
Mereka lebih memilih menginvestasikan uangnya ke surat berharga atau emas karena imbal hasil yang ditawarkan.
"Instrumen investasi posisinya lagi menarik bagi mereka, jadi mereka (membelanjakan uangnya) ke sana dulu," ujarnya.
Bahkan, dia menambahkan, suplier barang mewah yang sempat dia temui menyatakan kondisi saat ini mirip dengan krisis moneter 1998.
"Saya ketemu suplier produk luxurious tas, arloji, mereka merasakan (konsumsi masyarakat melemah). Para pemegang merek (mengatakan), 'kok mirip-mirip waktu krisis, agak melemah'," tuturnya.
Kendati demikian, David meyakini, kondisi ini kan membaik pada semester II-2025. Hal itu didukung meredanya faktor eksternal seperti tarif Trump dan geopolitik, ditambah kebijakan pemerintah untuk mendongkrak daya beli masyarakat.
"Apalagi pemerintah mulai belanja dan ada stimulus juga, saya pikir kondisi semester II akan beda jauh dengan semester I (membaik)," ucap David.