Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memimpin sidang perdana penyelesaian hambatan usaha berdasarkan aduan pelaku usaha yang masuk melalui kanal debottlenecking Satuan Tugas Percepatan Program Strategis Pemerintah (Satgas P2SP)
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memimpin sidang perdana penyelesaian hambatan usaha berdasarkan aduan pelaku usaha yang masuk melalui kanal debottlenecking Satuan Tugas Percepatan Program Strategis Pemerintah (Satgas P2SP). (Dok/Istimewa).

Intinya sih...

  • PT Sumber Organik meminta kepastian alokasi BLPS 2025 dari APBN untuk menjaga keberlanjutan operasional PSEL Benowo.

  • PT Mayer Indah Indonesia kesulitan mengajukan kredit modal kerja senilai Rp4 miliar karena industri tekstil dianggap risiko tinggi oleh bank.

  • Keterbatasan modal membuat pabrik tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan baku secara optimal, menghambat pemenuhan pesanan dan berisiko terhadap keberlanjutan usaha.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memimpin sidang perdana penyelesaian hambatan usaha berdasarkan aduan pelaku usaha yang masuk melalui kanal debottlenecking Satuan Tugas Percepatan Program Strategis Pemerintah (Satgas P2SP), Selasa (23/12/2025).

Dalam sidang tersebut, dua perusahaan menyampaikan permasalahan yang berkaitan dengan keberlanjutan pendanaan proyek pengelolaan sampah serta akses pembiayaan bagi industri padat karya.

Paparan pertama disampaikan oleh PT Sumber Organik terkait belum adanya kepastian alokasi Biaya Layanan Pengelolaan Sampah (BLPS) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2025. Penghentian sementara bantuan tersebut dinilai berpotensi mengganggu operasional fasilitas Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) Benowo, Surabaya.

Aduan kedua disampaikan oleh PT Mayer Indah Indonesia.

1. Tidak dapatkan alokasi BLPS 2025

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memimpin sidang perdana penyelesaian hambatan usaha berdasarkan aduan pelaku usaha yang masuk melalui kanal debottlenecking Satuan Tugas Percepatan Program Strategis Pemerintah (Satgas P2SP). (Dok/Istimewa).

PT Sumber Organik meminta kepastian penganggaran BLPS dari APBN guna menjaga keberlanjutan operasional PSEL Benowo.

President Director PT Sumber Organik Agus Santoso mengatakan, perusahaan mengelola sekitar 1.000 ton sampah per hari di fasilitas PSEL Benowo yang berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 4 hektare.

“Proyek tersebut telah beroperasi sejak 10 Maret 2021 dengan nilai investasi sekitar Rp1,4 triliun,” ujarnya.

Menurut Agus, PSEL Benowo merupakan proyek percontohan nasional yang berkontribusi signifikan dalam mengurangi timbunan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), sekaligus menghasilkan energi listrik terbarukan. Seluruh proses pengolahan dilakukan sesuai prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan standar pengelolaan lingkungan.

Namun, hingga kini belum terdapat kepastian alokasi BLPS pada 2025. Padahal, bantuan BLPS dari APBN telah diterima perusahaan sejak 2021 dan berjalan lancar hingga 2024. Agus menegaskan, pendapatan dari BLPS merupakan salah satu komponen utama yang menopang kelayakan finansial proyek.

“Kendala yang kami alami adalah belum adanya kepastian penganggaran bantuan layanan pengolahan sampah pada 2025, padahal bantuan tersebut sebelumnya berjalan baik sejak 2021 hingga 2024,” ujarnya.

Ia menambahkan, apabila BLPS tidak dialokasikan, kondisi tersebut berpotensi mengganggu kinerja keuangan perusahaan dan keberlanjutan operasional PSEL Benowo.

Mengacu pada ketentuan peralihan Pasal 31 huruf a Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025, penyelenggaraan PSEL yang telah berjalan sebelum berlakunya aturan tersebut tetap mengikuti ketentuan Perpres Nomor 35 Tahun 2018.

Dengan demikian, pengalokasian BLPS dinilai tetap diperlukan untuk menjamin keberlanjutan operasional instalasi PSEL.

“Kami berharap BLPS dapat dianggarkan kembali pada 2025 dan tahun-tahun berikutnya, sehingga perusahaan dapat terus beroperasi serta memenuhi kewajiban kepada pihak pemberi pinjaman,” kata Agus.

2. PT Mayer Indah Indonesia susah dapatkan kredit

Ilustrasi APBN (IDN Times/Arief Rahmat)

General Manager PT Mayer Indah Indonesia Melisa Suria mengatakan, perusahaan kesulitan mengajukan kredit modal kerja senilai sekitar Rp4 miliar, sehingga sejumlah pesanan yang sudah ada tidak dapat diproses.

Ia mengungkapkan, sejak September hingga saat ini pihaknya telah mengajukan kredit ke lebih dari 20 bank, termasuk bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Namun, seluruh pengajuan tersebut ditolak dengan alasan kebijakan internal perbankan yang menilai industri tekstil berada pada kategori risiko tinggi.

“Industri tekstil dinilai berada di lampu oranye atau lampu merah, sehingga sangat tidak dipertimbangkan untuk diberikan kredit,” ujarnya.

3. Terbatasnya modal membuat pabrik tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan baku secara optimal

Ilustrasi APBN. (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih lanjut, Melisa menjelaskan pelaku industri tekstil nasional masih menghadapi tekanan berat, terutama dari sisi akses pembiayaan. Kondisi ini membuat pemulihan produksi berjalan terbatas, meski permintaan domestik mulai menunjukkan perbaikan seiring momentum Lebaran.

“Sejak September hingga Desember sudah terlihat kemajuan. Konveksi-konveksi yang sempat menghentikan produksi kini kembali beroperasi karena pesanan mulai masuk,” kata Melisa.

Namun, keterbatasan modal membuat pabrik tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan baku secara optimal. Saat ini, pembelian benang baru dapat dilakukan sekitar 30 persen hingga 40 persen dari total kebutuhan produksi, sehingga menghambat pemenuhan pesanan

Manajemen perusahaan menyebutkan, sekitar 80 persen penjualan masih ditopang pasar domestik, sementara 20 persen sisanya diekspor.

"Ekspor terus menurun akibat konflik geopolitik global yang mendorong lonjakan biaya logistik. Kenaikan tarif kontainer bahkan dinilai lebih mahal dibandingkan nilai barang yang dikirim," tegasnya.

Kondisi tersebut dinilai berisiko terhadap keberlanjutan usaha. Tanpa dukungan pembiayaan yang memadai, perusahaan mengkhawatirkan operasional tidak dapat dipertahankan dalam jangka menengah

Editorial Team