Ilustrasi alutsista TNI (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Curie menjelaskan, selama ini ada dua sumber pembiayaan yang umum digunakan dalam pengadaan alutsista, yakni yang berasal dari Kreditor Swasta Asing (KSA) dan Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE).
Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, berikut penjelasan tentang KSA dan LPKE:
KSA adalah lembaga keuangan asing, lembaga keuangan nasional, atau lembaga non keuangan asing yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik Indonesia, yang memberikan pinjaman kepada pemerintah berdasarkan perjanjian pinjaman tanpa jaminan dari lembaga penjamin kredit ekspor.
LPKE adalah lembaga yang ditunjuk negara asing untuk memberikan jaminan, asuransi, pinjaman langsung, subsidi bunga, dan bantuan keuangan untuk meningkatkan ekspor negara yang bersangkutan, atau bagian terbesar dari dana tersebut dipergunakan untuk membeli barang/jasa dari negara bersangkutan yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Selain KSA dan LPKE, masih ada dua sumber pinjaman luar negeri yang bisa dilakukan berdasarkan Pasal 6 beleid, yakni Kreditor Multilateral, Kreditor Bilateral.
Kreditor Multilateral sangat kecil kemungkinannya ditempuh oleh pemerintah. Lain halnya dengan Kreditor Bilateral, yang masih berpotensi menjadi pilihan pemerintah. Pengertiannya dalam aturan itu:
Bilateral adalah pemerintah negara asing atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah negara asing atau lembaga yang bertindak untuk pemerintah negara asing yang memberikan pinjaman kepada Pemerintah.
Tauhid Ahmad menilai jika dikomparasikan, opsi utang melalui pinjaman luar negeri lebih menguntungkan. Bunga SBN tercatat sebesar 6 - 7 persen. Sementara bunga pinjaman luar negeri relatif lebih rendah, yakni 1 - 2 persen.
Kendati bunga yang ditawarkan oleh pinjaman luar negeri lebih rendah, namun utang tersebut bersifat mengikat. Artinya, perjanjian yang ada dalam pinjaman bilateral tersebut harus dipatuhi.
"Komponen yang dibeli harus ABCD, tenaga kerjanya dari mereka. Alih alih mencari nilai tambah malah gak dapet apa-apa," ucapnya.
Namun di sisi lain, pemerintah bisa mencari nilai tambah dengan cara membangun industrinya di Indonesia. Hal tersebut akan memberi banyak manfaat untuk perekonomian Tanah Air. Semua tergantung konsolidasi dari kedua negara.
"Kalau misalnya dibangun di sini, ini ada alih teknologi, ada bahan baku yang dipake, material, teknologi. Bagusnya ada alih teknologi, kemudian ada penggunaan komponen dalam negeri, kemudian pekerja dari kita," tuturnya.
"Bilateral bisa beberapa tergantung jenisnya, tergantung komponennya. Kalau dia join satu alat alutsista dibangun oleh beberapa negara itu bisa mengajukan," tambahnya.
Bagaimana pun, Tauhid juga mengingatkan bahwa utang luar negeri yang akan dilakukan pemerintah akan tetap membebani APBN. Sebab, bunga utang dan pokok yang harus dibayarkan masuk dalam belanja pemerintah dalam APBN.
"Misalnya beli alat dari Tiongkok, tergantung pemerintah Tiongkok ngasih pinjaman berapa banyak dan berapa tahun. Itu tetap APBN (terbebani), karena bunga utang dan pokoknya muncul pada belanja pemerintah pusat," terangnya.
Jika Indonesia jadi mengajukan pinjaman luar negeri untuk anggaran pengadaan alutsista, ketentuannya sudah diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengajuan Usulan, penilaian, Pemantauan, dan Evaluasi Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dan Hibah.
Sementara, aturan teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Alur prosesnya adalah sebagai berikut:
Alur proses pinjaman luar negeri untuk alutsista (IDN Times/Aditya Pratama)