KPPU menilai pembatasan impor bensin non-subsidi hanya 10 persen di atas volume tahun sebelumnya perlu dievaluasi karena berdampak langsung terhadap operasional badan usaha swasta. Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025 yang diterbitkan Kementerian ESDM pada 17 Juli 2025. Berdasarkan analisis KPPU, pembatasan itu menyebabkan konsumen kehilangan pilihan produk BBM nonsubsidi dan memperbesar dominasi pasar Pertamina.
Data KPPU menunjukkan, tambahan volume impor yang diterima badan usaha swasta hanya berkisar antara 7 ribu hingga 44 ribu kiloliter, sementara Pertamina Patra Niaga mendapatkan tambahan sekitar 613 ribu kiloliter. Kondisi itu membuat pangsa pasar Pertamina mencapai 92,5 persen, sedangkan swasta hanya sekitar 1–3 persen.
KPPU menilai, situasi tersebut berkaitan dengan indikator dalam Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU), terutama terkait pembatasan jumlah pasokan dan penunjukan pemasok tertentu.
Aturan yang mewajibkan badan usaha swasta membeli pasokan dari Pertamina ketika stok habis dinilai dapat menimbulkan potensi pembatasan pasar, diskriminasi harga, serta memperkuat dominasi pelaku tertentu.
Evaluasi berkala atas kebijakan impor BBM nonsubsidi dianggap perlu agar tercipta iklim usaha yang seimbang antara badan usaha milik negara dan swasta. KPPU menilai keseimbangan tersebut penting untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional yang dicanangkan pemerintah.
Lembaga itu berharap setiap kebijakan pemerintah di sektor energi tetap mengacu pada prinsip persaingan usaha yang sehat, agar tujuan menjaga ketahanan energi nasional dapat tercapai tanpa mengorbankan hak konsumen atas pilihan dan pelayanan yang adil.