Sepakati Dekarbonisasi, G7 Gagal Tetapkan Deadline Batu Bara

Hasil konsensus akan dimasukkan dalam KTT G7 di Hiroshima

Jakarta, IDN Times - Para menteri negara G7 bidang iklim, energi, dan lingkungan, menggelar pertemuan pada 15-16 April 2023 di Sapporo, Jepang utara. Pada pertemuan tersebut, para menteri membahas perubahan iklim guna menyelesaikan konsensus soal penghapusan emisi karbon, termasuk di sektor kelistrikan dan kendaraan.

Pertemuan itu juga menandai yang pertama dari serangkaian pertemuan tingkat menteri secara langsung, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 yang akan berlangsung pada Mei mendatang di Hiroshima.

G7 menyerukan tindakan yang ambisius untuk mewujudkan netralitas karbon atau dekarbonisasi pada 2050. Hal itu dilakukan melalui percepatan penghentian penggunaan gas alam dan bahan bakar fosil lainnya, serta perluasan penggunaan sumber terbarukan sebagai cara untuk meningkatkan keamanan energi di tengah Perang Rusia di Ukraina.

Baca Juga: Menteri ESDM Minta G7 Dukung Ekonomi Negara Berkembang

1. Komitmen Jepang dalam pertemuan menteri G7

Dalam pertemuan itu, para menteri lingkungan dan energi G7 telah berjanji untuk mempercepat peralihan menuju energi yang lebih bersih dan terbarukan. Namun, mereka gagal menetapkan tenggat waktu yang jelas untuk mengakhiri penggunaan tenaga batu bara setelah pembicaraan dua hari berlangsung.

Tokyo yang memimpin pertemuan tersebut, enggan menyetujui kerangka waktu tertentu soal penghapusan penggunaan batu bara. Terlebih dimasukkannya gas alam dalam tujuan penghentian bertahap, menambah tekanan pada Jepang.

Hal ini mengingat, Jepang tidak hanya sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kelima di dunia, tapi juga miskin sumber daya. Jepang kemungkinan kebutuhannya bergantung pada sumber energi setidaknya sekitar 20 persen dari pembangkit listriknya pada fiskal 2030, selain dari batu bara sekitar 19 persen dan minyak mentah sekitar 2 persen.

Meski begitu, Jepang akan bekerja keras untuk menghentikan apa yang disebut bahan bakar fosil yang terus berlanjut sambil menunjukkan dukungan dari rekan-rekan G7 dalam penggunaan bahan bakar fosil untuk saat ini.

"Kami mengkonfirmasi bahwa kami akan mencapai netralitas karbon sambil mengakui bahwa jalan untuk mencapai target itu akan bervariasi, tergantung pada keadaan dan situasi energi masing-masing negara," kata Yasutoshi Nishimura, Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang saat konferensi pers, dikutip dari Kyodo News.

Baca Juga: Inggris Jajaki Peluang Kerja Sama Energi Terbarukan dengan NTB 

2. G7 dalam menanggapi krisis iklim

Sepakati Dekarbonisasi, G7 Gagal Tetapkan Deadline Batu BaraIlustrasi aktivis lingkungan yang melakukan aksi unjuk rasa. (Unsplash.com/Li-An Lim)

Dalam pertemuan tersebut, para menteri mengeluarkan komunike setebal 36 halaman yang menjabarkan komitmen mereka. Komunike tersebut tidak hanya tentang bahan bakar fosil, mereka juga menegaskan kembali komitmen mendekarbonisasi sektor listrik pada 2035 sepenuhnya atau sebagian besar, setidaknya 50 persen. 

Selain itu, mereka juga menekankan pentingnya memastikan pasokan mineral penting, yang digunakan dalam banyak produk teknologi tinggi, stabil, dan sesuai dengan standar lingkungan. Ini termasuk litium dan kobalt yang pasokannya bergantung pada negara tertentu, seperti China.

Mereka juga berambisi untuk mengurangi polusi plastik tambahan menjadi nol pada 2040. Target tersebut lebih maju dari kesepakatan oleh kerangka kerja G20 yang lebih luas pada 2019 selama 10 tahun.

Baca Juga: Pertamina Renewable Diesel Bukti Implementasi Dekarbonisasi Mendunia

3. Tantangan energi dan perang di Ukraina

Sepakati Dekarbonisasi, G7 Gagal Tetapkan Deadline Batu BaraIlustrasi pembangkit listrik tenaga gas. (pexels.com/Kindel Media)

Isu keamanan energi telah menjadi agenda utama para menteri G7 di tengah invasi Rusia ke Ukraina. Hal tersebut berimbas pada lonjakan harga minyak dan gas. Hal ini pun mendorong beberapa importir beralih ke batu bara dan gas alam, yang menyebabkan lambatnya upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Untuk diketahui, negara-negara G7 yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Prancis, serta Uni Eropa, menyumbang 40 persen dari aktivitas ekonomi dunia dan seperempat dari emisi karbon global, dikutip dari AP News.

Upaya mereka dalam dekarbonisasi sangat penting, juga dukungan negara-negara G7 terhadap negara-negara berkembang lainnya untuk lebih banyak memberikan bantuan karena sering menderita imbas dari perubahan iklim.

Rahmah N Photo Verified Writer Rahmah N

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya