Tanpa Lockdown, Pertumbuhan Ekonomi Bisa Negatif hingga Akhir Tahun

Pemerintah perlu segera memutuskan penerapan lockdown

Jakarta, IDN Times - Desakan kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk menerapkan lockdown secara keseluruhan sebagai imbas dari ledakan kasus COVID-19 semakin masif. Berbagai pihak mulai dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), epidemiolog, ekonom, hingga masyarakat yang tergabung dalam Komunitas Lapor COVID-19 mendesak Jokowi segera menarik rem darurat alias memberlakukan karantna wilayah selama dua minggu.

Hal sama pun diutarakan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, saat dihubungi IDN Times perihal dampak lockdown terhadap pertumbuhan ekonomi domestik pada kuartal II 2021.

"Sebenarnya kita terlambat untuk putuskan lockdown di awal, tetapi lebih baik terlambat dibanding tidak sama sekali. Sebaiknya segera diputuskan saja, kalau mau lockdown ya secara nasional, tidak bisa satu provinsi memutuskan lockdown, tidak akan efektif," tutur Bhima, Selasa (22/6/2021).

Baca Juga: Andai RI Lockdown Lebih Awal, 'Ongkosnya' Tak Sampai Rp100 Triliun

1. Proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal II pasti terganggu

Tanpa Lockdown, Pertumbuhan Ekonomi Bisa Negatif hingga Akhir TahunIlustrasi lockdown (IDN Times/Arief Rahmat)

Kemudian, bagaimana dampak lockdown terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah pada kuartal II tahun ini? Bhima menuturkan, tanpa lockdown pun, proyeksi tersebut akan terganggu akibat ledakan kasus COVID-19 pasca-lebaran.

Berbagai sektor utama yang berkaitan dengan mobilitas seperti transportasi, perhotelan, restoran, dan ritel dapat dipastikan masih mengalami penurunan seiring dengan adanya kebijakan pengetatan mobilitas alias PPKM.

Maka dari itu, Bhima sangsi jika proyeksi pertumbuhan ekonomi 7-8 persen pada kuartal II 2021 bisa tercapai.

"Tumbuh positif karena momentum Ramadan dan lebaran dimana THR dibayar penuh tahun ini. Namun, apakah bisa tumbuh sampai 7-8 persen? Saya perkirakan hanya positif 2 persen year on year di kuartal kedua," sambungnya.

2. Kebijakan lockdown menyeluruh bisa berdampak baik pada pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun

Tanpa Lockdown, Pertumbuhan Ekonomi Bisa Negatif hingga Akhir Tahun(Ilustrasi pertumbuhan ekonomi) IDN Times/Arief Rahmat

Meski begitu, Bhima memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2021 berpotensi terkontraksi dan kembali negatif, bahkan hingga kuartal IV. Hal itu bisa terjadi jika pemerintah tidak mengambil langkah serius guna menangani ledakan kasus COVID-19.

"Di kuartal ke-III, outlook-nya ekonomi berisiko kembali kontraksi, bisa negatif, tapi harapannya segera dilakukan saja lockdown yang efektif sehingga kontraksi tidak berlanjut sampai kuartal ke IV," tambah Bhima.

Selain itu, Bhima juga mengingatkan kepada pemerintah untuk tidak lagi membuat pilihan antara kesehatan versus perekonomian. Hal itu terbukti hanya membuat penanganan COVID-19 tidak beranjak ke mana-mana dan jadi bumerang bagi pemulihan kesehatan masyarakat serta ekonomi.

"Pemerintah juga sering mengadu narasi antara pilihan kesehatan dan ekonomi, padahal coba-coba pelonggaran untuk pemulihan ekonomi misalnya pembukaan tempat wisata secara prematur justru blunder bagi ekonomi sendiri," ungkap Bhima.

3. Desakan berbagai pihak kepada pemerintah untuk terapkan lockdown menyeluruh

Tanpa Lockdown, Pertumbuhan Ekonomi Bisa Negatif hingga Akhir Tahun(Ilustrasi lockdown) IDN Times/M. Tarmizi Murdianto

Sebelumnya diberitakan, banyak pihak telah mendesak pemerintah menerapkan lockdown secara menyeluruh. Desakan pertama datang dari Ketua Satgas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Zubairi Djoerban.

"Saran saya. Lebih bijaksana bagi Indonesia untuk terapkan lockdown selama dua minggu. Untuk apa? Memperlambat penyebaran, meratakan kurva, menyelamatkan fasilitas kesehatan, dan yang pamungkas: menahan situasi pandemi jadi ekstrem yang akan membahayakan lebih banyak nyawa," cuitnya di akun Twitter @profesorzubairi yang sudah dikonfirmasi IDN Times, Senin (21/6/2021).

Selain IDI, Komunitas Lapor COVID-19 telah menginisiasi petisi yang ditujukan kepada Jokowi untuk segera menerapkan karantina wilayah atau lockdown. Ribuan orang dari beragam latar belakang pun sudah meneken petisi dan surat terbuka tersebut.

"Bapak Jokowi yang bijak, dalam situasi darurat kesehatan publik seperti sekarang, bukan waktunya memikirkan ekonomi. Cukup berhenti sementara memikirkan hal-hal tersebut dalam kurun waktu tiga bulan ke depan dan konsentrasi penuh menyelesaikan masalah pandemi," demikian bunyi surat terbuka yang diunggah oleh Lapor COVID-19 di akun media sosialnya sejak Jumat, 18 Juni 2021 lalu.

Ekonom senior, Faisal Basri tak ketinggalan mengkritik pemerintah yang tidak memberlakukan lockdown sejak awal pandemik COVID-19 melanda Indonesia. Menurut Faisal, ongkos dari kebijakan tersebut tidak akan semahal anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang nilainya mencapai hampir Rp700 triliun.

"Kalau kita bayangkan lockdown dilakukan di awal, dulu Jakarta kita kunci. 3 minggu lah ya, kira-kira anggarannya nggak sampai Rp100 triliun," kata Faisal dikutip dari channel YouTube CISDI TV, Senin (21/6/2021).

Untuk saat ini, Faisal menilai lockdown bisa diprioritaskan pada pulau-pulau yang jumlah penduduknya besar. Pemerintah bisa kembali mengoptimalkan relokasi anggaran untuk penanganan tersebut.

"Kita lihat Kemenhan anggarannya di atas Rp100 triliun, infrastruktur bisa ditunda, pemindahan ibu kota bisa ditunda.Kalau di situasi sekarang sekalipun dana sulit masih bisa tergantung political will, asal ekonominya difokuskan untuk membiayai dampak dari pengetatan mobilitas sosial," imbuh dia.

Topik:

  • Anata Siregar
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya