Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)
Dalam diskusi Leadership Forum IDN Times, Andi menjelaskan kenaikan tarif perdagangan secara drastis di era Presiden Amerika Serikat Donald Trump memunculkan kekhawatiran akan terjadinya badai ekonomi global.
Meski terjadi lonjakan tarif yang mencapai 25–32 persen tampak mencemaskan, situasinya tidak seburuk era Smoot-Hawley Tariff Act pada awal abad ke-20. Saat itu, AS menerapkan tarif efektif sebesar 20 persen di tengah Depresi Besar 1929, yang kemudian memperparah krisis ekonomi global dan menjadi salah satu pemicu munculnya rezim chauvinisme di Eropa seperti Benito Mussolini dan Adolf Hitler.
"Tarif Trump memang tiba-tiba naik tinggi. Tapi, dia datang bukan di saat ekonomi dunia sedang guncang total. Ini bukan perfect storm seperti tahun 1930-an," ujar Rizal.
Meskipun ada perlambatan, kondisi ekonomi global saat ini masih jauh lebih stabil dibanding masa antara perang dunia kedua.
Ironisnya, kebijakan Trump yang proteksionis muncul di tengah pertumbuhan ekonomi Amerika relatif kuat dalam dua dekade terakhir.
Bagi Indonesia, kondisi global ini menjadi tantangan tersendiri. Pertumbuhan ekonomi dalam dua dekade terakhir memang relatif stabil yakni di era Presiden SBY mencatat rata-rata 6 persem era Jokowi di kisaran 5 persen, sementara era Soeharto sempat mencapai 7–8 persen. Namun, belakangan pertumbuhan menurun ke sekitar 4,8 persen (kuartal I 2025).
"Apakah ini penurunan jangka panjang ekonomi Indonesia? Atau hanya dampak kebijakan pemerintah yang berbeda?" ujar Rizal.
Dia menjelaskan semakin besar skala ekonomi sebuah negara, kian sulit untuk tumbuh pesat. Hal ini terbukti di Amerika, Jepang, dan Eropa yang kini tak mungkin lagi mencatatkan pertumbuhan 5–6 persen seperti negara berkembang.
Namun, Indonesia masih punya peluang untuk mewujudkan target Presiden Prabowo Subianto merealisasikan pertumbuhan ekonomi tumbuh ke 8 persen
Menurutnya, tantangan utama ke depan adalah memperkuat iklim investasi baik domestik maupun asing dan memastikan regulasi tidak justru menghambat potensi pertumbuhan.
"Kita perkuat ekonomi dan kemampuan kita dong. Jangan sampai kita business-nya kurang friendly pada investment (baik dalam maupun luar negeri)," ujarnya