Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi ekonomi (pexels.com/crazy motions)
ilustrasi ekonomi (pexels.com/crazy motions)

Intinya sih...

  • Pemerintah perlu keluarkan strategi lain untuk genjot pertumbuhan ekonomi.

  • Dominasi sektor pajak dalam pendapatan berpotensi bebani masyarakat.

  • Transfer ke daerah alami penurunan signifikan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) mengkritik target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2026. Ekonomi yang ditargetkan tumbuh sebesar 5,4 persen pada 2026 dinilai terlalu optimistis dan tidak mencerminkan kondisi riil yang dihadapi masyarakat Indonesia.

Sekretaris Jenderal FITRA Misbah Hasan menilai target yang ditetapkan pemerintah dalam RAPBN 2026 cenderung bersifat “pencitraan” belaka, tanpa didasarkan pada tren dan realitas ekonomi beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan data, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia tiga tahun sebelum pandemi (2017–2019) hanya berada pada angka 5,09 persen year on year (yoy). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan ekonomi tiga tahun pasca pandemi (2022–2024) tercatat sedikit lebih tinggi, yakni 5,13 persen (yoy).

“Dengan melihat tren historis yang tidak terlalu fluktuatif, menetapkan target pertumbuhan 5,4 persen pada 2026 adalah bentuk optimisme berlebihan. Ini bukan target realistis, apalagi jika mempertimbangkan kondisi ekonomi global yang belum stabil dan tantangan domestik yang belum terselesaikan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (18/8/2025).

1. Pemerintah perlu keluarkan strategi lain untuk genjot pertumbuhan ekonomi

Ilustrasi APBN. (IDN Times/Aditya Pratama)

Seknas FITRA menilai untuk mencapai target 5,4 persen pada 2026, pemerintah memerlukan upaya luar biasa di tengah berbagai tekanan global seperti perang dagang antarnegara, ketegangan geopolitik, serta perlambatan ekonomi di negara mitra dagang utama. Selain itu, kondisi domestik seperti daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya juga menjadi hambatan besar.

Salah satu indikator penting dalam perekonomian, yakni konsumsi rumah tangga, mengalami stagnasi dalam tiga tahun terakhir. Data menunjukkan bahwa tingkat konsumsi rumah tangga Indonesia pada periode 2022 hingga 2024 hanya tumbuh rata-rata 4,87 persen, jauh dari harapan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Program-program perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP), dan berbagai jenis subsidi, yang selama ini diharapkan mampu menopang daya beli masyarakat, dinilai masih banyak yang salah sasaran. Akibatnya, intervensi pemerintah belum mampu meningkatkan konsumsi secara signifikan.

“Jika konsumsi masyarakat sebagai penggerak utama ekonomi saja tidak menunjukkan perbaikan berarti, lalu dari mana pertumbuhan 5,4 persen itu akan datang? Pemerintah seharusnya memperbaiki efektivitas program sosial, bukan hanya memoles angka makro untuk menunjukkan keberhasilan,” tambah Seknas FITRA.

2. Dominasi sektor pajak dalam pendapatan berpotensi bebani masyarakat

ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara itu, dalam RAPBN 2026, pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun. Dari angka tersebut, Rp2.692 triliun atau 85,5 persen berasal dari sektor perpajakan, meningkat sebesar 11,3 persen dibandingkan outlook APBN 2025. Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya menyumbang Rp455 triliun atau 14,5 persen, bahkan mengalami penurunan sebesar 4,8 persen dibandingkan outlook sebelumnya.

Menurut Seknas FITRA, dominasi sektor pajak dalam struktur pendapatan ini justru berpotensi menambah beban masyarakat kecil, terutama jika sistem pemungutannya masih bermasalah. FITRA mencatat sejumlah persoalan krusial dalam sistem perpajakan nasional saat ini.

  1. Sistem Coretax yang Belum Stabil
    Implementasi sistem pelayanan perpajakan berbasis teknologi (Coretax) masih menghadapi berbagai kendala teknis dan operasional. Ketidakstabilan sistem ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pajak masih rendah.

  2. Lemahnya Integrasi dan Pengawasan Sistem Penerimaan Negara
    Ketidakterpaduan antara sistem pajak, bea cukai, dan PNBP menyebabkan akurasi data rendah serta pengawasan yang lemah. Hal ini berdampak pada tidak optimalnya penerimaan negara dan meningkatnya potensi kebocoran.

  3. Tingginya Sengketa Pajak Akibat Pemeriksaan yang Lemah
    Kualitas pemeriksaan pajak masih menjadi masalah, karena belum mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Akibatnya, sengketa pajak semakin meningkat, dan kepastian hukum bagi wajib pajak terganggu.

  4. Fragmentasi Pusat-Daerah Pascaundang-Undang HKPD
    Setelah disahkannya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), desain pajak dan tata kelola di daerah masih belum sinkron. Contoh kasus dapat dilihat di Kabupaten Pati, di mana kenaikan pajak/retribusi terjadi secara sepihak oleh Pemda tanpa koordinasi jelas. FITRA memperingatkan bahwa kasus serupa bisa menyebar ke daerah lain.

  5. Minimnya Transparansi dalam Belanja Perpajakan (Tax Expenditure)
    Belanja perpajakan yang diperkirakan mencapai Rp563,6 triliun masih belum terbuka secara menyeluruh. Sekitar 50 persen belanja ini berasal dari PPN dan PPnBM, yang justru banyak diberikan kepada sektor industri pengolahan (25 persen). Sementara sektor penting seperti air minum, sanitasi, pendidikan, dan kesehatan justru mendapat alokasi sangat kecil — masing-masing hanya 11 persen, 0,5 persen, dan 5 persen.

“Struktur pendapatan ini membuktikan bahwa masyarakat kecil masih menanggung beban fiskal yang berat, sementara manfaatnya belum terasa secara adil. Pemerintah harus berani mereformasi sistem pajak secara menyeluruh dan transparan,” tegas Seknas FITRA.

3. Transfer ke daerah alami penurunan signifikan

ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih lanjut, Misbah menilai potensi resentralisasi keuangan negara dan melemahnya kepercayaan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah tampak semakin nyata dalam postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Hal ini tercermin dari porsi belanja negara yang semakin didominasi oleh pemerintah pusat, menyisakan bagian yang sangat kecil bagi daerah.

Dalam RAPBN 2026, total Belanja Negara ditetapkan sebesar Rp3.876,5 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp3.136,5 triliun atau sekitar 83 persen dialokasikan untuk belanja Pemerintah Pusat. Sementara itu, Transfer ke Daerah (TKD) hanya mendapat alokasi sebesar Rp650 triliun atau 17 persen dari total belanja. Angka ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan alokasi TKD tahun 2025 yang mencapai Rp919,9 triliun dan outlook APBN 2025 sebesar Rp864,1 triliun.

"Ada kecenderungan alokasi anggaran dikuasai oleh Pemerintah Pusat dengan jumlah K/L yang gemuk atau terjadi resentralisasi keungan negara. Sementara daerah hanya dikasih ‘remah-remah’ dengan berbagai earmark yang menyertainya," tegasnya.

Earmaking TKD adalah Transfer Keuangan Pusat ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya, sehingga daerah kesulitan mengalokasikan untuk prioritas pembangunan di daerahnya masing-masing. Ini artinya, Daerah tidak lagi dipercaya oleh Pemerintah Pusat dalam mengelola anggaran negara untuk pencapaian pembangunan.

4. Program prioritas Presiden Prabowo cenderung bersifat top down tanpa melalui kajian kelayakan

Ilustrasi APBN (IDN Times/Arief Rahmat)

FITRA menilai sebagian besar anggaran negara 2026 diserap oleh program-program prioritas Presiden yang bersifat top-down, tidak melalui kajian kelayakan yang memadai, dan minim partisipasi publik. Beberapa program tersebut antara lain:

  • Program Ketahanan Energi: Rp402,4 triliun

  • Ketahanan Pangan: Rp164,6 triliun

  • MPG (Makan Bergizi Gratis): Rp335 triliun

  • Pendidikan, termasuk Sekolah Rakyat: Rp757,8 triliun

  • Kesehatan, termasuk program Cek Kesehatan Gratis: Rp244 triliun

  • Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (80.000 koperasi): Rp400 triliun melalui skema pinjaman ke Bank Himbara

  • Program Pertahanan Semesta, Pembangunan 3 Juta Rumah, dan program lainnya

Program-program ini tidak hanya menyedot dana besar, tetapi juga mengandung risiko tinggi penyimpangan. Studi yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) terhadap Program MBG misalnya, menemukan indikasi potensi korupsi sistemik. Beberapa masalah yang diidentifikasi antara lain:

  • Regulasi yang belum kokoh

  • Penunjukan mitra pelaksana seperti Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dilakukan secara tertutup

  • Koordinasi antarsektor yang lemah

  • Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) yang tidak transparan

Editorial Team