Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi harga minyak (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi harga minyak (IDN Times/Arief Rahmat)

Intinya sih...

  • Harga minyak dunia bisa melambung hingga menembus 130 dolar AS per barel apabila Iran benar-benar menutup Selat Hormuz.

  • Pemerintah dapat memaksimalkan peran APBN sebagai “shock absorber”.

  • Pemerintah menyiapkan skenario naikkan harga BBM subsidi 10 persen.

Jakarta, IDN Times - Ketegangan geopolitik yang memanas di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Iran, kembali menimbulkan kekhawatiran global. Eskalasi konflik yang meningkat pada Juni berpotensi mendorong lonjakan harga minyak dunia. Bagi Indonesia, negara yang masih bergantung pada impor energi, gejolak tersebut bisa menjadi ancaman serius bagi stabilitas fiskal.

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, pemerintah dihadapkan pada dilema dalam penetapan harga BBM di dalam negeri. Kalau harga BBM subsidi tidak dinaikkan, beban APBN akan membengkak. Namun, kenaikan harga minyak dunia akan semakin menguras devisa untuk membiayai impor BBM dan makin melemahkan kurs rupiah.

"Kalau harga BBM subsidi dinaikkan, sudah pasti akan memicu inflasi yang menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, sehingga menurunkan daya beli rakyat dan pertumbuhan ekonomi," tegasnya, Senin (9/6/2025).

Untuk tahun 2025, pemerintah telah mengalokasikan anggaran subsidi energi sebesar Rp203,4 triliun. Dari jumlah itu, subsidi BBM hanya sekitar Rp26,7 triliun, sementara subsidi LPG tabung 3 kg mencapai Rp87 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp89,7 triliun. Dengan kondisi lonjakan harga minyak global bisa dengan cepat menggerus pos-pos anggaran yang ada, bahkan mengancam program pembangunan.

 

 

 

 

1. Pemerintah diminta realistis hadapi ketidakpastian global

Infografis Bara Geopolitik Timur Tengah (IDN Times/Shakti)

Proyeksi JP Morgan menyiratkan kemungkinan yang lebih mengkhawatirkan, harga minyak dunia bisa melambung hingga menembus 130 dolar AS per barel apabila Iran benar-benar menutup Selat Hormuz—jalur strategis yang menjadi nadi distribusi sekitar 20 persen pasokan minyak global.

Jika skenario tersebut menjadi kenyataan, Indonesia akan berada dalam posisi sulit, menghadapi tekanan berlapis: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terancam terbebani lebih berat akibat subsidi energi yang membengkak, sementara pelemahan nilai tukar rupiah turut memperkeruh upaya menjaga keseimbangan ekonomi nasional di tengah gejolak global yang tak menentu.

Fahmy pun meminta pemerintah lebih realistis dalam menetapkan kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, dengan mengacu pada indikator-indikator ekonomi yang terukur, khususnya harga minyak dunia. Penyesuaian harga dinilai penting untuk menjaga stabilitas fiskal dan menghindari tekanan berlebih pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurutnya selama harga minyak dunia masih berada di bawah 100 dolar per barel, tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Namun, jika harga minyak mentah dunia menembus ambang batas tersebut, pemerintah tidak memiliki banyak pilihan selain melakukan penyesuaian harga.

“Pemerintah sebaiknya bersikap realistis dan tidak menunda keputusan yang sulit. Kalau harga minyak dunia masih di bawah 100 dolar AS per barel, harga BBM bersubsidi sebaiknya tetap. Tapi bila harga sudah di atas itu, maka mau tidak mau subsidi harus dikendalikan, salah satunya melalui penyesuaian harga,” ujarnya.

2. Harga minyak diklaim masih berada di batas aman

Ilustrasi harga minyak (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengatakan harga minyak dunia saat ini masih berada dalam batas aman, di bawah asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) yang digunakan dalam APBN 2025, yakni sebesar 82 dolar AS per barel. Menurutnya, selama harga minyak belum melewati asumsi ICP dalam APBN, maka ruang fiskal pemerintah masih aman dan terkendali.

Data terkini menunjukkan bahwa harga minyak mentah Brent berada di level USD 67,31 per barel. Sementara minyak mentah WTI tercatat USD 65,07 per barel per 27 Juni 2025. Harga tersebut dinilai masih jauh dari ambang batas yang dapat memicu tekanan fiskal signifikan.

“Saat ini harga belum menyentuh 82 dolar. Masih di kisaran 75, bahkan ada yang naik ke 76 atau 79. Artinya dari sisi harga minyak, kita masih sangat aman. Subsidi BBM masih dalam kontrol angka-angka APBN,” tegas Misbakhun.

3. Pemerintah siapkan skenario naikkan harga BBM subsidi 10 persen

Ilustrasi kenaikan harga minyak (IDN Times/Arief Rahmat)

Namun demikian, pemerintah telah menyiapkan skenario jika harga minyak dunia melambung hingga 100 dolar AS per barel. Dalam simulasi tersebut, inflasi nasional diprediksi tetap dalam batas aman, yakni di kisaran 2,70 persen, masih dalam rentang target inflasi 2,5±1 persen.

“Jika harga minyak melampaui 82 dolar AS hingga 100 dolar AS per barel, dan pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sekitar 10 persen, kita masih berada dalam batas toleransi inflasi,” jelasnya.

Meski demikian, ia menekankan perlunya kehati-hatian dalam mengambil keputusan soal penyesuaian harga BBM bersubsidi. Menurutnya, kebijakan tersebut harus ditakar dengan cermat agar tidak berdampak buruk pada daya beli masyarakat dan kestabilan harga barang kebutuhan pokok.

4. Ruang fiskal di APBN masih mencukupi

Ilustrasi APBN (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, juga menegaskan bahwa fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai penyangga ekonomi masih berjalan secara efektif.

Salah satu risiko utama yang menjadi perhatian pemerintah adalah potensi dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap inflasi, terutama melalui harga bahan bakar minyak (BBM). Namun, menurut Deni, pemerintah masih memiliki ruang fiskal yang cukup untuk mengendalikan efek tersebut melalui mekanisme subsidi dan kompensasi.

“Harga minyak dunia saat ini masih berada di bawah asumsi APBN 2025 sebesar 82 dolar AS per barel. Harga Brent akhir pekan ini diperkirakan berada di kisaran 77,27 dolar AS per barel, sementara rata-rata Indonesian Crude Price (ICP) sepanjang tahun ini masih di bawah 73 dolar AS per barel,” ungkap Deni.

5. Maksimalkan APBN sebagai shock absorber

Ilustrasi APBN. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dengan posisi harga minyak yang relatif terkendali, pemerintah dapat memaksimalkan peran APBN sebagai “shock absorber” atau penyangga keuangan negara dalam menyerap guncangan ekonomi dari sisi harga energi global.

Lebih lanjut, Deni menyebut bahwa kemampuan APBN dalam merespons dinamika global bukan hanya sebatas teori, tetapi merupakan bentuk nyata dari ketahanan fiskal yang terus dijaga untuk memastikan roda perekonomian tetap berputar meskipun di tengah ketidakpastian global.

"Level tekanan masih berada dalam rentang yang aman, dan belum memberikan dampak yang signifikan baik terhadap perekonomian maupun kinerja industri jasa keuangan dalam negeri, termasuk terhadap kinerja fiskal," tegasnya.

Editorial Team