Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dampak Perang Iran-Israel Bisa Bebani APBN RI

Ilustrasi APBN. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi APBN. (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Laju ekonomi global berpotensi melambat akibat ketegangan geopolitik dan kebijakan dagang proteksionis.
  • Kenaikan harga minyak menjadi beban bagi APBN karena biaya impor bisa membengkak.
  • Naiknya harga energi dunia menjadi tantangan bagi APBN, bisa membuat defisit melebar dan memicu peningkatan kredit bermasalah di sektor perbankan.

Jakarta, IDN Times – Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel kian meningkat dengan adanya keterlibatan Amerika Serikat (AS). Serangan AS ke tiga fasilitas nuklir Iran berujung pada langkah penutupan Selat Hormuz yang menjadi jalur vital bagi perdagangan energi dunia. Kondisi ini terjadi di tengah kebijakan tarif dagang Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump yang memicu volatilitas di pasar keuangan global yang berisiko berdampak pada perekonomian domestik serta memperlambat laju ekonomi dunia.

Dalam laporan Indonesia Economic Outlook yang bertajuk "Navigating the Risk: Gaining the Momentum", Tim Ekonomi Bank Mandiri mencatat, ketegangan geopolitik dan kebijakan dagang yang proteksionis bisa memperlambat laju ekonomi global. Aktivitas perdagangan dunia diperkirakan turun, ditambah tekanan pada harga komoditas seperti minyak, batu bara, dan crude palm oil (CPO).

Konflik di Timur Tengah justru memicu lonjakan harga minyak mentah dunia yang berdampak pada meningkatnya inflasi global dan pertumbuhan ekonomi yang melemah. Gelombang volatilitas di pasar global kali ini jauh lebih besar dibanding masa kepemimpinan Trump sebelumnya.

Lantas, bagaimana pengaruh kondisi global itu terhadap Indonesia?

1. Kenaikan harga minyak pengaruhi perdagangan komoditas Indonesia

Ilustrasi keterpurukan ekonomi global. (Pixabay.com/geralt)
Ilustrasi keterpurukan ekonomi global. (Pixabay.com/geralt)

Tim Ekonomi Bank Mandiri mengakui naiknya harga minyak memang bisa jadi angin segar bagi ekspor energi Indonesia. Namun di sisi lain, biaya impor juga bisa membengkak hingga membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), apalagi kalau harga energi dunia terus menanjak.

Harga komoditas andalan Indonesia seperti CPO, batu bara, dan nikel juga ikut bergantung pada arah permintaan global dan tensi dagang antara AS dan China. Nasib perdagangan Indonesia tahun ini bisa sangat ditentukan oleh hasil negosiasi antara dua raksasa ekonomi dunia itu.

2. Kenaikan harga minyak-energi dunia bebani APBN

Ilustrasi impor (Dok Bea Cukai)
Ilustrasi impor (Dok Bea Cukai)

Naiknya harga energi dunia juga menjadi tantangan bagi APBN. Hal ini bisa membebani APBN, khususnya karena subsidi bisa membengkak dan bikin defisit APBN melebar. Dengan demikian, Bank Indonesia mungkin tak punya banyak pilihan selain menaikkan suku bunga acuan untuk meredam tekanan inflasi.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, menjelaskan bahwa saat ini harga minyak global masih berada di bawah asumsi APBN 2025 yang ditetapkan sebesar 82 dolar AS per barel.

Ia merinci, harga minyak Brent pada akhir pekan lalu tercatat sebesar 77,27 dolar AS per barel (end of period/eop), sementara rata-rata harga Indonesian Crude Price (ICP) sepanjang tahun berjalan (year-to-date/ytd) masih berada di bawah 73 dolar AS per barel.

3. Kemenkeu sebut APBN 2025 masih miliki ruang fiskal dalam menghadapi tekanan

Gedung Kemenkeu (kemenkeu.go.id)
Gedung Kemenkeu (kemenkeu.go.id)

Menanggapi kekhawatiran terkait potensi kenaikan harga minyak dunia yang dapat menambah beban fiskal, Deni menegaskan APBN 2025 masih memiliki ruang fiskal yang memadai untuk mengantisipasi tekanan eksternal.

"Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki ruang fiskal yang cukup untuk menghadapi tekanan eksternal maupun kebutuhan belanja negara ke depan," ujar Deni saat dihubungi, Senin (23/6/2025).

Ia menegaskan ruang fiskal yang cukup untuk meredam dampak rambatan eksternal ke dalam negeri, khususnya dari sisi tekanan harga minyak terhadap inflasi. Salah satu risiko utama adalah potensi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akibat lonjakan harga minyak dunia. Namun, tekanan tersebut dinilai dapat diredam melalui skema subsidi dan kompensasi yang telah disiapkan pemerintah.

“Masih terdapat ruang fiskal untuk menyerap risiko inflasi terhadap perekonomian domestik melalui kebijakan subsidi dan kompensasi tersebut,” ujarnya.

Ia menegaskan, fungsi APBN sebagai shock absorber atau peredam kejut dalam menghadapi gejolak ekonomi global masih berjalan dengan baik. Pemerintah juga akan terus memantau dinamika global guna memastikan kebijakan fiskal tetap responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi ekonomi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us