AMTI Minta RUU Kesehatan Tak Ancam Ekosistem Pertembakauan 

Pemerintah perlu pertimbangkan berbagai hal

Jakarta, IDN Times - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengingatkan pemerintah agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan tidak mengganggu ekosistem pertembakauan.

Menurut Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono, rancangan undang-undang tersebut rentan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan, terutama terkait pengaturan zat adiktif.

“Sejak awal elemen ekosistem pertembakauan sebagai bagian dari masyarakat tidak diakomodirnya suaranya untuk memberikan masukan terkait RUU Kesehatan tersebut. RUU Kesehatan ini dibuat dengan sangat eksesif dan diskriminatif terhadap elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan,” katanya dalam diskusi Mengawal Rancangan Regulasi yang Eksesif dan Diskriminatif Terhadap Ekosistem Pertembakauan di Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Baca Juga: AMTI Tolak Intervensi Asing Terhadap Aturan Tembakau di Tanah Air

1. AMTI keberatan jika tembakau disejajarkan dengan narkotika

AMTI Minta RUU Kesehatan Tak Ancam Ekosistem Pertembakauan Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono. (IDN Times/Trio Hamdani)

Pemerintah memang belum merilis draf RUU Kesehatan. Namun, berdasarkan dokumen yang diperoleh AMTI dari sumber lain, menurut Hananto secara substansi pasal 154 mengenai pengaturan zat adiktif memposisikan tembakau sejajar dalam satu kelompok dengan narkotika dan psikotropika.

Pihaknya keberatan akan hal tersebut. Sebab, tembakau sebagai komoditas strategis nasional merupakan produk legal yang berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.

“Tembakau, produknya, aktivitas pekerjanya, semuanya adalah legal. Tembakau telah berkontribusi nyata terhadap pembangunan negeri ini tapi dalam RUU Kesehatan justru diperlakukan seperti narkoba. Ini adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Harapan kami, wakil rakyat, DPR RI, dapat membantu mengawal RUU Kesehatan dengan sebenar-benarnya dan seadil-adlinya,” ujarnya.

Kata dia, tembakau juga menjadi tumpuan masyarakat dalam mencari pemasukan. Data yang dia paparkan ada 6 juta tenaga kerja mulai dari sektor perkebunan, manufaktur hingga industri kreatif yang bergantung pada ekosistem pertembakauan.

“Lagi-lagi dalam proses perumusan regulasi, pemangku kepentingan pertembakauan tidak pernah dilibatkan. Tentu saja situasi ini menyakiti jutaan jiwa yang menggantungkan penghidupannya dalam ekosistem pertembakauan,” terangnya.

Baca Juga: Pengusaha IHT: PP Tembakau Masih Relevan, Tinggal Diperbaiki Sedikit

2. Pengaturan tembakau harus dipisahkan dengan zat adiktif narkotika

AMTI Minta RUU Kesehatan Tak Ancam Ekosistem Pertembakauan Dosen Ilmu Hukum Universitas Trisakti Ali Rido. (IDN Times/Trio Hamdani)

Dosen Ilmu Hukum Universitas Trisakti Ali Rido memberikan penilaian dari sudut pandang hukum, dan dia menilai pasal 154 mengenai pengaturan zat aditif dalam RUU Omnibus Law Kesehatan seharusnya fokus mengatur tembakau dalam ranahnya sendiri.

”Pengaturan harusnya dibedakan karena kandungan nikotin dalam tembakau tidak sama dengan zat adiktif narkoba. Saya melihat RUU Kesehatan ini mendorong, memuluskan jalan untuk penghapusan penggunaan tembakau secara perlahan," tuturnya.

Dia pun menyinggung pendapat pemerintah dalam Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010 yang menyatakan pengaturan tembakau dan produk yang mengandung tembakau bertujuan untuk melakukan pengamanan atas konsumsinya, bukan menghilangkan tembakau atau produk yang mengandung tembakau. UU hanya melakukan pengamanan dan perlindungan kesehatan bukan pelarangan.

“Dilihat dari sisi adiktifnya, nikotin itu (rokok) terletak sejajar dengan kafein dan tidak sama tingkatnya dengan opium, kokain, ganja, halosinogen, ataupun macam-macam zat se-adiktif hipnotik sehingga pengaturan mengenai rokok tidak pernah disetarakan dengan pengaturanmengenai narkotika dan obat-obatan terlarang. Kopi, teh dan cokelat yang mengandung kafein juga merupakan zat adiktif," tambahnya.

Baca Juga: Benarkah Rokok Elektrik Lebih Aman dari Rokok Konvensional?

3. Aturan tentang KTR dianggap menekan konsumen

AMTI Minta RUU Kesehatan Tak Ancam Ekosistem Pertembakauan IDN Times/Debbie Sutrisno

AMTI juga menyoroti pasal 157 mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang dianggap sangat eksesif. Sebab, di dalam pasal 157, pasal 2 dan 3 terkait Kawasan Tanpa Rokok, menekankan bahwa pemerintah daerah wajib menerapkan KTR. 

"Kata wajib tersebut erat kaitannya dengan implikasi yuridis (pengaturan dan penerapan sanksi) atas penerapan KTR itu sendiri,” terang Hananto.

Ali Rido juga menilai penekanan utama terkait sanksi hanya ditujukan pada perokok, bukan pada instansi yang gagal atau tidak menerapkan KTR. Dia mempertanyakan bagaimana dengan pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang tidak menyediakan tempat khusus merokok yang justru tidak dikenakan sanksi.

"Ini justru menunjukkan sanksi berlebihan dan tidak sejalan dengan penentuan sanksi pidana dengan Modified Delphi Method yang dianut KUHP Baru,” tambah Ali Rido.

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya