Bos MIND ID Tuding Vale Tidak Komit Investasi di Indonesia
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Direktur Utama Mining Industry Indonesia (MIND ID), Hendi Prio Santoso menilai PT Vale Indonesia Tbk (INCO) tak bersungguh-sungguh menggarap investasi di Indonesia. Ada tiga hal yang menjadi dasar tudingan tersebut.
Dia menyoroti rencana pengembangan di Blok Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Di dalam Kontrak Karya (KK) sudah ada kewajiban pengembangan kapasitas produksi sebesar 25 persen.
"Akan tetapi sejak 2014 sampai terakhir itu dua kali gagal dilakukan, dan Vale mengajukan usulan substitusi dari kewajiban berupa tambang nikel dan HPAL di Sorowako. Jadi, tidak mengembangkan RKEF lagi tapi mengajukan substitusi menjadi HPAL," kata dia dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (29/8/2023).
Pengembangan fasilitas pengolahan nikel (smelter) reduction kiln-electric furnace (RKEF) yang tak jadi dilakukan, dan diajukannya pengembangan smelter dengan teknologi hidrometalurgi atau high pressure acid leach (HPAL) masih dalam tahap studi persiapan.
"Ini harus dicatat karena ini terkait dengan syarat dalam Kontrak Karya yang harus diikuti," ujar Hendi.
Baca Juga: MIND ID Ngotot Jadi Pengendali Vale Usai Caplok Saham
1. MIND ID sebut Vale kurang komitmen di proyek Pomalaa
Hendi juga menyinggung kewajiban pengembangan tambang nikel dan HPAL di Pomalaa, yang mana usulannya berubah, yang tadinya akan dikerjasamakan dengan Sumitomo tapi diubah menjadi dengan mitra terkait pembuatan detail engineering desain (DED), dengan kapasitas proyek sebesar 120 kilo ton per tahun (KTPA)
Terkait hal tersebut, MIND ID berpendapat bahwa Vale S.A, selaku pemegang saham pengendali perusahaan Vale Indonesia tidak berkomitmen dalam berinvestasi di Indonesia.
"Nah, ini juga kami nilai menunjukkan betapa Vale S.A itu sebenarnya kurang menunjukkan komitmen investasi, kenapa? karena mereka hanya akan minta yang namanya call option (hak untuk membeli)," tutur Hendi.
Menurutnya, call option berarti Vale tidak memberikan penyertaan dari awal dalam proyek, melainkan hanya meminta opsi seandainya proyek selesai dilakukan oleh pihak mitra, mereka bisa membeli sebagian saham dari penyertaan yang dilakukan.
"Ini menurut kami kurang optimal karena kurang jelasnya gambaran keekonomian yang akan diterima. Yang jelas mungkin posisinya hanya akan menjadi our supplier terhadap smelter baru yang akan dibangun oleh mitra. Tapi berapa nilai tambahnya tidak jelas bagi kami," ujarnya.
Editor’s picks
Baca Juga: MIND ID Ungkap Alasan Mau Jadi Pemegang Saham Pengendali Vale
2. Usulan tambang nikel dan RKEF di Bahodopi dinilai tak optimal
Hendi juga menyoroti usulan tambang nikel dan RKEF di Bahodopi oleh Vale. Menurutnya, hal tersebut tidak optimal karena menganggap keekonomiannya kurang optimal. Dia menilai ada kesan subsidi silang dari hulu ke midstream.
Hal lainnya terkait sumber energi yang diproyeksikan akan menggunakan liquefied natural gas (LNG). Menurutnya, LNG bukan sumber energi termurah yang bisa digunakan untuk pengembangan proyek smelter RKEF.
"Dan juga sebagai catatan belum adanya komitmen kargo alokasi yang jelas untuk proyek ini," tuturnya.
3. Pemerintah diharapkan lakukan kajian dan penilaian
Hendi mengatakan dari ketiga kewajiban yang tertera dalam Kontrak Karya tersebut, MIND ID berharap pemerintah dapat melakukan kajian dan penilaian.
"Sehingga apabila komitmen pengembangan tidak terpenuhi maka sesuai dengan aturan dalam Kontrak Karya maka perlu dilakukan relinquishment (pelepasan) di area terkait dengan proyek," ujarnya.
Pihaknya memberi catatan bahwa target pembangunan proyek Sorowako dan Pomalaa kemungkinan besar tidak tercapai.
"Konsekuensi pada aturan Kontrak Karya 2014, pemerintah dapat mempertimbangkan relinquishment wilayah kerja jika komitmen investasi tidak dapat selesai sesuai waktu," tambahnya.
Baca Juga: Divestasi Saham Vale Belum Rampung, Erick Bandingkan dengan Freeport