Harga Bahan Bakar Rendah Polusi Mahal Jadi Tantangan Pertamina
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan mahalnya harga menjadi tantangan dalam mengakselerasi penggunaan bahan bakar rendah karbon (green energy).
Nicke menjelaskan, faktor harga selalu menjadi perhatian utama terkait bahan bakar karbon atau energi baru dan terbarukan (EBT), khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
"Namun, kami memahami bahwa kami bisa saja menyerah, karena ada paritas harga pada bahan bakar rendah karbon," kata Nicke dalam Indonesia Sustainability Forum (ISF) di Park Hyatt Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Pertamina mengidentifikasi sejumlah faktor yang menyebabkan harga bahan bakar rendah polusi lebih mahal dibandingkan bahan bakar yang bersumber dari energi fosil.
Baca Juga: PGN dan Pertamina NRE Jajaki Kerja Sama Bisnis Rendah Karbon
1. Teknologi menyebabkan harga energi rendah karbon lebih mahal
Faktor pertama yang menyebabkan mahalnya harga bahan bakar rendah karbon adalah teknologi. Kabar baiknya, seiring berkembangnya teknologi, harga energi baru dan terbarukan semakin murah.
"Kita bisa melihat bahwa teknologi solar PV, teknologi tenaga angin selama 5-10 tahun terakhir bisa dikurangi, sekitar 80 persen. Jadi itu adalah bahan bakar rendah karbon," sebutnya.
Nicke percaya akan muncul teknologi baru yang dapat menekan harga energi rendah karbon, misalnya saja teknologi yang bisa meningkatkan produktivitas.
"Ada faktor pertama yang mungkin bisa kita kelola di masa depan, bagaimana mengembangkan teknologi," tuturnya.
Editor’s picks
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Pengurangan Emisi Karbon 1.185 Juta Ton
2. Pengembangan ekosistem jadi tantangan menurunkan harga
Faktor yang juga menjadi tantangan adalah pengembangan ekosistem produk baru. Menurutnya itu harus dilakukan dengan pendekatan holistik, mulai dari rantai pasok hingga ekosistemnya.
Hal itu berkaitan dengan skala ekonomi. Bisnis energi bersih, menurutnya membutuhkan skala ekonomi untuk memulai. Dalam hal ini, diperlukan regulasi untuk menciptakan permintaan.
"Salah satu contohnya di Indonesia B35 atau biodiesel, ada mandat dari regulasi. Jadi permintaan meningkat secara bertahap. Ketika permintaannya ada maka investasi datang," ujarnya.
Baca Juga: Indonesia Segera Ekspor Energi Hijau ke Singapura
3. Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan untuk beralih ke energi bersih
Tantangan terakhir adalah masyarakat. Menurut Nicke, pemangku kepentingan harus membenahi masyarakat selaku konsumen.
Pemerintah daerah diminta meningkatkan kesadaran masyarakat terkait konsumsi energi bersih. Hal itu bisa dilakukan dengan menggelar sosialisasi.
"Saya percaya bahwa transisi menuju bahan bakar rendah karbon membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah dan juga sektor swasta, dukungan publik dan investor keuangan," tambah Nicke.