Janji Politik Butuh Dana Jumbo, Anak Buah Sri Mulyani Kasih Tipsnya

Penerimaan pajak per 12 Desember Rp1.739,8 Triliun

Jakarta, IDN Times - Kementerian Keuangan mengatakan di tahun politik sudah lazim banyak tawaran program baru. Hal itu lantaran para calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) ingin memikat hati rakyat dengan memperbaiki, memperkuat, bahkan mengubah, dan apabila program itu dijalankan dampaknya akan menguntungkan masyarakat.

"Persoalannya, uangnya dari mana? Nah di titik ini rasanya kita perlu lebih serius memikirkan. Jelang debat Cawapres, saya ingin turut menghangatkan diskursus dengan membahas pajak," ucap juru bicara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo dalam keterangannya yang dikutip dari akun X pribadinya, yang dikutip Jumat (22/12/2023). 

Baca Juga: Jelang Tutup Tahun, APBN Defisit Rp35 Triliun

1. APBN jadi alat capai tujuan pembangunan

Janji Politik Butuh Dana Jumbo, Anak Buah Sri Mulyani Kasih Tipsnyailustrasi bayar pajak (IDN Times/Aditya Pratama)

Dia mengatakan pajak merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan yang menjadi tanggung jawab kita bersama.

Terlebih saat ini, kondisi global tengah dihantui berbagai risiko mulai dari  ketegangan geopolitik, dan tekanan domestik. Namun di sisi lain, APBN dituntut untuk dapat menyangga kehidupan sosial ekonomi.

"Keuangan negara tentu memiliki keterbatasan, maka kita bergotong royong melalui pajak. Pajak identik dengan kemandirian dan welas asih yang tidak mampu dibantu, yang mampu membayar, semakin mampu bayar lebih besar," ungkap Yustinus. 

Dengan demikian, pajak merupakan alat kebijakan untuk mencapai tujuan bernegara. Oleh karena itu, kinerja perpajakan tidak semata-mata dilihat dari tax ratio saja, tapi ada juga fasilitas atau insentif yang mesti diperhitungkan.

2. Gotong royong jadi fondasi reformasi perpajakan

Janji Politik Butuh Dana Jumbo, Anak Buah Sri Mulyani Kasih Tipsnyailustrasi bayar pajak (IDN Times/Aditya Pratama)

Yustinus menjelaskan bahwa gotong royong merupakan pondasi reformasi perpajakan Indonesia. APBN adalah instrumen mewujudkan tujuan NKRI melalui tiga pilar sektor swasta, masyarakat sipil, dan pemerintah berelasi secara dialektis.

Pertama-tama bahkan pemerintah memberi insentif/fasilitas kepada pelaku usaha agar bisnisnya tumbuh dan maju.

"Ibarat menanam pohon, pemerintah menggarap lahan, menyiangi rumput, menanam benih, menyiram, dan memupuk. Kelak ketika berbuah, sebagian saja diminta oleh pemerintah untuk dikembalikan ke publik dalam bentuk belanja APBN," ungkapnya. 

Isu lainnya yang kerap menjadi pembahasan yakni mengenai tax ratio yang berkaitan dengan perbandingan total penerimaan pajak terhadap PDB.

"Lalu bagaimana dengan mengenai tax ratio? Tax ratio Indonesia pada tahun 2021 misalnya, mencapai 10,9 persen, masih lebih rendah dibandingkan dengan negara lain.Namun, posisi tax ratio tersebut bukan berarti menunjukkan pemerintah berpangku tangan dan bukan pula tanpa sebab, karena pascapandemik COVID-19 penerimaan pajak menguat dan konsisten tumbuh," ucap Yustinus. 

Yustinus pun menjabarkan berbagai langkah untuk meningkatkan tax ratio yakni memperluas  basis pajak, penguatan ekstensifiikasi pajak serta pengawasan terarah dan basis kewilayahan, optimasi tingkat kepatuhan dan integrasi dalam sistem perpajakan, dan efektivitas implementasi UU HPP untuk mendorong peningkatan rasio perpajakan.

"Kebijakan perpajakan, baik insentif pajak atau tarif tentu disesuaikan dengan kondisi terkini ekonomi," tuturnya. 

Baca Juga: Jelang Tutup Tahun, APBN Defisit Rp35 Triliun

3. Rincian belanja perpajakan sejak 2019

Janji Politik Butuh Dana Jumbo, Anak Buah Sri Mulyani Kasih TipsnyaPinterest

Yustinus pun menyebut di negara-negara G20, tarif pajak korporasi Indonesia paling rendah dengan rata-rata 26,5 persen. Tarif ini diklaim Yustinus, menjadi yang paling rendah di bandingkan OECD rata-rata 23,57 persen dan BRICS rata-rata 26,5 persen.

"Sedikit lebih tinggi dari rata-rata tarif negara-negara ASEAN selisih 1,1 persen saja," imbuhnya. 

Sementara itu, terkait tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi layer tertinggi di Indonesia sebesar 35 persen. Tarif PPh OP ini lebih rendah dari Jepang, Eropa, Amerika Serikat, Australia, China, Korea, Afrika Selatan, bahkan India.

Selanjutnya, tarif Pajak Pertambahan Nilai/ Pajak Penjualan, tarif ini juga masih lebih rendah dari rata-rata negara G20 sebesar 15,9 persen dan OECD 19,2 persen, meski melalui UU 7/2021 sudah disesuaikan menjadi 11 persen. 

Menurut Yustinus, pemerintah juga menggelontorkan beragam insentif pajak dengan tujuan meningkatkan konsumsi rumah tangga dan melindungi masyarakat serta pelaku usaha berpenghasilan rendah.

"Harapannya dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang diharapkan meningkatkan penerimaan pajak untuk jangka panjang. Akan tetapi hal itu menimbulkan trade off terhadap tax ratio untuk jangka pendek, di antaranya tarif pajak khusus bagi UMKM. Insentif pajak juga diberikan untuk sektor industri yang tujuannya untuk menarik investasi," ungkap Yustinus. 

Berdasarkan data Kemenkeu, realisasi belanja perpajakan:

2019 : Rp266,3 triliun 

2020 : Rp246,5 triliun 

2021 : Rp310 triliun 

2022 : Rp323,5 triliun 

Outlook 2023 Rp352,8 triliun.

 

Baca Juga: APBN Makin Sehat, Penarikan Utang Susut hingga 36,6 Persen

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya