Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi perang dagang antara China dan Amerika Serikat. (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Intinya sih...

  • Trump menyatakan China melanggar kesepakatan dagang 90 hari, mempertanyakan masa depan negosiasi dagang kedua negara.
  • Perwakilan Dagang AS mengungkapkan China belum mencabut hambatan nontarif sesuai kesepakatan Jenewa, mengancam kerugian bagi industri strategis AS.

Jakarta, IDN Times – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan, China telah sepenuhnya melanggar kesepakatan dagang 90 hari yang dicapai di Jenewa pada 12 Mei 2025. Pernyataan ini disampaikan Trump pada Jumat (30/5/2025), hanya tiga minggu setelah kesepakatan diumumkan.

Trump mempertanyakan apakah perjanjian itu masih berlaku dan menyebut masa depan negosiasi dagang kedua negara kini berada dalam ketidakpastian.

Dalam unggahan di Truth Social, Trump menyinggung dampak tarif sebelumnya yang disebutnya sangat menghantam China. Ia mengatakan, telah membuat kesepakatan cepat demi menyelamatkan mereka dari kondisi yang dianggapnya akan sangat buruk.

“Saya membuat kesepakatan cepat untuk menyelamatkan mereka dari apa yang saya pikir akan menjadi situasi yang sangat buruk,” tulis Trump, dikutip dari BBC News, Sabtu (31/5/2025).

Kesepakatan tersebut menurunkan tarif AS terhadap produk impor dari China dari 145 persen menjadi 30 persen. Sementara itu, tarif China atas barang-barang dari AS diturunkan dari 125 persen menjadi 10 persen.

1. Perwakilan Dagang AS beberkan pelanggaran China soal hambatan nontarif

Bendera Amerika Serikat (pexels.com/Brett Sayles)

Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer mengungkapkan, China belum menepati komitmen untuk mencabut hambatan nontarif sesuai isi kesepakatan Jenewa. Ia menyebut, China masih mempertahankan tindakan balasan seperti memasukkan sejumlah perusahaan AS ke daftar hitam.

Selain itu, ekspor komponen penting seperti magnet rare earth yang dibutuhkan untuk mobil, pesawat, dan semikonduktor juga masih dibatasi. Menurut Greer, hambatan tersebut menjadi indikasi kuat, China tidak melaksanakan bagian penting dari kesepakatan.

Pemerintah AS menganggap penarikan hambatan tersebut sebagai syarat mutlak untuk kemajuan negosiasi lebih lanjut. Ia menyampaikan kekhawatiran bahwa kegagalan ini bisa menimbulkan kerugian besar bagi industri strategis AS.

Menanggapi situasi ini, Kedutaan Besar China di Washington meminta AS segera mengubah kebijakan yang mereka anggap keliru.

“Segera hentikan pembatasan diskriminatif terhadap China dan bersama-sama jaga kesepakatan yang telah dicapai dalam pembicaraan tingkat tinggi di Jenewa,” ujar pihak Kedutaan.

2. China soroti kebijakan ekspor AS di sektor semikonduktor

ilustrasi chip (pexels.com/Shawn Stutzman)

Juru bicara Kedutaan China di Washington, Liu Pengyu mengatakan, pihaknya telah berulang kali menyampaikan kekhawatiran kepada AS mengenai kebijakan ekspor yang menargetkan sektor semikonduktor. Ia menyebut AS menyalahgunakan kontrol ekspor dan menyasar perusahaan China secara sepihak.

Kekhawatiran itu terutama tertuju pada pembatasan teknologi penting yang dapat menghambat pertumbuhan industri domestik China.

Dilansir dari South China Morning Post, pemerintah AS minggu lalu menerapkan kontrol ekspor baru terhadap perusahaan desain perangkat lunak semikonduktor seperti Cadence dan Synopsys. Perusahaan-perusahaan tersebut kini diwajibkan memiliki lisensi khusus jika ingin mengekspor teknologi ke China atau entitas militer China. AS berdalih ada risiko tinggi teknologi tersebut akan dialihkan untuk keperluan militer.

Pembatasan ini juga berdampak pada perusahaan semikonduktor AS seperti Nvidia. Perusahaan tersebut sebelumnya dilarang menjual chip H20 ke China, kebijakan yang menyebabkan potensi kerugian penjualan sebesar 8 miliar dolar AS (sekitar Rp130 triliun) dalam satu kuartal. Akibatnya, Nvidia kini memiliki persediaan chip senilai 4,5 miliar dolar AS (sekitar Rp73,3 triliun) yang tidak dapat digunakan.

CEO Nvidia, Jensen Huang menyampaikan keprihatinannya terhadap kebijakan tersebut.

“Asumsi bahwa China tidak bisa membuat chip AI adalah asumsi yang dipertanyakan dan jelas salah,” kata Huang kepada investor, dikutip dari CNBC International, Sabtu (31/5).

3. Pengadilan batasi otoritas tarif Trump, tapi ditangguhkan sementara

Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Rezim tarif global Trump mendapat pukulan pada Rabu (28/5) setelah Pengadilan Perdagangan Internasional AS menyatakan, ia telah melampaui kewenangannya. Namun, keputusan itu belum dapat dijalankan karena Pengadilan Banding Federal mengabulkan permintaan Gedung Putih untuk menangguhkan putusan tersebut sementara waktu. Putusan ini berpotensi mempengaruhi legalitas kebijakan tarif Trump ke depan.

Trump langsung merespons keputusan itu dengan nada keras melalui akun media sosialnya. Ia menyebut keputusan pengadilan sebagai hal yang “mengerikan”. Meski begitu, pemerintahannya masih memiliki waktu untuk melakukan upaya hukum lanjutan sambil mempertahankan kebijakan tarif yang berlaku saat ini.

Di tengah ketegangan tersebut, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut negosiasi dagang dengan China saat ini sedikit terhambat. Namun, ia tetap optimistis akan ada pembicaraan lanjutan dalam beberapa pekan ke depan.

Bessent juga menyebut kemungkinan adanya percakapan antara Trump dan Presiden China Xi Jinping karena hubungan keduanya dinilainya cukup baik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team