4 Alasan BPKP Tak Restui Impor KRL Bekas dari Jepang 

KCI diminta optimalkan armada kereta yang ada

Jakarta, IDN Times - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) telah menerima hasil Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang tak merekomendasikan impor KRL bekas dari Jepang.

Deputi Bidang Koordinasi Pertambangan dan Investasi Kemenko Marves, Septian Hario Seto membeberkan ada empat alasan mengapa BPKP tak merekomendasikan impor KRL bekas yang diajukan oleh PT KAI Commuter (KCI).

Empat poin yang dinyatakan BPKP berkaitan dengan kapasitas dan kondisi armada kereta yang dimiliki KCI, perkiraan biaya impor, kemampuan industri dalam negeri, dan sebagainya.

Berikut rincian hasil reviu BPKP yang tak merekomendasikan impor KRL bekas dari Jepang.

1. Impor KRL bekas tak mendukung industri perkeretaapian nasional

Poin pertama, BPKP menyatakan rencana impor KRL bekas tidak mendukung pengembangan industri perkeretaapian nasional.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 175 Tahun 2015 tentang Standar Spesifikasi Teknis Kereta Kecepatan Normal dengan Penggerak Sendiri telah menetapkan persyaratan umum pengadaan sarana kereta kecepatan normal dengan penggerak sendiri, termasuk KRL.

"Ini harus memenuhi spesifikasi teknis yang salah satunya adalah mengutamakan produk dalam negeri," kata Seto dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (6/4/2023).

Baca Juga: BPKP Tak Restui Impor KRL Bekas, Jubir Luhut Buka Suara

2. Impor KRL sebagai barang modal bekas hanya bisa dilakukan jika industri dalam negeri tak mampu produksi

Poin kedua, BPKP menyatakan KRL bekas yang diimpor dari Jepang tidak memenuhi kriteria sebagai barang modal bukan baru yang dapat diimpor sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 29 tahun 2021 dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang mengatur kebijakan dan pengaturan impor.

Dalam PP nomor 29 tahun 2021 dan Permendag yang mengatur kebijakan dan pengaturan impor, menyatakan bahwa barang model bukan baru yang dapat diimpor adalah barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali, atau barang atau peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam serta barang bukan baru untuk ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

"Jadi tadi sudah disebutkan, itu bisa dilakukan kalau belum bisa diproduksi di dalam negeri," tutur Seto.

3. Jumlah kereta yang dimiliki KCI saat ini lebih banyak dari 2019 di saat jumlah penumpang menurun

Poin ketiga masuk ke dalam teknis operasi KRL, di mana BPKP menemukan jumlah armada kereta yang dimiliki KCI saat ini ialah 1.114 unit, sementara pada 2019 hanya 1.078 unit.

Di saat jumlah armada bertambah, jumlah penumpang KRL di 2023 justru menurun, diperkirakan 273,6 juta penumpang. Sementara jumlah penumpang KRL pada 2019 mencapai 336,3 juta penumpang.

"Jadi di 2023 armadanya lebih banyak, tapi estimasi penumpangnya tetap jauh lebih sedikit dibandingkan 2019 yang jumlah armadanya lebih sedikit," ujar Seto.

Adapun 1.114 kereta yang disebutkan tidak termasuk 48 unit yang aktiva tetap diberhentikan dari operasi dan 36 unit yang dikonversi atau dipensiunkan sementara.

BPKP juga menyatakan kelebihan muatan atau overload di KRL hanya terjadi pada jam-jam peak hour.

"Namun secara keseluruhan untuk okupansi tahun 2023 adalah 62,75 persen, 2024 diperkirakan masih 79 persen dan 2025 sebanyak 83 persen, ini data dari BPKP," kata Seto.

Dia mengatakan rata-rata jumlah penumpang yang sekarang adalah sekitar 800 ribu penumpang per hari. Kemudian, pada saat peak hour bisa mencapai di atas 900 ribu per hari.

"Nah, ini masih lebih kecil dibandingkan 2019 di mana rata-rata jumlah penumpangnya adalah 1,1 juta," tutur Seto.

4. Estimasi biaya pengiriman diperkirakan lebih mahal dari yang diajukan KCI

Temuan terakhir dari BPKP ialah terkait perkiraan biaya pengiriman jika melakukan impor KRL bekas dari Jepang.

"Terkait dengan kewajaran biaya handling dan transportasi dari Jepang ke Indonesia yang diajukan oleh PT KCI ini tidak dapat diyakini karena perhitungannya tidak berdasarkan survei harga, melainkan hanya berdasarkan KRL bukan baru tahun 2018 ditambah 15 persen," ujar Seto.

Dia mengatakan, biaya pengiriman kemungkinan lebih tinggi karena berdasarkan hasil klarifikasi dengan Pelindo, kontainer yang tersedia hanya 20 feet dan 40 feet, sehingga pengangkutan dan pengiriman kereta harus menggunakan kapal kargo sendiri.

"Ini tentu saja bisa menyebabkan penambahan biaya yang harus diestimasikan dengan akurat," tutur Seto.

Baca Juga: Tak Direkomendasikan BPKP, Impor KRL Bekas dari Jepang Batal?

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya