76 Tahun Merdeka, Indonesia Harus Hadapi Jeratan Utang Ribuan Triliun

Utang pemerintah tembus lebih dari Rp6.000 triliun

Jakarta, IDN Times - Dalam hitungan jam, Republik Indonesia akan memperingati 76 tahun kemerdekaan. Di Hari Ulang Tahun (HUT) kali ini, Indonesia masih harus menghadapi 'jeratan' utang yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp6.000 triliun.

Per Juni 2021 lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah mencapai Rp6.554,56 triliun, atau setara 41,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Nominal utang per Juni 2021 naik 24,5 persen atau Rp1.290,49 triliun dibandingkan periode yang sama di 2020. Lalu, utang pemerintah per Juni juga naik 2,12 persen atau Rp136,4 triliun dibandingkan utang per Mei yang sebesar Rp6.418,15 triliun.

Selanjutnya, rasio utang pemerintah per Juni mencapai 41,35 persen terhadap PDB. Angka itu naik signifikan dari rasio utang pemerintah di Juni 2020 yang hanya sebesar 32,67 persen. Sementara, pada Mei 2021 rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 40,49 persen.

Baca Juga: Duh, Utang Pemerintah Lampaui Ketentuan IMF!

1. Utang pemerintah naik setiap tahun

76 Tahun Merdeka, Indonesia Harus Hadapi Jeratan Utang Ribuan TriliunIlustrasi Utang (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan data Kemenkeu, utang pemerintah terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pada 2017, utang pemerintah tercatat sebesar Rp3.938,7 triliun, atau 29,2 persen terhadap PDB. Lalu, di 2018 utang pemerintah naik Rp 479,6 triliun atau 12,17 persen menjadi Rp4.418,3 triliun. Angka tersebut menunjukkan rasio utang pemerintah pada 2018 mencapai 29,98 persen terhadap PDB. 

Kemudian, di 2019 utang pemerintah naik lagi Rp359,7 triliun atau 8,14 persen menjadi Rp4.778 triliun. Rasio utang pemerintah pada 2019 mencapai 29,8 persen terhadap PDB. Meski turun dibandingkan 2018, namun jika dilihat secara nominal mengalami kenaikan. 

Di 2020, utang pemerintah naik cukup signifikan, Rp1.296,56 triliun atau 27,13 persen menjadi Rp6.074,56 dibandingkan 2019. Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, penambahan utang dilakukan untuk menyelamatkan rakyat dalam menghadapi pandemik COVID-19.

"Ini saya ingatkan kembali kenapa kita ada tambahan utang? Karena defisit yang melebar. Pertama untuk membantu rakyat, menangani COVID-19, dan membantu usaha, terutama UKM. Kedua, karena penerimaan kita sedang jatuh, karena semua pembayar pajak sedang turun, hampir semua, terkecuali sektor tertentu," ucap Sri Mulyani dalam rapat kerja virtual dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu, 27 Januari 2021 lalu.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, apabila setiap tahun utang pemerintah naik hingga Rp1.000 triliun, maka di HUT Tanah Air ke-80 atau di 2024, utang pemerintah bisa tembus Rp10.500 triliun.

"Soal utang itu kalau melihat penambahan jumlah nominal utang mencapai Rp1.000 triliun per tahunnya, dan kita hitung penambahannya Rp1.000 triliun terus konsisten sampai HUT ke-80, maka di ulang tahun ke-80 utang pemerintah bisa Rp10.500 triliun," kata Bhima kepada IDN Times, Minggu (15/8/2021).

2. Penggunaan utang tak produktif

76 Tahun Merdeka, Indonesia Harus Hadapi Jeratan Utang Ribuan TriliunIlustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Bhima, utang pemerintah lebih banyak digunakan untuk belanja konsumtif. Padahal, menurutnya uang negara harus diutamakan untuk belanja produktif, terutama untuk menciptakan lapangan pekerjaan.

"Contoh pos-pos pemerintah yang naiknya cukup signifikan itu adalah belanja pemerintah, belanja barang, dan pembayaran bunga utang. Ini artinya pengelolaan utang belum dilakukan secara produktif. Padahal pemerintah seharusnya menambah lebih banyak lagi program-program yang sifatnya menciptakan lapangan pekerjaan di sektor-sektor produktif," tutur dia.

Dia juga menyinggung program kerja pemerintah dalam pembangunan infrastruktur. Menurut Bhima, infrastruktur yang telah dibangun di usia RI ke-76 tahun ini tidak menunjukkan kegunaan yang signifikan.

"(Seharusnya pemerintah) mendorong infrastruktur yang berkaitan dengan penurunan biaya logistik. Bukan infrastruktur-infrastruktur yang dipaksakan dan akhirnya pemanfaatannya masih kecil," ucap Bhima.

Di tahun ini, pemerintah mengalokasikan belanja pegawai Rp421,14 triliun. Nominal itu meningkat hampir 73 persen dibandingkan belanja pegawai di 2014 yang sebesar Rp244 triliun. Kemudian, alokasi untuk belanja barang di 2021 mencapai Rp363 triliun, naik 105 persen dibandingkan alokasi pada 2014 yang sebesar Rp177 triliun.

Baca Juga: Utang Luar Negeri RI Turun Jadi Rp6.017 Triliun Pada Mei 2021

3. Utang pemerintah juga dipakai untuk bayar bunga utang

76 Tahun Merdeka, Indonesia Harus Hadapi Jeratan Utang Ribuan TriliunIlustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Bhima mengatakan setiap tahunnya pemerintah juga menarik utang untuk membayar bunga utang, bak gali lubang, tutup lubang.

Pada 2014 lalu, pemerintah harus mengeluarkan Rp133 triliun untuk membayar bunga utang. Lalu, Rp156 triliun di 2015, Rp183 triliun di 2016, Rp217 triliun di 2017, Rp258 triliun di 2018, Rp276 triliun di 2019, dan Rp314 triliun di 2020. Di 2021 ini, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pembayaran bunga utang hingga Rp373,3 triliun.

"Masalah bunga utang, setiap tahunnya kita harus membayar Rp373 triliun hanya untuk bunga utang saja. Artinya untuk menutup bunga utang pemerintah membayarnya tidak bisa dengan penerimaan pajak, tetapi harus menerbitkan utang baru," tutur dia.

Hal ini menurut Bhima bisa mengancam pemulihan ekonomi dan kesehatan di Tanah Air. "Dengan ancaman bunga utang yang semakin tinggi, maka ruang fiskalnya akan semakin sempit untuk pemulihan ekonomi, pemulihan sektor kesehatan, dan juga perlindungan sosial," ujar dia.

Membengkaknya bunga utang itu menurut Bhima disebabkan oleh besarnya porsi surat utang atau surat berharga negara (SBN) dalam penarikan utang oleh pemerintah.

"Porsi surat utang terhadap utang pemerintah itu semakin dominan, di atas 85 persen, ini akan jadi beban tambahan di luar batas kemampuan negara. Karena surat utang relatif lebih mahal dibandingkan pinjaman ke lembaga-lembaga bilateral maupun multilateral, itu bunganya relatif kecil," kata Bhima.

Perlu diketahui, kenaikan utang per Juni 2021 disebabkan oleh penerbitan SBN  sebesar Rp5.711,79 triliun, atau naik Rp131,77 triliun dari posisi Mei yang sebesar Rp5.580,02 triliun. Dengan demikian, porsi SBN dari total utang pemerintah mencapai 87,14 persen.

Sedangkan, pinjaman pemerintah hanya sebesar Rp842,76 triliun per Juni 2021, atau naik Rp4,63 triliun dari posisi Mei yang sebesar Rp838,13 triliun.

4. Pemerintah terancam kesulitan lunasi utang

76 Tahun Merdeka, Indonesia Harus Hadapi Jeratan Utang Ribuan TriliunUtang Pemerintah Melonjak Setiap Tahun. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dengan kondisi itu, Bhima menilai Indonesia masih akan terjerat utang meski sampai tahun 2070, atau ketika menginjak usia ke-125 tahun.

"Sampai 2070 indonesia masih harus melunasi utang yang diterbitkan selama pandemi. Ada global bond tenornya 50 tahun terbit tahun 2020 lalu. Jadi nonsense kita bisa lunasi utang. Yang terjadi beban bunga utang harus ditutup dengan penerbitan utang baru," ujar Bhima.

Baca Juga: Utang RI Naik Terus, BPK Khawatir Pemerintah Tak Sanggup Bayar

5. Nota hitam buat pemerintah di HUT RI ke-76

76 Tahun Merdeka, Indonesia Harus Hadapi Jeratan Utang Ribuan TriliunIlustrasi APBN (IDN Times/Arief Rahmat)

Secara keseluruhan, dalam pengelolaan anggaran negara, Bhima memberi nota hitam untuk pemerintah di HUT RI ke-76 ini. Menurutnya, alokasi APBN 2021 masih kurang difokuskan untuk penanganan krisis pandemik COVID-19.

Kritik itu dia lontarkan karena menurutnya pemerintah lambat dalam menyalurkan bantuan-bantuan sosial dalam program perlindungan sosial, dan juga tak berhasil menyelaraskan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan COVID-19.

"Pemulihan ekonomi juga tergantung intervensi pemerintah. Selain banyak program lambat disalurkan, data penerima masih bermasalah, padahal sudah 1,5 tahun krisis pandemik, juga masalah koordinasi antara pusat dan daerah di era desentralisasi dan otonomi daerah ini ternyata menjadi salah satu nota hitam pada saat kemerdekaan ke-76," kata Bhima.

Khususnya bansos, Bhima mengkritik langkah pemerintah yang memangkas besaran manfaat yang diterima masyarakat. Misalnya dalam program subsidi listrik, bantuan subsidi upah (BSU), Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM), dan sebagainya.

Di sisi lain, menurutnya anggaran perlindungan sosial yang dialokasikan pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara tetangga. Adapun alokasi anggaran perlindungan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 sebesar Rp187,84 triliun.

"Rasio dana perlindungan sosial terhadap PDB di dalam PEN itu hanya 1,1 persen. Jadi relatif sangat kecil dibandingkan negara-negara lain yang sudah berada di atas 2-3 persen untuk spesifik anggaran perlindungan sosial," ucap Bhima.

Dia menilai, anggaran perlindungan sosial itu jauh lebih kecil ketimbang belanja pegawai pada APBN 2021 yang mencapai Rp421,14 triliun.

"Padahal di negara lain salah satu bentuk komitmen juga untuk membantu masyarakat, gaji dan tunjangan pejabat, menteri, presiden, sampai pejabat setara dirjen itu dipotong dalam rangka untuk memberikan uang yang lebih besar bagi penambahan stimulus ekonomi, nah di Indonesia belum terlihat," kata Bhima.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya