Ekonom Minta DPR hingga KPK Bongkar 'Kartel' Bisnis Tes PCR

Harga PCR di Indonesia dinilai masih mahal

Jakarta, IDN Times - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan meminta DPR, kepolisian, kejaksanaan hingga KPK membongkar kartel bisnis tes PCR di Tanah Air. Bahkan, Anthony menduga adanya bisnis 'kartel' tes PCR karena harga yang ditetapkan dinilai masih tinggi.

Anthony membeberkan data yang dirilis oleh ourworldindata.org, menyatakan bahwa jumlah tes COVID-19 di Indonesia hingga pertengahan Agustus 2021 mencapai 14 juta tes. Dengan tarif tes PCR sebelum diturunkan masih di kisaran Rp500 ribu, maka dia mengatakan para kartel tes PCR bisa meraup keuntungan hingga Rp7 triliun.

"Kalau kemahalan Rp500 ribu per tes, maka keuntungan abnormal yang diraup para kartel pengusaha sebesar Rp7 triliun. Jadi, berapa sebenarnya keuntungan para kartel tersebut? Berapa kerugian negara?" kata Anthony dalam keterangan tertulisnya, Selasa (2/11/2021).

Baca Juga: Waduh, Koalisi Masyarakat Sipil Catat Cuan Bisnis PCR Tembus Rp23 T

1. Harga PCR yang mahal bisa merugikan negara

Ekonom Minta DPR hingga KPK Bongkar 'Kartel' Bisnis Tes PCRIlustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Tes PCR sendiri tak hanya menjadi kebutuhan masyarakat umum, tapi sudah masuk dalam pos-pos kebutuhan pemerintah. Dengan harga yang tinggi, menurut Anthony, tes PCR berpotensi merugikan negara.

"Apakah juga merugikan negara? Sangat mungkin. Hal ini harus diselidiki lebih serius. Berapa biaya tes COVID-19 yang sudah dikeluarkan negara, berapa biaya seharusnya, apakah dengan demikian ada kerugian negara?" tutur dia.

Bahkan, jika harga tes diagnosis COVID-19 di atas Rp100 ribu saja, negara berpotensi rugi Rp1,4 triliun.

"Kalau setiap tes harganya Rp100 ribu terlalu mahal, maka masyarakat dan negara dirugikan Rp1,4 triliun," kata dia.

2. Jokowi bisa dimintai pertanggungjawaban jika terbukti harga PCR RI terlalu mahal

Ekonom Minta DPR hingga KPK Bongkar 'Kartel' Bisnis Tes PCRPresiden Joko Widodo (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Pada Senin, 25 Oktober 2021 lalu, Presiden Joko "Jokowi" Widodo meminta harga tes PCR turun menjadi Rp300 ribu. Artinya, sudah dua kali Jokowi mengeluarkan perintah turunkan harga tes PCR.

Menurut Anthony, keputusan tersebut membahayakan posisi Jokowi sebagai Presiden. Pasalnya, jika diketahui harga tes PCR ternyata masih bisa ditekan di bawah ratusan ribu rupiah, maka Jokowi yang harus bertanggung jawab atas kerugian masyarakat.

"Pertanyaannya, mengapa harus presiden Jokowi yang minta harga tes PCR turun? Hal ini membahayakan posisi Presiden. Karena bisa dimintakan tanggung jawab kalau harga monopoli tes PCR tersebut tenyata terlalu mahal. Presiden bisa dituduh menguntungkan para kartel pengusaha. Kalau ada kerugian negara, dampaknya bisa lebih dahsyat lagi," tutur dia.

Baca Juga: Harga PCR Turun, Pemerintah Diduga Bantu Pihak Tertentu?

3. Pejabat bisa dihukum apabila penanganan COVID-19 tak dilaksanakan dengan iktikad baik

Ekonom Minta DPR hingga KPK Bongkar 'Kartel' Bisnis Tes PCRIlustrasi Tes Usap/PCR Test. IDN Times/Hana Adi Perdana

Menurut Anthony, jika ada pejabat negara yang terbukti merugikan negara dan melakukan tindakan tanpa iktikad baik dalam hal penanganan COVID-19, maka bisa dituntut dan dihukum. Hal tersebut juga berlaku pada ketentuan tes PCR karena merupakan salah satu upaya penanganan COVID-19.

Dia mengatakan ketentuan itu sudah tertuang dalam pasal 27 Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Pasal tersebut belum lama ini dirombak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) demi menghapus hak imunitas kepada pejabat dan lembaga anggota KSSK terkait penanganan pandemik.

"Artinya, kalau merugikan negara dan dilakukan dengan iktikad tidak baik, maka pejabat tersebut bisa dituntut dan dihukum," tutur Anthony.

Adapun bunyi pasalnya, sebagai berikut:

"Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan."

Baca Juga: RI Impor 203 Ton Alat Tes PCR per Agustus 2021, Terbanyak dari China

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya