Non-for-Profit, Apa Artinya bagi Media?

Pemred The Straits Times menjelaskan model bisnis barunya

Yogyakarta, IDN Times - Bisnis media terus berbenah dan makin terpengaruh terutama di masa pandemik, tak terkecuali bagi lanskap media di Singapura. Sejak Desember 2021 lalu, Singapore Press Holdings (SPH), penerbit surat kabar dan real estat, memindahkan bisnis medianya ke sebuah perusahaan non-for-profit baru bertajuk SPH Media Trust (SMT).

Semua aset yang berhubungan dengan media beserta 2.500 karyawannya kini bernaung di bawah SMT, termasuk koran The Straits Times, Lianhe Zaobao, Berita Harian, dan Tamil Murasu.

Dalam sesi bincang-bincang melalui Zoom di Young Media Leaders Fellowship, Rabu (26/12/2022) petang, Editor-in-Chief The Straits Times, Warren Fernandez menceritakan lebih dalam soal bisnis model baru ini.

Berubahnya bentuk perusahaan menjadi non-for-profit, menurut Warren, bukan berarti medianya berhenti menerima pemasukan. Alih-alih mencari cuan semata, SMT akan tetap menjalankan bisnis namun profit yang didapat akan  disuntikan kembali ke perusahaan. Bentuknya bisa dalam bentuk rekrutmen, pelatihan, pengembangan produk, riset dan usaha lain yang sejalan dengan misi perusahaan media.

Baca Juga: IDN Media Hadirkan Media Bisnis Global FORTUNE ke Indonesia, Buat Apa?

1. Berubah entitas menjadi non-for-profit

Non-for-Profit, Apa Artinya bagi Media?Peserta Young Media Leader Fellowship 2021 Dok. WAN-IFRA

Sebagai entitas non-for-profit, SMT akan memperoleh pendanaan, bukan dari pemegang saham, melainkan dari anggota yang di antaranya adalah: DBS Bank, Fullerton, Great Eastern Life Assurance, Nanyang Technological University, National University of Singapore, NTUC Income, OCBC Bank, Singtel, dan UOB. Tidak menutup kemungkinan pula SMT menerima dana dari pemerintah Singapura atau organisasi filantropi.

"Mereka memberi pendanaan karena percaya pada jurnalisme berkualitas, karena percaya dengan misi kami," ujar Warren.

Langkah menjadi non-for-profit yang diambil SMT sebenarnya bukan hal baru dalam dunia media. The Guardian di Inggris dan Tampa Bay Times di Amerika Serikat adalah dua contoh media yang sudah lama mengambil model bisnis serupa.

Bahkan pada 2020, New York Times mengumpulkan US$4 juta sokongan dana filantropi untuk program Headway Initiative.

2. Menghadapi isu konflik kepentingan

Non-for-Profit, Apa Artinya bagi Media?Pembaca The Straits Times dok. The Straits Times

Konflik kepentingan tentu menjadi pertanyaan besar bagi ST ke depannya, dan Warren tidak menampik hal itu.

"Ini akan jadi pembuktian kredibilitas kami. Jika pembaca tidak mempercayai kredibilitas kami, mereka tidak akan membaca ST, sesimpel itu."

"Jadi kami akan melihat bagaimana audiens merespons. Kami akan menggaet pihak independen untuk mengukur level kepercayaan pembaca. Di Singapura, kami selalu meraih tingkat kepercayaan tertinggi dan itu harus dipertahankan," kata dia.

3. Media tidak boleh bergantung pada satu sumber revenue

Non-for-Profit, Apa Artinya bagi Media?Patrick Daniel CEO SMT dok. Straits Times

Menurut Warren, penting bagi media untuk memiliki beragam sumber pendapatan agar tidak bergantung pada satu penyokong dana. "Jadi media harus punya pendapatan dari iklan, baik cetak maupun digital, langganan. Dengan begitu pendanaan dari pemerintah, filantropi dan pihak sponsor bisa diimbangi."

Sebelumnya, saat masih bagian dari SPH, bisnis media ini mencatatkan kerugian masing-masing sebesar S$40 juta dalam dua tahun finansial terakhir. Pemasukan yang tadinya mencapai miliaran dolar turun drastis menjadi S$400 juta.

"Jika tidak ada langkah yang diambil, dan SPH tetap berjalan seperti biasa, pemasukan akan terus turun, rugi berlanjut dan pasti membesar. Akan ada tekanan untuk memangkas biaya, produk, dan karyawan," kata CEO-interim SMT Patrick Daniel, dikutip dari situs ST, merasionalkan upaya perusahaannya.

4. Perusahaan teknologi adalah kawan dan lawan

Non-for-Profit, Apa Artinya bagi Media?Warren Fernandez, Editor-in-Chief The Straits Times dok. WAN IFRA

Meski pelanggan digital mampu melampaui pelanggan media cetaknya, sumber revenue ini tidak mampu menutupi rendahnya pendapatan dari iklan digital yang masih dikuasai duo raksasa teknologi, Google dan Facebook (kini Meta).

"Media harus melihat mereka sebagai frenemies (kawan sekaligus lawan, red). Media butuh aliran traffic dari sana, namun di saat yang sama mereka mengambil porsi iklan digital yang besar sekali dari media."

Warren menganjurkan, "Media harus memiliki konten khas yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Itu sebabnya kita mesti berinvestasi ke konten dan produk. Jika media melakukannya, makin banyak orang yang akan berlangganan langsung dengan medianya. Bukan mengandalkan traffic dari media sosial."

Baru satu bulan berjalan, Warren belum bisa bicara banyak soal strategi bisnis baru ini, apakah akan berhasil atau tidak. "So far so good," katanya. Namun dia yakin masyarakat menginginkan jurnalisme yang berkualitas dan bisa dipercaya.

Baca Juga: Budaya Digital Jadi Prasyarat Transformasi Digital

Topik:

  • Yogie Fadila
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya