Rupee India Jadi Mata Uang Berkinerja Terburuk di Asia, Ini Penyebabnya

- Negosiasi dagang AS-India belum jelas, tekanan terhadap rupee semakin kuat
- Tarif tinggi membuat ekspor India tersendat, berdampak pada suplai devisa negara
- Arus keluar dana asing menekan nilai tukar rupee, investor global bersikap bearish terhadap India
Pergerakan nilai tukar selalu menarik perhatian, apalagi saat sebuah mata uang melemah cukup dalam. Kondisi tersebut sedang dialami rupee India, bahkan disebut sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di Asia.
Posisi India sebagai salah satu ekonomi terbesar dunia membuat pelemahan ini terasa dampaknya ke banyak sektor. Situasi global, kebijakan perdagangan, serta arus modal asing ikut berperan besar dalam tekanan tersebut.
Kamu mungkin bertanya-tanya, apa saja faktor utama di balik melemahnya rupee India. Lewat artikel ini, berbagai penyebabnya akan dibahas, simak terus, ya.
1. Negosiasi dagang Amerika Serikat–India belum menemui titik terang

Pembahasan soal perdagangan antara Amerika Serikat dan India berjalan lebih lama dari perkiraan. Proses yang berlarut-larut tersebut menciptakan ketidakpastian bagi pelaku pasar.
Investor cenderung menahan diri saat arah kebijakan dagang belum jelas. Tekanan terhadap rupee pun semakin kuat akibat sentimen tersebut. Ketidakpastian ini dinilai membuat potensi penguatan rupee menjadi terbatas.
Dilansir CNBC, menurut Kepala Ekonom Asia-Pasifik di S&P Global Market Intelligence, Hanna Luchnikava-Schorsch, nilai tukar rupee saat ini masih berada di bawah nilai wajarnya. Ia memandang peluang koreksi baru akan muncul setelah ada kejelasan mengenai kesepakatan dagang antara India dan Amerika Serikat (AS). Pandangan tersebut menunjukkan betapa besarnya pengaruh isu perdagangan terhadap pergerakan mata uang.
2. Tarif tinggi membuat ekspor India tersendat

India dikenal sebagai salah satu negara dengan tarif perdagangan tertinggi di dunia. Besaran tarif mencapai sekitar 50 persen dan bahkan melampaui tarif yang dikenakan kepada China. Kebijakan ini menjadi hambatan serius bagi kelancaran ekspor, terutama ke pasar Amerika Serikat. Tekanan ekspor otomatis mempengaruhi suplai devisa negara.
Data perdagangan menunjukkan penurunan ekspor India ke Amerika Serikat setelah tarif tinggi diberlakukan. Penurunan cukup terasa dalam beberapa bulan sebelum akhirnya sempat pulih. Kepala ekonom Nomura untuk India dan Asia eks-Jepang menilai risiko terbesar terletak pada potensi hilangnya momentum relokasi rantai pasok. Kondisi tersebut bisa membuat India kehilangan peluang jangka panjang di pasar global.
3. Arus keluar dana asing menekan nilai tukar

Sepanjang tahun ini, investor global cenderung bersikap bearish terhadap India. Arus keluar dana asing tercatat mencapai lebih dari 10 miliar dolar AS di berbagai kelas aset. Penarikan dana tersebut memberi tekanan langsung pada nilai tukar rupee. Pasar valuta asing pun merespons dengan pelemahan berkelanjutan.
Arus keluar paling besar terjadi di pasar saham India. Investor portofolio asing tercatat menarik hampir 18 miliar dolar AS dari ekuitas hingga pertengahan Desember 2025. Chief Investment Officer dan Senior Managing Partner di ASK Private Wealth, Somnath Mukherjee menilai, tekanan terhadap rupee India bukan berasal dari defisit transaksi berjalan. Ia melihat faktor utama pelemahan mata uang ini terletak pada belum berbaliknya arus dana investor portofolio asing ke pasar domestik.
4. Tekanan psikologis saat rupee menembus level penting

Awal bulan lalu, rupee menembus level 90 terhadap dolar AS. Level tersebut dianggap sebagai batas psikologis penting oleh pelaku pasar. Pergerakan melewati angka itu terjadi dalam waktu singkat, kurang dari 15 hari perdagangan. Situasi tersebut memicu sentimen negatif lanjutan di pasar.
Awal tahun, rupee masih berada di kisaran 85,6 per dolar AS. Pelemahan tajam dalam waktu relatif singkat membuat pelaku pasar semakin waspada. Tekanan psikologis sering kali mempercepat aksi jual di pasar valuta asing. Kondisi ini memperparah pelemahan yang sudah terjadi sebelumnya.
5. Dampak ganda rupee lemah bagi ekonomi domestik

Rupee yang melemah membawa risiko kenaikan biaya impor. Harga barang impor berpotensi naik dan memicu tekanan inflasi. Kepala ekonom Nomura menilai, pelemahan mata uang bisa mempengaruhi stabilitas harga jika berlangsung terlalu lama. Tekanan inflasi tersebut menjadi salah satu kekhawatiran utama pemerintah dan bank sentral.
Sisi lain dari pelemahan rupee juga patut diperhatikan. Nilai tukar rendah bisa membuat produk ekspor India lebih kompetitif di pasar global. Laju inflasi domestik yang relatif rendah memberi ruang bagi ekonomi India untuk menyerap dampak tersebut. Kondisi ini membuat pelemahan rupee disebut sebagai pedang bermata dua bagi perekonomian.
6. Sikap bank sentral India terhadap pasar valuta asing

Bank sentral India memilih membiarkan mekanisme pasar menentukan nilai tukar. Kebijakan tersebut ditegaskan kembali dalam pertemuan moneter terbaru. Meski begitu, otoritas moneter tetap siaga menghadapi volatilitas berlebihan. Intervensi dilakukan saat tekanan dinilai terlalu ekstrem.
Laporan pasar menyebut bank sentral sempat melakukan intervensi agresif untuk menahan pelemahan rupee. Langkah tersebut bertujuan meredam kepanikan jangka pendek. Kepala ekonom S&P Global Market Intelligence menilai, intervensi penting untuk menjaga stabilitas. Keputusan tersebut menunjukkan keseimbangan antara kebebasan pasar dan perlindungan stabilitas ekonomi.
Pelemahan rupee India gak terjadi tanpa sebab dan melibatkan banyak faktor sekaligus. Ketidakpastian perdagangan, tarif tinggi, serta arus keluar dana asing menjadi tekanan utama. Level psikologis dan respons pasar ikut mempercepat pergerakan nilai tukar.
Meski membawa risiko, rupee lemah juga menyimpan peluang bagi sektor ekspor. Buat kamu yang mengikuti dinamika ekonomi global, pergerakan rupee India layak dipantau karena dampaknya bisa menjalar ke kawasan Asia secara luas.


















