Kisah Warga Suriah Bertahan Hidup dengan Barang Antik di Tengah Krisis

Warga kesulitan mendapatkan akses listrik dan bahan bakar

Jakarta, IDN Times - Sejak dilanda perang selama satu dekade terakhir, Suriah telah mengalami krisis ekonomi terburuk. Warga kini harus beralih menggunakan peralatan lama, seperti kompor dan lampu antik, akibat kekurangan bahan bakar dan pemadaman listrik selama berjam-jam.

Hal itu pula yang dirasakan Abu Mohammed, seorang pria Suriah berusia 60 tahun. Ia tengah berjalan menyusuri Jalan Al-Hamedya di Kota Homs dengan membawa kompor minyak tanah antiknya yang perlu diperbaiki, seperti yang dimuat Al Jazeera pada 3 Mei 2022.

Saat ia sampai di toko tempatnya membeli alat itu belum lama ini, ia diberitahu alasan alat itu berhenti bekerja, yakni penggunaan yang berlebihan dan bahan bakar yang kualitasnya buruk.

Dengan kondisi yang sama, Amira Youssef, ibu dari sembilan anak yang tinggal di Damaskus, menyesal telah menyingkirkan kompor minyak tanahnya. Ia kini dengan terpaksa harus membeli kompor lain seharga 60 ribu lira.

“Saya tidak bisa memasak dengan kayu bakar seperti yang dilakukan orang lain di pedesaan karena saya tinggal di sebuah flat di kota. Kompor minyak tanah ini adalah satu-satunya pilihan saya untuk memasak,” kata Youssef.

Baca Juga: Imbas Krisis Valuta Asing dan BBM, Kini Sri Lanka Hadapi Krisis Medis

1. Penjualan peralatan antik dan bekas meningkat 

Kisah Warga Suriah Bertahan Hidup dengan Barang Antik di Tengah KrisisIlustrasi bendera Suriah berkibar (usip.org)

Dengan kondisi demikian, penjualan barang antik dan tradisional kini berubah drastis di pasaran. Abu Khaled, seorang pengrajin di pasar kota Homs mengungkapkan, permintaan akan alat-alat tersebut meningkat selama satu dekade terakhir.

“Sebelum 2010, pelanggan kami adalah turis Barat atau Arab yang membeli barang-barang ini sebagai suvenir dan membayarnya dalam mata uang dolar. Itu adalah periode kemakmuran bagi pasar dan kami melakukannya dengan sangat baik,” kata Abu Khaled.

Namun, bisnisnya tersebut sempat terhenti akibat perang Suriah yang juga berdampak ke kota Homs. Pasar disebutnya hancur parah kala itu.

“Kami kembali dan membuka toko pada 2015, dan sejak itu konsumen kami telah berubah dan begitu pula pendapatan kami. Pelanggan sejak itu adalah warga Suriah yang miskin yang kebanyakan ingin memperbaiki kompor kuningan mereka yang sudah lama terlupakan,” lanjut Abu Khaled.

Kondisi itu tidak jauh berbeda atas apa yang diceritakan Abdelrazek Toulaimat, pedagang lampu dan kompor minyak tanah di Kota Damaskus. Ia mengatakan, peredaran barang tradisional tersebut semakin mudah ditemui di pasar. Barang dagangannya kini bahkan cepat habis terjual.

“Seperti toko lain, kami menurunkan stok yang telah kami lupakan, dan dengan cepat terjual habis. Jadi kami membuat lebih banyak, dalam berbagai ukuran, dan menjualnya dengan harga lebih tinggi. Kompor dijual seharga 4 ribu lira, dan harga sebuah lampu sekitar 20 ribu,” kata Toulaimat, seraya mencatat bahwa pasar barang bekas juga semakin digandrungi warga.

Baca Juga: Suriah Surati Sekjen PBB atas Kejahatan Perang AS di Kota Raqqa

2. Sulitnya untuk memperoleh listrik dan bahan bakar 

Kisah Warga Suriah Bertahan Hidup dengan Barang Antik di Tengah KrisisPengungsi Suriah (twitter.com/Mark Cutts)

Tanpa tenaga listrik dan bahan bakar, sebanyak 90 persen warga Suriah jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Mereka tidak memiliki penghangat, tidak dapat memasak, dan mencuci.

Sebanyak empat dari 14 pembangkit listrik Suriah telah rusak parah akibat perang. Kondisi itu membuat produksi listrik Suriah menurun 18 persen dibanding sebelum perang. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Suriah telah memberlakukan skema penjatahan listrik untuk memenuhi permintaan nasional.

Menurut skema itu, wilayah di seluruh Suriah hanya mendapatkan satu jam jatah tenaga listrik untuk setiap lima atau 10 jam pemadaman. Langkah itu membuat rumah tangga keluarga harus mencari energi alternatif.

Di pedesaan Suriah, kotoran hewan yang dibentuk menjadi bola-bola yang kemudian dijemur dan dicampur dengan jerami, selain kayu bakar, telah menjadi bahan bakar umum untuk kompor dan oven di luar ruangan.

Itu karena tabung gas untuk keperluan memasak membutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk dikirim, dan hanya mampu bertahan selama 20 hari. Selain itu, banyak warga yang memang tidak mampu untuk membeli gas.

Di musim dingin, keluarga-keluarga berkerumun di sekitar api unggun yang dinyalakan dengan kotoran hewan untuk mendapatkan kehangatan. Namun, tindakan membakar kotoran hewan tersebut rupanya dinilai berbahaya. Beberapa anak Suriah kerap mengalami gangguan pernapasan berupa batuk parah, seperti yang dilapokan BBC.

Baca Juga: Gawat! 100 Anak di Penjara Suriah Diculik ISIS, Nasibnya Entah

3. Akses bahan bakar sulit karena sanksi AS 

Kisah Warga Suriah Bertahan Hidup dengan Barang Antik di Tengah KrisisIlustrasi harga minyak (IDN Times/Arief Rahmat)

Pemerintah Suriah menyalahkan Caesar Act Amerika Serikat (AS) yang disebutnya menjadi biang keladi atas krisis bahan bakar di negara itu. Undang-undang tersebut memberlakukan sanksi ketat yang telah mengganggu aktifitas impor sejak diberlakukan pada 2019.

Warga Suriah telah merasakan efeknya. Pihak AS mengatakan bahwa tindakan itu diperlukan untuk menghukum presiden Suriah, Bashar al-Assad, dan sekutunya secara finansial. Assad dikenal sebagai pemerintah yang otoriter dan berbahaya bagi rakyat sipil, seperti yang sudah terjadi di masa lampau.

Perang yang sudah berlangsung sejak satu dekade itu terkait dengan pemberontakan kelompok pro-demokrasi dengan rezim dinasti lama presiden al-Assad. Hal itu diperparah dengan terlibatnya kekuatan asing di dalam konflik tersebut.

Zidan Patrio Photo Verified Writer Zidan Patrio

patrio.zidan@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya