Di kantor, Naya sudah hafal polanya. Kalau ada kesalahan di laporan, semua mata menoleh ke dia. Kalau ada keberhasilan, nama yang disebut justru rekan kerjanya, laki-laki, tentu saja.
“Wajar, dia kan lebih berwibawa kalau presentasi,” kata bosnya suatu kali.
Naya cuma tertawa dalam hati. Wibawa? Yang dimaksud bosnya itu hanyalah suara lantang dan dada bidang. Isinya? Kosong. Tapi karena keluar dari mulut laki-laki, mendadak terdengar meyakinkan.
Ia pernah iseng menghitung: untuk satu promosi, rekan laki-laki hanya perlu menunjukkan 60% kemampuan. Sedangkan ia, perempuan, harus mengerahkan 120 persen. Dua kali lipat, biar dianggap setara.
Ironisnya, saat ia berhasil, respons yang didapat sederhana saja:
“Wah, hebat juga kamu, Nay. Padahal cewek.”
Padahal cewek.
Kalimat yang selalu menyelipkan racun dalam pujian.
Di rumah, pola itu terulang lagi. Ibunya rajin menagih, “Belajar masak dong. Nanti kalau udah nikah, kasihan suamimu.”
Lucu. Tidak pernah ada yang bilang ke adiknya, “Belajar masak dong. Nanti kalau nikah, kasihan istrimu.”
Adiknya cukup duduk depan layar gim, dan dunia tetap menganggap itu normal.
Naya kadang berpikir, mungkin laki-laki memang punya privilege bawaan lahir: standar mereka dipasang rendah, supaya gampang dilewati. Sedangkan standar untuk perempuan dipasang setinggi langit, lalu dunia pura-pura heran kalau banyak perempuan yang jatuh di tengah jalan.
Yang lebih menyakitkan, laki-laki tidak merasa bersalah. Mereka bahkan nyaman. Kenapa tidak? Mereka bisa leha-leha, sementara ada perempuan yang harus jungkir balik membuktikan diri, lalu hasilnya masih saja diremehkan.
Naya menutup laptopnya. Ia lelah, tapi lebih lelah lagi menghadapi kenyataan bahwa sistem ini tidak akan berubah cepat. Dunia terlalu sibuk memanjakan laki-laki.
Kalau ada yang bilang, “Perempuan sekarang kan sudah setara,” Naya ingin tertawa keras-keras. Setara?
Coba cabut semua bonus yang dinikmati laki-laki; bonus suara lantang, bonus tubuh bebas tuntutan, bonus standar rendah. Baru kita lihat siapa yang benar-benar tahan berdiri di arena.
Karena yang kejam itu bukan hanya sistem. Yang kejam itu laki-laki yang tahu dunia memihak mereka, tapi tetap pura-pura buta.