Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sakura by cookiemonstah

Bunga-bunga sakura tampak seperti menari-nari kala angin berembus melepaskannya dari ranting-ranting pohon. Mereka ada yang berputar di dekat pohon, terbang menjauh dengan gerakan indah, dan ada pula yang terjun begitu saja, merebahkan diri di tanah.

Kau berdiri di dekat halte, memperhatikan mereka semua meski luput olehmu satu-dua di antaranya, bahkan lebih banyak. Mata bulatmu terus memandangi pohon itu dan sekitarnya, seolah-olah sedang mengingat-ingat sesuatu. Ya, kau mengingat tentangnya dan musim semi tahun lalu.

“Keiko.” Suara itu kembali terdengar. Mengetuk-ngetuk gendang telingamu dan membuatnya terasa begitu nyeri. Itu adalah suara yang ingin kaulupakan. Suaranya yang samar-samar berhasil kauhapus dari memori kelabu setahun lalu.

Saat itu musim semi tiba. Kau mengenakan kimono satin biru bermotif bunga sakura merah muda dan batangnya yang berwarna cokelat gelap. Di rambutmu terdapat jepitan pita warna merah yang bagian tengahnya ada tiga buah manik-manik yang akan bersinar di bawah pantulan cahaya lampu atau bulan yang menggelayut di langit.

Kau berdiri di bawah pohon sakura di dekat kedai ramen. Tangan kananmu memeluk punggung tangan kirimu, sedangkan matamu mencari-cari sosok bertubuh jangkung dengan rambut yang sedikit agak panjang. Mata sipitnya selalu bersembunyi di balik kacamata yang sesekali merosot karena hidungnya tak cukup mancung untuk menopangnya—kacamata tersebut. Ia seharusnya sudah datang sejak setengah jam lalu. Kalaupun sibuk seharusnya ia juga mengirim pesan padamu. Tapi ia tidak!

Kau menatap jam di pergelangan tanganmu, berniat pulang jika saja ia tidak datang dalam waktu lima menit lagi. Ah, sepuluh menit mungkin, tawarmu pada diri sendiri.

“Kau menungguku?” tanyanya yang sudah muncul di belakangmu. Kau terkesiap.

“Sejak kapan kau datang?” tanyamu.

Ia tersenyum, merangkulmu dan mengajakmu untuk pergi ke taman hiburan atau berkunjung ke pasar malam. Wajahnya tampak cerah, senyumnya juga mekar serupa bunga-bunga sakura. Sedangkan kau berjalan dengan perasaan kesal. Bagaimana tidak, ia bersikap biasa-biasa saja setelah membuatmu menunggu setengah jam lamanya.

“Kau ingin permen kapas?” tanyanya sesampai di mulut pasar malam.

Kau menggeleng, namun ia mengangguk. Membelikan satu untukmu. Lantas mengajakmu untuk lanjut berjalan.

Kalian tak membicarakan apa pun. Meski kau hanya diam, tapi kausadar kalau ada yang berbeda dengan sikapnya. Ia terlalu berlebihan dibanding biasanya. Ia tampak sangat bersemangat, bahkan memakan es krim yang sempat dibelikannya untukmu hanya karena kau berkata tidak mau.

“Baiklah, aku tidak akan membuatnya menjadi sia-sia,” serunya masih dengan wajah yang masih berseri-seri.

Ia berjalan sambil tangan kirinya menganggam tanganmu, sedangkan tangan kanannya sibuk memegang stik es krim. Lidahnya terlihat asyik menjilati es krim rasa cokelat, dan setiap kali ia melempar pandangan padamu, maka sebaris senyum tampak dari bibirnya yang tipis.

Kau mengikuti langkahnya yang pelan. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengannya hari ini. Mungkin ia habis terbentur tembok atau jatuh dari tangga ketika bergegas menemuimu. Ah, tidak mungkin, sanggahmu sembari menggelengkan kepala.

“Kau lelah?” tanyanya.

Matamu terbelalak. “Apa?”

“Apa kau ingin aku membelikanmu obat sakit kepala?”

“Tidak,” jawabmu singkat, padat, dan datar.

Kau tidak butuh obat sakit kepala. Kau juga tidak butuh apa-apa yang sejak tadi dibelikannya untukmu meski kau berkata tidak mau. Kau hanya butuh tahu apa yang dipikirkan oleh otak kecilnya saat ini saat ia membelikanmu ini dan itu, lantas memintamu untuk menyimpannya untuk kenang-kenangan seandainya ia tidak ada. Kaupasti akan sangat merindukannya jika dia pergi ke suatu tempat yang jauh.

“Aku tidak akan merindukanmu,” sanggahmu bohong. Kau membuang muka darinya, duduk di salah satu bangku panjang bercat hitam di samping pohon sakura.

“Benarkah?” tanyanya yang kemudian ikut duduk bersamamu.

Kau mengangguk mantap, padahal dalam hatimu kau hendak berteriak mengatakan bahwa ia bodoh.

“Syukurlah,” jawabnya senang. Kemudian kalian tak saling bicara untuk waktu yang lama. Saling membisu dan membiarkan angin malam membekukan waktu atau barangkali memutar jarum jam agar waktu cepat berlalu.

Kau sibuk menunduk, menatap bakiakmu. Sedangkan dia … entahlah, kau tak memperhatikannya. Rasanya kau ingin kembali ke rumah, merebahkan tubuhmu pada ranjang berseprai merah jambu. Kau merutuki tentang pertemuan hari ini. Berpikir kalau harusnya kalian tak usah bertemu.

Mungkin sudah lima menit lebih, kau mengangkat kepalamu yang terasa pegal, mencoba mengajaknya untuk pulang saja. Tapi ponselmu berdering, membuatmu mengalihkan padangan yang seharusnya untuknya. Merogoh saku dan mengambil ponsel.

“Di mana kamu sekarang?” tanya seseorang di seberang sana.

“Di pasar malam bersama Kenichi.”

“Kenichi?”

“Iya, Mama.”

“Kamu belum mendengarnya. Sore tadi Kenichi mengalami kecelakaan dan sekarang dia sudah ….” Mamamu tak meneruskan ucapannya. Hanya suara sesenggukan yang terdengar.

Kau mematung sesaat, menutup telepon tanpa mengucapkan apa pun pada Mama. Menengok ke samping, tempat yang kau yakini betul kalau Kenichi ada di sana, bersamamu. Tapi nihil. Kenichi menghilang begitu saja. Menyisakanmu yang hanya dapat menatap pohon sakura di samping bangku yang kau duduki dengan mata berkaca-kaca. Lantas satu-dua bunga sakura jatuh di musim semi, tertiup angin lembut dan mendarat tepat di pangkuanmu. (*)

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team