Tidak ada papan nama. Tidak ada promo diskon. Tidak ada musik keras. Tapi orang-orang datang juga. Selalu.
Salon kecil itu berada di atas rumah kontrakan tua, tersembunyi di balik loteng sempit dengan tangga yang nyaris curam. Tak ada plester dinding. Tak ada lampu sorot. Hanya satu kursi, satu cermin, dan satu tangan yang tak lagi muda, milik Dina, 38 tahun.
“Masih buka, Mbak?” tanya pelanggan baru, biasanya dengan ragu.
“Kalau kamu berani naik tangga itu tanpa takut jatuh, ya... silakan,” jawab Dina sambil tersenyum.
Ia tidak menjanjikan potongan rambut terbaik. Tapi selalu ada teh melati hangat dan bantal kecil di kursi salon. Tak ada daftar harga. Hanya sumbangan seikhlasnya.
Dan anehnya, semua merasa ingin kembali.
Dulu, Dina adalah pegawai di kantor besar. Pakai blazer setiap hari, kirim email jam sembilan malam, rapat sambil menahan pipis. Sampai suatu hari, ia duduk dua jam di parkiran kantor tanpa tahu harus pulang ke mana.
Ia kembali ke rumah ibunya yang sudah kosong. Loteng itu tadinya gudang. Ia bersihkan, pasang lampu kuning redup, beli kursi salon bekas dari aplikasi online.
Tanpa rencana. Tanpa target. Tapi ada sesuatu yang tenang dalam kegilaan itu.
Setiap pelanggan punya cerita. Dina tidak banyak bertanya. Tapi mereka berbicara.
Tentang suami yang berubah, atasan yang semena-mena, anak yang sulit dikendalikan, atau sekadar tentang hidup yang terasa kosong meski semua terlihat baik di sosial media.
Dina hanya menyisir pelan dan sesekali berkata, “Rambut rontokmu bukan karena sampo. Itu karena kamu menyimpan tangis terlalu lama.”
Kadang pelanggan tertawa. Kadang menangis. Kadang hanya duduk diam sambil memandangi dirinya di cermin.
Suatu hari, datang seorang perempuan muda. Wajahnya rapi. Terlalu rapi.
“Aku mau potong pendek banget. Sekalian warnai. Warna apa aja, terserah,” katanya.
Saat Dina mencuci rambutnya, ia bertanya pelan, “Kamu lagi lari dari apa?”
Perempuan itu tidak menjawab. Tapi air matanya larut bersama air hangat.
Di akhir sesi, ia tidak jadi potong pendek. Tidak jadi diwarnai.
Ia hanya tersenyum dan berkata, “Makasih ya. Aku kira, aku cuma mau ganti gaya. Ternyata, aku cuma butuh dengar bahwa enggak apa-apa capek.”
Beberapa bulan kemudian, mantan bos Dina datang.
“Kamu ngapain, Din? Sayang banget, kamu 'top performer', loh. Bisa jadi kepala divisi kalau bertahan.”
Dina tertawa kecil. “Di sini aku bisa tidur siang dan enggak perlu jawab chat jam sebelas malam. Kamu bisa?”
Mantan bosnya terdiam. Ia tidak masuk.
Suatu pagi, pelanggan tetapnya bertanya, “Mbak, kenapa enggak pindah tempat yang lebih besar? Salon ini 'tuh istimewa, loh.”
Dina menunjuk ke cermin di depannya.
“Aku buka salon ini bukan buat bikin orang cantik. Tapi biar mereka bisa lihat diri mereka, tanpa suara dari luar.”
Ia menyisir rambut dengan tenang. Lalu tersenyum ke bayangan di cermin.
Dan begitulah hari-hari berlalu. Loteng itu tidak viral. Tidak masuk majalah. Tapi selalu ada yang mengetuk tangga kecil itu, berharap bisa menaruh sedikit lelah yang tak bisa dibagi ke mana-mana.