Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi laki-laki duduk sendiri menonton kenangan (pexels.com/adrienolichon)
ilustrasi laki-laki duduk sendiri menonton kenangan (pexels.com/adrienolichon)

Intinya sih...

  • Reza memiliki toko kelontong yang tutup setiap hari Senin, meskipun buka saat banjir dan Lebaran.

  • Alasan Reza menutup toko pada hari Senin adalah untuk mengenang saudaranya, Aksa, yang meninggal secara mendadak.

  • Bagi Reza, hari Senin bukan waktu libur, melainkan waktu untuk mengenang kenangan bersama Aksa dalam diam.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Warga kampung suka berbelanja di toko milik Reza. Barangnya lengkap, harganya pas, orangnya sopan. Tapi satu hal kerap jadi bahan bisikan tetangga, "Kenapa ya, tiap hari Senin tutup terus? Bukan hari pasar, bukan juga hari libur nasional."

Reza selalu menghindar dengan jawaban singkat, “Hari keluarga,” meski semua tahu ia tinggal sendiri.

Reza merupakan laki-laki sederhana yang menjalankan toko kelontong warisan ayahnya. Ramah tapi tertutup, disiplin tapi menyimpan sesuatu. Ia buka setiap hari, kecuali hari Senin.

Seorang pelanggan baru, Wina, guru TK pindahan, penasaran dan mulai mengamati. Suatu Senin, ia melewati toko itu dan melihat tirai sedikit terbuka, lampu menyala, tapi pintu tetap terkunci.

Wina mendekat, mengetuk pelan. Tidak ada jawaban.

Beberapa minggu kemudian, karena sudah merasa cukup dekat sebagai teman bicara, Wina memberanikan diri bertanya, “Kenapa selalu tutup hari Senin? Padahal kamu buka saat banjir, saat Lebaran, bahkan saat kamu sakit.”

Reza diam lama. Ia tidak menatap Wina, hanya memutar sendok kecil di gelas tehnya.

“Aku punya saudara kandung. Namanya Aksa,” ujarnya pelan. “Dulu kami yang jaga toko ini berdua. Gak ada hari libur. Gak ada Senin.”

Lalu suaranya makin pelan, tapi jelas.

“Sampai suatu Minggu siang, Aksa jatuh saat benahi rak belakang. Aku yang menyuruh dia naik. Aku pikir, kuat-kuat aja. Waktu itu aku cuma keluar sebentar, cari makan. Pas balik, dia udah pingsan di lantai, ketindihan rak.”

Reza berhenti sebentar. Matanya tetap menatap meja.

“Dia lumpuh dari pinggang ke bawah. Dan pelan-pelan, dia juga lumpuh dari dalam. Gak mau lihat orang. Gak mau ngobrol. Gak mau hidup.”

“Sampai suatu hari Senin, dia meninggal. Diam. Gak minta tolong. Gak tulis pesan. Gak tinggalin apa-apa, kecuali satu kursi, dan satu gelas teh yang masih hangat. Dia bikin sendiri.”

Reza menarik napas, menahan sesuatu di tenggorokannya.

“Jadi tiap Senin, aku tutup toko. Bukan buat istirahat. Tapi buat duduk di kursi yang sama. Bikin teh yang sama. Dan diam, kayak dia dulu.”

“Aku tahu dia gak ada. Tapi aku juga tahu, hidup bareng dia itu yang bikin aku bertahan. Biarpun sekarang aku harus hidup sendirian, aku masih mau ingat rasanya duduk berdua. Sekali seminggu aja.”

Wina tidak menjawab. Ia hanya mengambil gelas Reza yang kosong dan menuangkan teh baru. Tidak berkata "turut berduka." Tidak bertanya lagi.

Reza melihatnya dan tersenyum kecil.

“Terima kasih. Tapi jangan khawatir. Aku gak sedih, kok. Aku cuma belum siap berhenti mengingat.”

Ada yang kehilangan orang yang mereka cintai.
Ada yang kehilangan bagian dari dirinya sendiri, dan hanya bisa menyimpannya dalam hari-hari yang tak diganggu siapa pun.

Bagi Reza, hari Senin bukan waktu libur. Tapi waktu setia.

Pada kenangan. Pada seseorang. Pada hidup yang pernah penuh, dan kini ia jaga dalam diam.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team