[CERPEN] Kota Ini Penuh dengan Binatang

“Ini tidak benar, ini pasti mimpi.”

Kawanan Zebra berlari di jalanan. Ada pula Gajah, Badak, Serigala, yang memenuhi jalan. Ia mengucek matanya. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di dalam gedung dan rumah-rumah pun sama.

“Ini tidak benar, ini pasti mimpi.”

Ia mencubit lengan kemudian menampar pipinya. Terasa sakit.

Kenapa semuanya tiba-tiba berubah dalam sekejap? apa yang terjadi sebenarnya? Berbagai pertanyaan yang berjejal memenuhi otak dan menuntut jawaban. Tanah yang ia pijak masih normal tidak berubah menjadi lahar atau padang pasir. Rumah-rumah pun masih tampak seperti biasa. Semua bangunan masih pada tempatnya. Tidak ada yang berubah. Tapi ke mana mereka? Ke mana semuanya? Ada apa dengan kota ini. Atau pertanyaannya, apa yang terjadi dengan diriku?

Yudha  melihat dirinya sendiri masih tampak normal setidaknya untuk saat ini. Tangan dan kaki masih utuh. Ia meraba hidung, pipi, kening dan telinga pun masih lengkap. Mulutnya tak berubah moncong anjing atau babi. Atau jangan-jangan saat tidur kepalanya terbentur tembok hingga otaknya korslet. Tapi ia rasa bukan itu alasannya. Ada yang aneh. Pasti sesuatu telah terjadi dengan kota ini. Dengan semua penghuninya. Kemana mereka semua?

**

Yudha berjalan tak tentu arah setelah sebuah kejadian yang tak dimengertinya saat itu. banyak sekali kawanan Gajah dan Badak. Ada juga Kijang, Anjing, Babi, Keledai, Onta dan segala jenis hewan yang ada di kebun binatang tampak dihadapannya. Semakin ia berjalan, ia semakin tak mengerti dengan apa yang ia lihat.

Apakah ras manusia telah punah? Apa mungkin aku satu-satunya manusia yang tersisa di muka bumi ini? Apa mungkin aku ditidurkan oleh Tuhan sekian lama seperti halnya para pemuda dan satu anjingnya beribu tahun silam sehingga kiamat telah lewat dan aku tak menyadarinya, kemudian aku dibangunkan setelah semua orang dibinasakan.

Mungkin setelah manusia punah, Tuhan kesepian tapi sudah kapok mencipta manusia lagi. Sehingga Dia hanya menciptakan binatang (lagi) untuk menghibur kesepiannya. Sedangkan Dia lupa padaku, sehingga aku tak masuk hitungan untuk dimatikan. Segala kecamuk pikiran itu membuatnya kian linglung.

Semakin ia mencoba berdialog dengan dirinya sendiri, makin ruwet pikirannya. Bagai benang kusut yang tak mungkin terurai. Ia berjalan gontai tak tentu arah. Lama sekali ia berjalan. Ia sangat berharap ada suara yang memanggilnya. Suara manusia. Namun yang ia dengar justru embikan kambing, lenguhan sapi, terkadang ringkik kuda. Langkahnya kini mungkin mirip zombie, loyo dengan tatapan kosong.

Kota ini menjadi asing baginya. Ia seperti Alien yang datang dari Planet lain. Mungkin di belahan kota yang lain tidak seperti ini. Mungkin. Ia sendiri ragu dengan pendapatnya. Keadaan Yudha seperti adegan dalam film Jumanji. Tapi ini terlalu aneh, tak ada sedikitpun tanda-tanda adanya manusia. Saat itu ia menyadari satu hal. Ia sendirian.

Ia coba mengingat-ingat lagi. Kejadian berhari-hari lalu. Tak ada satu pun yang ia ingat. Berbulan-bulan lalu, hasilnya sama. Ia mundur lagi ke belakang, kejadian bertahun-tahun lalu. Sama sekali nihil. Otaknya kosong, ingatannya terhapus sempurna. Seperti sebuah harddisk komputer yang baru diformat.

Hanya satu yang ia ingat, namanya ‘Yudha’. Hanya itu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Tuhan, jika Kau mendengarku, jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Atau begini saja, Kau ubah saja aku sekalian jadi kucing atau kuda. Daripada seperti ini. Atau kalau perlu matikan saja aku. Mudah saja bukan?” Ia berteriak sambil mendongak ke langit.

“Manusia sekaligus Nabi yang Kau ciptakan pertama kali saja kesepian meski berada di Surga dan menginginkan seorang teman. Apalagi aku? Memangnya Kau akan mengangkatku sebagai pengganti Nabi Sulaiman yang mengerti segala bahasa hewan?” Terus saja ia merutuki nasibnya. Ia mulai jengkel dan marah pada Tuhan.

Kemudian pada malam-malam sunyi seringkali ia menangis. Ya, hanya menangis. Berusaha menghabiskan stok airmata. Airmata kadang lumayan menghibur sebagai teman setia. Kadang ia tertawa sendiri, menertawakan keadaannya. Mungkin ia sudah setengah gila.

Hampir setiap saat ia berbicara pada Tuhan. Seperti orang yang sedang berdemo menuntut kenaikan upah. Kemudian ia berusaha memejamkan mata, berharap segera tertidur dan ketika ia bangun, keadaan kembali normal seperti sedia kala  

***

Saat terbangun, keadaan ternyata masih sama. Ia benar-benar diambang putus asa. Ia hanya menginginkan bertemu dengan manusia dan ingatannya kembali. Kemudian muncul satu hal dalam hatinya. Pasrah atau memang benar-benar telah hilang harapan. Kadang batas antara pasrah dan putus asa itu tipis saja.

“Terserah mau Kau apakan diriku ini. Aku tak peduli lagi. Aku tak punya siapa-siapa di muka bumi ini. Hanya Kau saat ini yang mau mendengarku. Itu pun aku tak tahu, Kau mungkin ‘di sana’ sedang ‘tertawa’ seperti menikmati film komedi. Aku juga tak bisa melihatnya. Tapi entah kenapa beberapa hari ini, aku merasa hanya Kau yang aku miliki. Tak ada yang lain.”    

Segala rasa saat itu seperti bercampur aduk menjadi satu. Ada kerinduan tapi berbalut keputusasaan, rasa seperti diperhatikan tapi juga dipermainkan. Yudha kemudian berjalan ke arah sebuah jembatan.

Di bawah jembatan itu terpampang sebuah sungai mungkin lebarnya lebih dari 100 meter. Airnya mengalir deras dan berair kecokelatan itu menarik perhatiannya. Ia kemudian memanjat pagar di pinggir jembatan itu. Bersiap melompat. Pasrah dan putus asa semakin sulit dibedakan. Ia merasa sudah tak kuat lagi menanggung kebingungan ini.

 “Tuhan, aku berniat bunuh diri. Tolong biarkan aku mati tenggelam saja di bawah sana, jangan jadikan aku santapan Buaya. Aku tahu sungai ini banyak sekali buayanya.” Itulah doa terakhirnya. Sebuah doa yang terdengar memalukan.

Beberapa saat pikirannya berkelebat, teringat doanya tadi. “Iya kalau doaku dikabulkan, kalau tidak, aku bisa jadi daging cincang. Lagi pula selama ini juga Tuhan seakan ‘diam’ saja.” Begitu pikirnya. Sambil berkali-kali menelan ludah.

Pada saat pikirannya sibuk mengembara, tiba-tiba muncullah seorang kakek tua berkaos oblong putih dan memakai celana hitam panjang di atas mata kaki. Ia berdiri di belakang Yudha dan membentak, “Ah, kelamaan mikir kau ini anak muda!” Kakek tua itu mengangkat tongkatnya dan mendorong punggung Yudha.

Terjadilah adegan seseorang terjun bebas mirip Bungee Jumping, tapi yang ini tanpa tali. Suara teriakan Yudha kemudian berganti bunyi berdebum sebuah tubuh yang jatuh dari ketinggian kemudian membentur permukaan air sungai. Tubuh Yudha terseret arus. Kakek tua berjenggot putih dan memakai caping ala petani itu hanya tersenyum. Kemudian berjalan santai seperti tak terjadi apa-apa. Beberapa langkah ia berjalan, tubuhnya perlahan-lahan mengabur kemudian lenyap tanpa bekas.***

Baca Juga: [CERPEN] Yang Hanya Bisa Membayangkan dan Membuat Pengandaian

Eka Madyasta Photo Writer Eka Madyasta

Suka es jeruk

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya