[CERPEN] Mbah Karto

Konon, jika malam purnama di sini...

“Kopi hitam dua mbah!” Kataku sambil mengacungkan dua jari membentuk huruf V.

Si penjaga warung mengangguk dan bergegas mengambil cangkir dan lepek, kemudian meracik kopi dan gula.

“Lama ndak kesini, Nak Adi?” Tanya mbah Karto usai menyerahkan kopi yang asapnya mengepul dari cangkir.

“Iya mbah, lagi banyak kerjaan,” jawabku sekenanya.

Warung sederhana dari gedheg bambu ini adalah langgananku jika aku ke sini. Dindingnya terbuat dari batang  bambu yang dibelah dan ditata vertikal. Dinding bagian dalam dilapisi anyaman bambu. Pemiliknya adalah Mbah Karto. Usianya mungkin sudah 75-an, terbaca dari keriput mukanya yang sudah menyerupai lipatan, taburan flek di sekitar pipinya, kedua cuping telinga yang melebar.

Meski bola matanya mulai kelabu, sorot tatapannya tetap tajam. Tubuhnya kecil ramping dan posturnya tegap. Tapi jalannya agak pincang. Orang-orang sekitar tak ada yang tahu asal usulnya. Ia seperti menyembunyikan jati dirinya.

Sudah lama ia membuka warung di sini. Letaknya paling bawah dari arah masuk ke pemandian. Kali ini aku mengajak Toni, teman kerjaku. Melepas penat. Mengisi paru-paru dengan oksigen segar. Mandi di pemandian Jolotundo adalah sebagian dari ritualku mengusir stres. Malam semakin larut, satu persatu pengunjung meninggalkan warung  ini. Tinggal aku dan Toni. Mereka pindah ke atas, ke dekat Candi Jolotundo yang ramai, menikmati sinar rembulan.

Malam ini bulan purnama. Sejak sore telah banyak kendaraan lewat dan naik ke arah Candi Jolotundo. Biasanya orang-orang ini dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Jombang dan kota lain di sekitar Mojokerto. Mereka akan mandi tengah malam dan mengambil air memakai galon.

Sumber air Jolotundo setelah diteliti, merupakan sumber air terbaik ketiga di dunia. Dan ajaibnya, sumber air ini tak pernah kering. Padahal Candi yang dibangun untuk pemandian pada masa Raja Airlangga ini tertulis angka 899 M. Bangunan candi ini masih kokoh dan utuh. Suara jangkrik terdengar nyaring di telinga. Aku menyukai suasana ini. Hening dan dingin.

Bulan tampak benderang di langit. Aroma dupa yang harum semerbak meruap di udara. Padhang mbulan atau malam purnama memang menjadi malam spesial. Orang-orang yang berkunjung ke sini mengkhususkan malam purnama untuk mandi dan mengambil air. Konon, jika malam purnama dan kita mandi di pemandian ini maka akan awet muda dan aura kita semakin cemerlang. Aku mengamini saja pendapat seperti itu, toh tidak ada salahnya selama pendapat itu bertujuan baik.

“Tumben pakai baju koko, baru ya Mbah?”

Mbah Karto terkekeh mendengar pertanyaanku, “Ndak nak Adi, baju ini memang jarang sekali mbah pakai. Ini peninggalan dari orang yang sangat mbah hormati. O iya, rumah Nak Adi dekat Pelabuhan Perak tho?”

“Betul mbah. Kenapa memangnya?”

“Ndak, ndak papa. Apa masih banyak preman di sana?”

“Kayaknya sudah nggak ada mbah.”

“Ya syukur kalo mereka sudah insyaf. Ndak ada gunanya pekerjaan seperti itu. Sia-sia. Dulu mbah ini juga kenal dengan salah satu preman di situ. Preman yang paling ditakuti dan paling kejam. Bahkan dulu peluru ndak mampu menembus badannya. Orang-orang situ memanggilnya Samson. Tapi pada akhirnya setiap orang bakal ngunduh wohing pakarti, menerima akibat dari perbuatannya. Ndak ada yang bisa lepas dari itu.”

“Maksudnya orang itu sudah mati Mbah?”

“Bukan Nak Adi, orang itu masih hidup. Tapi hidupnya dihantui oleh rasa bersalah. Sebab, banyak nyawa yang telah berakhir di tangannya. Sekarang dia ingin menunggu kematiannya dengan selalu memohon ampun kepada Tuhan. Dia juga merasa beruntung, sebab ada orang yang telah mengantarkannya kepada cahaya petunjuk. Kembali ke jalan yang lurus, dalan sing padhang. Orang itu juga dianggapnya sebagai sahabat sekaligus guru.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

**

Betapa kagetnya Zaenal saat sampai di rumah Pak Mus, ternyata yang ia temui adalah sebuah Pesantren kecil di pelosok desa di lereng Gunung Penanggungan dekat Pemandian Jolotundo. Ia kemudian diantar oleh Hamid atau lebih tepatnya Gus Hamid, putra Pak Mus. Ia diantar menuju belakang Masjid Pesantren. Ada sebuah kompleks makam keluarga disana dan ada satu yang tanahnya masih basah dan bertabur bunga. Di nisan itu tertulis sebuah nama ‘K.H Mushtofa’.

“Inilah orang yang Mas Zaenal cari.” Kata Gus Hamid.

Zaenal tersungkur jatuh terduduk di samping makam. Kepalanya bagai dihantam palu godam. Badannya tiba-tiba gemetar dan ia mulai terisak-isak. Dalam isak tangisnya, ia berbisik lirih “Kanjeng Guru, maafkan aku… maafkan aku. Saya sungguh bodoh, tak mengenal siapa sesungguhnya dirimu.” Airmata Zaenal semakin deras sambil merangkul nisan itu dan menciumnya.

Ia terus saja menunduk. Entah perasaan apa yang dirasakan Zaenal, rasanya baru kali ini dia merasa sangat kehilangan. Padahal seIama ini ia dikenal bengis dan kejam, tak ada sesuatu yang ia takuti. Nuraninya terusik dan ia merasa sangat kesepian. Kini ia bagai anak kecil yang ditinggal orang tuanya. Saat itu pula ia berjanji akan berhenti dari pekerjaannya dan pindah ke desa ini. Ia ingin dekat dengan makam orang yang telah menuntunnya menuju kesadaran. Sebuah kesadaran untuk kembali kepada fitrahnya sebagai manusia. Sebagai hamba.

“Dulu Pak Mus hampir setiap hari mengunjungi saya. Hampir tiga tahun lamanya. Beliau juga tak pernah menegur apa yang saya lakukan. Beliau hanya menemani dan mengajak saya ngobrol. Tapi entah kenapa saya senang ketika ditemani Pak Mus. Pak Mus benar-benar pintar menyembunyikan jati dirinya. Hingga berbulan-bulan lamanya Pak Mus ndak kelihatan. Kemudian tiga hari yang lalu saya bermimpi bertemu beliau dan menyuruh saya ke sini.” Ujar Zaenal seperti berbicara pada dirinya sendiri. Matanya menerawang jauh.

Gus Hamid diam saja di samping Zaenal. Sambil sesekali menepuk pundaknya. Mengisyaratkan agar Zaenal bersabar. Justru Gus Hamid yang malah menghibur. Gus Hamid tampak lebih tegar. Setelah tangis tamunya mereda. Gus Hamid mengajak Zaenal ke rumah.

“Beginilah gubuk reot saya mas.” Ujar Gus Hamid merendah.

“Ah, Gus bisa saja.”

“Monggo silakan duduk.”

“Iya Gus.”

“Sebelum meninggal, Bapak memberi beberapa wasiat pada anak-anaknya, termasuk saya sebagai anak tertua agar meneruskan perjuangan beliau menjaga Pesantren ini. Beliau juga menitipkan sesuatu untuk sampean. Seakan beliau sudah tahu kalau suatu saat Mas Zaenal pasti ke sini. Sebentar, saya ambilkan.”

Gus Hamid beranjak menuju kamar dan membuka almari pakaian.

“Ini untuk Mas Zaenal. Sebagai kenang-kenangan dari almarhum bapak saya.”

**

Mata kelabu itu menatapku sekilas kemudian menerawang jauh. Aku melihat perubahan mimik wajahnya. Seperti ada beban penyesalan yang teramat dalam dan tak mungkin bisa dihapus. Entah kenapa ceritanya terlampau hidup, seolah semua perasaannya tercurah di sana. Mataku pun mengembun.

Hampir satu jam si pemilik warung ini bercerita. Aku hanya mendengarkan dan sesekali menanggapi dengan senyum, anggukan dan satu-dua pertanyaan. Malam semakin dingin. Kopiku telah habis. Tinggal ampasnya saja di dasar gelas. Usai membayar, aku dan Toni berpamitan pada orang tua itu. Kini saatnya aku mandi di bawah sinar bulan purnama.***

 

Baca Juga: [PUISI] Tenggelam dalam Senyap

Eka Madyasta Photo Writer Eka Madyasta

Suka es jeruk

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya