[CERPEN] Ia dan Ingatannya tentang Suatu Sore

Dari balik dinding kaca

Dari balik dinding kaca, matanya memandang lurus ke depan. Mungkin ke lalu lalang kendaraan di luar, ke kerumunan muda-mudi di halaman gedung seberang, atau ke arah daun-daun yang basah kuyup diguyur hujan seharian. Namun, mungkin juga tidak ke arah apa pun. Mungkin ia tengah memandang lurus ke tempat yang jauh, ke masa yang bukan saat ini. 

Ia sudah berdiri hampir 1 jam lamanya dengan sebuah novel di tangan kanan. Orang-orang di sekeliling lalu-lalang. Hujan sore-sore begini memang waktu yang tepat untuk mendekam di dalam toko buku. Sekadar melihat-lihat sambil menunggu hujan reda. Bisa juga membeli satu-dua buku yang sekiranya menarik.

Ia masih diam tak bergerak sedari tadi. Hanya bola matanya naik turun mengikuti butir-butir air yang jatuh bebas. Benar kata orang, hujan adalah pembawa kenangan paling baik. Sebab, saat ini, pikirannya mengembara ke suatu masa lampau yang mendadak muncul.

"Sejak kapan suka baca buku?" katanya saat itu, hari saat pertemuan pertamanya dengan perempuan yang sedang ia kenang.

"Eh." Perempuan itu agak terkejut tiba-tiba ada orang asing bicara padanya. "Baru-baru ini, sih. Dulu, gak suka."

"Oh, jadi beli buku ini kenapa?"

Perempuan itu menoleh ke novel yang baru dibelinya berjudul Hujan. "Karena penulisnya mungkin. Kemarin, aku baru selesai baca bukunya yang lain. Bagus, aku suka."

Percakapan mereka singkat, dipotong kedatangan bus Trans Metro. "Aku jalan dulu, ya," kata perempuan itu dan tersenyum. Senyum yang menawan. Ia akan selalu ingat sore itu.

***

Langit masih menurunkan hujan. Pengunjung toko masih ramai. Ia pun masih di tempatnya berdiri sejak tadi. Ia lanjutkan ingatannya. 

"Hai, kayaknya kita pernah bertemu?” Ia mendekati perempuan yang beberapa bulan lalu ditemuinya di halte bus di depan. 

"Oh, ya?" Perempuan itu tampak mengingat-ingat.

"Iya, di depan sana."

"Oh, iya, iya. Aku ingat."

"Sering beli buku di sini?" tanyanya. 

"Seminggu sekali," jawab perempuan itu. 

Ia mengangguk-angguk. Kemudian mereka berjalan-jalan di antara rak-rak. Berbincang-bincang sambil mencari buku yang menarik. Setelah membayar di kasir, mereka sama-sama keluar menuju halte bus Trans Metro tempat pertemuan pertama. Namun, halte itu penuh. 

"Di sini saja," katanya pada perempuan itu. Mereka lalu duduk di bangku di bawah pohon, di samping halte. Melanjutkan pembicaraan tentang buku terbaru dari si penulis yang digemari perempuan itu. 

***

Hujan makin lebat. Pengunjung makin betah di dalam. Ia pun masih tenang berdiri di sini. Memandang lurus ke depan, ke suatu masa yang jauh. Ia meneruskan ingatannya. 

"Tumben beli buku nonfiksi."

"Sesekali, menambah wawasan," kata perempuan itu. 

Sejak tempo hari, setiap Sabtu dua orang itu bertemu di toko buku ini. Mereka berbagi kesan masing-masing tentang buku yang dibaca, merekomendasi satu novel, atau berbicara tentang forum-forum literasi yang baru mereka ikuti. Dua orang itu melakukannya sambil mencari-cari buku. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ia menyukai perempuan itu secara pribadi. Namun, tampaknya perempuan itu hanya menyukai pemikirannya, tidak dirinya. Ia ingin sekali bertanya beberapa hal di luar dunia perbukuan. Berapa usianya? Apa pekerjaannya? Di mana rumahnya? Yang paling penting, apakah ia punya pasangan? Berbulan-bulan mereka kenal, tidak sedikit pun hal semacam itu dibahas. Ia hanya tahu namanya. 

***

Tampaknya hujan mulai reda. Di sisi langit sana, ia melihat seberkas warna-warni. Indah. Menawan. Menakjubkan. Ia masih dalam ingatannya. 

"Aku mau bertanya," katanya pada suatu Sabtu, pada sore yang biasa. 

"Ya," balas perempuan itu, "bukannya kamu memang selalu bertanya?"

"Tapi yang ini lebih serius."

Perempuan itu diam saja, menunggu kalimat selanjutnya. Hanya hening cukup lama.

"Kamu punya pacar?" Akhirnya keluar juga kata-kata yang nyaris setahun ini terpendam dalam dirinya.

Sesaat perempuan itu mengernyitkan dahi. Pertanyaan ini memang asing, tapi tidak bisa dibilang serius. "Aku sudah menikah," jawabnya.

"Oh, begitu." Ia berusaha menutupi keterkejutannya. 

"Kenapa?" tanya perempuan sambil tersenyum. Senyum yang tidak menawan. 

Namun, ia diam saja, tidak mengucapkan apa pun lagi. Sisa sore itu, mereka habiskan dalam kesunyian yang ganjil. Mereka bersama, tapi tanpa berkata.

***

Hujan sudah reda. Beberapa pengunjung meninggalkan toko dengan dua-tiga buku dalam kantong plastik. Sementara, ia masih betah berdiam di tempat ini sejak tadi, tanpa melakukan apa-apa. Hanya matanya mengikuti gerak tetes air terakhir sebelum hujan benar-benar berlalu. Pelangi mulai beranjak. 

Ia tak pernah lagi melihat perempuan itu sejak suatu sore yang hanya diisi kebisuan. Ia bahkan mengunjungi toko buku setiap hari. Barangkali, perempuan itu mengganti hari kunjungannya. Namun, nihil. Ia ingin datang ke rumahnya, tetapi tidak tahu di mana. Ia sadar, ia tidak tahu apa-apa tentang perempuan itu. Sekarang, setelah hilang, ia tak punya jalan apa pun untuk menemukannya. 

Ia terus menyusuri ingatannya. 

Hari itu, hujan sungguh lebat. Ia keluar dengan langkah-langkah lemah tanpa membeli satu buku pun. Menyeberang. Berjalan lagi pelan-pelan menuju halte. Badannya basah kuyup, ia tak peduli. Sampai di halte, ternyata penuh. Orang-orang berteduh di dalamnya. Seketika, ia ingat suatu hari bersama perempuan itu. Ia lantas duduk saja di bangku di bawah pohon, di samping halte. Ia biarkan tubuhnya disiram air langit yang deras. Semoga bisa membersihkan jejak-jejak ingatannya.

Ia pejamkan mata dan mulai menikmati setiap limpahan air yang mengguyur. Ia yakin semua orang menatapnya, biar saja. 

Sore yang damai. Namun, seketika itu juga dalam duduknya, ia merasakan suatu aliran listrik. Lalu, sekonyong-konyong petir menyambar tubuhnya dalam satu gerakan cepat. Setelah itu, ia tak bisa rasakan apa pun. Ia tak bisa lihat apa pun. Ia tak bisa dengar apa pun. Tak bisa ingat apa pun. Ia tak tahu apa pun.

***

Langit kembali cerah. Sinar surya tampak mengintip di celah-celah awan. Ia masih berdiri di tempat ini. Sore itu adalah hari terakhir yang bisa dikenangnya. Selepas itu, ia tidak tahu apa yang terjadi. 

"Hai." Tiba-tiba, ia tersadar dari lamunan panjang ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Anggota baru, ya? Selamat datang di dunia bawah tanah. Wawancaranya akan dimulai sebentar lagi."

Baca Juga: [CERPEN] Cinta Pertama

Ekos Saputra Photo Verified Writer Ekos Saputra

gemar membaca dan menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya