[CERPEN] Efek Kepakan Kupu-kupu

bahkan debu memengaruhi semesta

Miliaran orang di bumi saling mengisi dan saling mengosongkan. Dua hal itu disebut saling menghubungkan satu sama lain. Sesuatu atau seseorang yang melakukan perubahan kinetik, meski sedikit saja, maka orang lain akan mendapatkan dampaknya.
Begitu kata Profesor Demi di kelas hari ini yang membahas tentang pemahaman efek kupu-kupu. Sebagai mahasiswa dengan indeks nilai terbaik, aku sedikit meragukan hal tidak masuk akal itu.

“Bagaimana menurutmu Evalina?”

Berapa banyak manusia yang menghilang dari muka bumi ini kemudian terlupakan begitu saja? Sama sekali tidak memberi efek apa pun pada mereka yang masih hidup. Tanpa sadar aku melontarkan jawaban ketus yang kupikir kuucap dalam hati, ternyata semua orang mendengarnya hingga membungkam seisi kelas.

“Pemikiranmu tajam sekali Eve. Coba renungkan lagi. Apa benar-benar tidak ada efek pada mereka yang ditinggalkan?” Aku sedikit gemetar karena penolakan dari Profesor Demi.

Semua orang di kelas menatapku. Sepertinya pernyataanku terlalu ekstrem untuk diungkapkan. Seolah aku manusia yang tidak punya kepedulian. Selain fakta bahwa aku sangat pelit saat dimintai tolong teman tentang mata kuliah, pernyataanku tadi menekankan pembenaran dari keegoisanku.

Profesor menutup kuliah dengan suasana tak mengenakkan hati yang menjalar di ruang aula. Orang-orang di sekitarku menatap dengan pandangan meghakimi. Sebenarnya apa salahku berkomentar seperti tadi.

Selama ini aku hidup dalam pandangan masa depan, sayangnya sebuah tragedi berhasil mengubah cara pandangku. Aku terpuruk menghadapi rentetan peristiwa yang tak terduga sekaligus menyakitkan. Saat ini meskipun oleh profesor yang paling kupercaya ilmunya, otakku tidak akan bisa menerima kenyataan pahit ini.

Begitu dilahirkan manusia tidak bisa memilih untuk masuk dalam keluarga macam apa. Selanjutnya, bagaimana jika tidak ada pendidikan dalam masa perkembangan anak? Mencari sendiri apa itu jati diri lewat teman-teman yang mengucilkanmu. Tumbuh mandiri secara emosional tanpa campur tangan orang tua.

Semua itu aku alami selama kurun waktu 19 tahun ini. Benar saja, aku memang selalu mandiri, sampai punya sifat egois. Karena aku merasa sanggup melakukan segala hal sendiri, jadi kenapa orang lain mebutuhkan bantuan? Terutama mereka yang butuh bantuanku, aku tidak mengerti kelemahan mereka itu. Aku bisa sendiri, mengapa mereka tidak?

Di usia 10 tahun aku mencari keberadaan ibu kandungku. Ketika aku sampai di rumahnya yang lumayan reot, aku menemukan bendera hitam dan banyak orang berada di depan rumah. Seseorang menghampiriku membawa sepucuk surat dalam amplop putih. Surat tersebut ditulis di atas kertas sobekan yang memberikan kesan tidak ada niat sama sekali untuk mencurahkan isi dalam surat.

Setelah membaca isinya yang kulakukan adalah diam. Seseorang yang tadi memberiku surat itu menyuruhku untuk masuk ke rumah agar aku makan barang sedikit. Tapi aku justru berlari pergi, aku menangis di jalan menuju pemberhentian bus antarkota.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Di dalam bus pun air mataku belum berhenti mengalir, sampai kondektur bus bertanya apakah aku kehilangan wali bepergian. Ya, anak kecil dalam bus sendirian, mengapa begitu ironi? Aku mengusap air mata di pipiku dan menjawabnya agar tidak usah memedulikanku. Bus akhirnya berangkat membawaku pulang ke rumah ibu tiriku yang tidak menyenangkan.
--
Segera aku memasukkan buku ke dalam tas tanpa memperhatikan bisik-bisik orang-orang di sekitarku. Keluar dari aula, aku menuju perpustakaan kampus. Kebiasaanku tiap kali ada waktu kosong setelah kuliah.

Tempat yang tenang di rak buku paling ujung menjadi lokasi bersemayamku. Hampir setiap membaca di perpustakaan aku memilih tempat ini. Cahaya dari lampu redup yang pas dengan kemampuan mataku. Tempat duduk yang cocok dengan tinggi badanku. Entah mengapa tempat ini tidak pernah ditempati orang lain, membuatku makin bebas duduk di sini.

“Aaaaaa!!” Seseorang berteriak di lorong buku yang tepat menghadapku.

Seluruh pengunjung perpustakaan beramai-ramai menghampirinya. Sebagian lagi memilih keluar perpustakaan. Aku keheranan dengan kejadian aneh ini. Begitu dia melihatku, orang itu langsung berteriak. Sementara aku otomatis berdiri pergi tanpa memperhatikan kerumunan di depanku. Namun, orang-orang masih menatapku tak percaya.

Mendadak penjaga perpustakaan menghentikanku ketika aku melewati pintu perpustakaan. Ia mengajakku duduk di kafe kampus. Laki-laki yang kupikir seusiaku itu berdehem, kemudian perlahan menjelaskan sesuatu yang sulit kuterima.

Lokasiku duduk di perpustakaan ternyata memberi dampak menggelikan di seluruh kampus. Tersebar rumor hantu penunggu perpustakaan, muncul setiap aku berkunjung di perpustakaan. Bahkan di malam hari saat aku mengerjakan tugas kuliah. Dia muncul di tempat aku duduk. Iya, hantu itu adalah aku.

Aku sama sekali tidak mengira bahwa hal lucu ini bisa menyadarkanku dari arti efek kupu-kupu. Kurasa kehadiranku yang tidak terlihat di ujung rak buku itu tidak akan memengaruhi orang lain. Nyatanya aku justru disangka sosok hantu penunggu perpustakaan.

Benar adanya, efek kupu-kupu itu terjadi padaku. Jika aku melewatkan surat dari ibu, aku tidak akan tahu bahwa ibu tiriku adalah adik ibu. Meski sampai detik ini dia masih berpura-pura menjadi orang asing padaku. Dari membaca surat itu juga aku jadi tahu ibu mengidap penyakit alexithymia yang ia sembunyikan supaya anaknya dapat tumbuh normal.

Keputusan dan kegiatan sederhana seperti membaca surat, berjalan beriringan, menghadiri kelas, bahkan berbicara dengan orang di hadapanku sekarang ini memberi dampak besar untuk kejadian masa depan. Hari selanjutnya pun sama, rumor akhirnya terpecahkan dan tak kusangka aku menjadi pusat perhatian warga kampus setelah kejadian tersebut.

Kini aku percaya bahwa aku, keberadaanku ikut memengaruhi seisi dunia.***

Baca Juga: [CERPEN] Beri Aku Akhir Pekanmu 

Jello sp. Photo Verified Writer Jello sp.

//The writer with flowers in mind (✿^‿^)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya