Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[NOVEL] Between Two Stars: BAB 1

Storial.co
Storial.co

1. URSA MAYORA

 

Beberapa kali Ocha memeriksa jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah seperempat jam lebih ia berdiri sendirian di jalanan depan sekolah, menunggu taksi lewat. Mukanya yang cantik terlihat kusut. Beberapa kali cewek berusia 15 tahun itu mendesah sambil mengusap keringat di dahi dengan punggung tangan.

Rena dan Doni sudah naik bus trans sejak dua puluh menit yang lalu. Nico, cowok yang paling perhatian di kelasnya, langsung memutuskan untuk naik angkot, setelah gagal merayu Ocha untuk pulang bareng. Sedangkan Ruth, teman sebangkunya juga malah ikut-ikutan Nico naik angkot. Ruth berpamitan kepada Ocha sambil berulangkali meminta maaf, dengan raut penuh penyesalan karena tidak bisa menemani Ocha.

Matahari yang sudah agak condong ke barat, melukis bayang-bayang tubuhnya di atas trotoar. Sepertinya bayang-bayang tubuhnya pun mulai dihinggapi rasa bosan. Berulang kali bayangan kakinya terlihat mengentak-entak dengan kesal. Sejak ia berdiri di atas trotoar depan sekolah, sudah lima kali dilihatnya angkot kuning jurusan Jatinegara melewatinya. Tapi masih belum ada taksi yang lewat. Berisik teriakan kernet angkot yang menawarinya tumpangan hanya ditanggapi Ocha dengan gelengan enggan.

Ocha paling tidak tahan dengan bau asap kendaraan umum yang bercampur keringat orang. Bau yang campur aduk ditambah cuaca panas bisa membuat Ocha mabuk. Mula-mula perut Ocha akan mual, melilit-lilit dilanjutkan dengan keluarnya isi perut yang tumpah membasahi baju. Warnanya kekuningan seperti kuah soto. Terkadang bercampur juga dengan butiran-butiran nasi yang mulai hancur. Hiyyy.... Menjijikkan sekali, bukan?

Jika kamu pernah muntah-muntah di dalam kendaraan umum, dan harus menerima tatapan tak menyenangkan dari beberapa penumpang, apa yang kamu pikir dapat kamu lakukan? Turun dari angkutan umum, lalu jalan kaki ke rumah? Atau membuang muka ke jendela, dan pura-pura tidak tahu bahwa cairan keruh yang keluar dari perut kamu itu telah memenuhi lantai angkot?

Lalu bagaimana dengan baju putihmu yang tiba-tiba terkena noda bekas muntahan? Mungkin kamu akan membayangkan bisa mempunyai baling-baling bambu seperti yang dimiliki Doraemon. Lalu kamu akan melesat ke angkasa. Selamatlah kamu dari suasana tidak menyenangkan itu. Kamu boleh tidak percaya, tetapi itulah yang sering dipikirkan oleh Ocha saat ia sedang mabuk perjalanan.

Setengah jam menunggu taksi, lamanya seperti menunggu pacar yang kelupaaan kalau sudah membuat janji. Untuk kesekian kalinya, Ocha mengipas-ngipas leher dengan lipatan koran di tangannya. Beberapa helai rambut lengket di lehernya yang basah oleh keringat. Spontan Ocha mengambil ikat rambut di saku baju dan menyatukan rambut sebahunya membentuk ekor kuda.

Ibu jari tangan kirinya beberapa kali mengelus layar HP. Mukanya terlihat semakin kusut. Rupanya ia ingin menghubungi taksi online namun baterai HP-nya malah sedang drop. Terpaksa Ocha menunggu taksi konvensional yang jarang-jarang lewat di depan sekolahnya. Sebelumnya, ia sempat membuka dan membaca tiga pesan WA dari Tante Wina.

Cha, udah pulang sekolah kan ya ini? Hati-hati pulangnya ya, Nak…

Udah dapat taksi belum, Cha? Mama khawatir nih.

Kok cuma di-read sih, Nak? Bales dong!

Lima tahun yang lalu, saat Ocha masih duduk di kelas 5 SD, Tante Wina menikah dengan almarhum ayahnya. Namun lidah Ocha terlalu kelu untuk memanggil ‘mama’ atau ‘ibu’ atau ‘bunda’ kepada Tante Wina. Bagi Ocha, hanya ada satu bunda dalam hidupnya, yakni bunda yang telah melahirkannya dan meninggal dunia saat Ocha baru saja merayakan ulang tahunnya yang keenam.

Tiga tahun lalu, ayahnya menyusul sang bunda ke alam baka. Takdir telah membuat Ocha menjadi yatim piatu saat ia baru berusia 12 tahun. Kini, hanya Tante Wina satu-satunya orang terdekat yang dimilikinya.

Hubungan Ocha dengan Tante Wina seperti layaknya hubungan dua orang yang mencintai satu pria dengan jenis cinta yang berbeda. Cukup dekat, tapi tetap saja memiliki batas tak kasat mata yang membuat keduanya selalu terkesan ‘berjarak’. Bahkan Ocha tetap memanggilnya Tante, alih-alih memenuhi pesan almarhum ayahnya agar memanggil ‘Mama’ kepada ibu sambungnya itu.

Tiga tahun lalu keduanya sama-sama kehilangan pria yang sangat mereka cintai. Namun hal itu tak lantas membuat mereka akrab satu sama lain. Ocha menunjukkan mimik sedih–sebagai kelaziman sebuah perpisahan–saat Tante Wina berpamitan ke Semarang selama seminggu untuk urusan pekerjaan. Ocha pikir, tak mungkin juga ia tertawa saat mata Tante Wina justru sedang berembun, kan?

Tiga pesan WA berturut-turut dan Ocha belum sempat membalas satu pun pesan WA itu, ketika tiba-tiba HP-nya mati. Mana ia lupa pula, tidak membawa powerbank. Sebetulnya Ocha kurang suka, Tante Wina terlalu mengkhawatirkannya. Namun dari tiga pesan singkat itu, cukuplah membuat Ocha yakin bahwa Tante Wina sedang sangat khawatir.

Terkadang Ocha justru jadi bingung dengan sikap ibu sambungnya itu. Saat jauh, khawatirnya bukan main. Namun tega meninggalkannya ke luar kota hanya untuk urusan pekerjaan. Ekspektasi Tante Wina terlalu berlebih saat mengharapkan Ocha mampu mandiri, ketika ditinggal pergi.

Realitanya, Tante Wina sendiri justru yang baperan dan diserang rasa khawatir. Mungkin karena selama ini Tante Wina tak pernah membiarkan Ocha pergi ke sekolah sendiri. Ia selalu menyempatkan diri mengantar anak sambungnya itu memakai mobil. Saat pulang, Ocha memang selalu pulang sendiri dengan menggunakan taksi. Tetapi ia selalu mengecek keberadaan anaknya melalui telepon, beberapa saat setelah jam sekolah usai.

Ocha tak menyadari bahwa beberapa langkah dari tempatnya berdiri, ada seorang cowok yang sedari tadi terus mengamati tingkahnya. Beberapa kali dahi cowok itu mengernyit, diikuti dengan anggukan kepala dan senyumnya yang tertahan di ujung bibir.

Sebuah taksi berwarna hijau tosca datang. Derum suara mesinnya membuat Ocha tersenyum lega. Dengan antusias, ia melambaikan tangan ke arah taksi. Namun begitu taksi berhenti, seorang cowok justru berlari mendahuluinya dan membuka pintu taksi.

“Woy … yang berhentiin taksi tuh gue, kenapa jadi elo yang buka pintu?” Ocha menepuk bahu cowok itu dengan gemas bercampur kesal.

“Perasaan tadi gue, deh yang melambai ke arah taksi, ya kan, Pak?” Cowok itu membantah tak kalah sengit. Bahkan berani minta pembelaan kepada sopir taksi.

“Apaan, sih? Lo minggir deh, gue mau masuk!” bentak Ocha galak.

“Enak aja! Lo yang harusnya minggir! Lo anak kelas berapa sih, berani mengusir kakak kelas lo?” Cowok itu membentak tak kalah galak.

“Oh, jadi lo kakak kelas gue? Harusnya kakak kelas tuh ngalah sama adik kelasnya, bukannya nyolot!” ucap Ocha sambil bersungut-sungut.

“Sudah… sudaaah… tadi Bapak lihat kalian memang melambainya barengan, jadi bagaimana kalau kalian naik semua saja?” Ucap sopir taksi yang tiba-tiba sudah berdiri di antara keduanya. Rupanya si bapak pemilik taksi gerah juga melihat pertengkaran kedua remaja itu.

Ocha saling melempar pandang dengan cowok itu. Namun begitu cowok itu mendahuluinya masuk taksi sambil nyengir lebar, kekesalan Ocha jadi naik sampai ke ubun-ubun.

“Eh … eh … main nyelonong aja! Woy … ladies first dong! Lo nggak tahu sopan santun ya?” Ocha memegang pintu taksi sambil melongokkan kepalanya ke dalam taksi.

“Justru karena gue senior, makanya harus didahulukan! Lo belum kenal gue atau pura-pura lupa sama gue? Jadi masuk nggak? Kalau nggak, gue tutup nih pintunya. Ayo jalan, Pak!” rupanya cowok itu tak main-main dengan ancamannya. Ia berusaha menutup pintu taksi, membuat Ocha refleks menarik pintu taksi agar tetap terbuka. Terjadilah tarik menarik pintu selama beberapa detik.

“Eh … tungguin dong! Iya … iyaaa, gue kepaksa nih bareng kakak kelas sombong kayak lo!” Ocha cepat-cepat naik dan memberi kode agar kakak kelasnya itu mau bergeser untuk memberinya tempat duduk.

Cowok itu menggeser pantatnya sembari menatap Ocha sambil tersenyum jahil. Ocha membuang muka ke samping dengan kesal. Sopir taksi yang sudah masuk dan menempatkan diri di depan kemudi, memutar lagu jadul yang entah datang dari abad keberapa, membuat Ocha ingin muntah. Namun Ocha berusaha menahan rasa mual itu. Demi bisa sampai di rumah dengan selamat, agar Tante Wina yang sedang di Semarang ikut tenang.

“Jadi, saya harus mengantar ke mana nih?” tanya Pak Sopir.

“Jatinegara Pak!” teriak Ocha kencang.

“Woy … enak aja. Gue yang duluan naik juga! Ke Cilandak, Pak!” Cowok di sebelah Ocha berteriak tak kalah kencang.

“Jatinegara dulu!”

“Cilandak!”

“Jatinegara!”

Taksi direm tiba-tiba, membuat Ocha kehilangan keseimbangan dan ambruk ke depan untuk kemudian terbanting ke samping, ke arah cowok yang mengaku kakak kelasnya itu.

“Aduh!!! Hati-hati dong, Pak, bawa taksinya!” Ocha berusaha bangkit dan membetulkan posisi duduknya.               

“Makanya jangan berantem terus. Kalian itu ya, sudah diberi kelonggaran naik taksi bareng, malah berantem! Bapak jadi bingung, tahu nggak? Bisa nggak sih salah satu ngalah?” bentak Pak Sopir tanpa menoleh.

“Lah, dia yang nyolot duluan!” teriak si cowok.

“Elo tuh yang nyolot, enak aja!” Ocha melotot galak.

“Sudah… sudah! Kalau nggak ada yang mau ngalah, gini aja. Bapak punya tebak-tebakan. Yang bisa menjawab, berarti dia yang akan saya antar lebih dulu! Bagaimana, setuju?” Pak Sopir berusaha memberikan win-win solution.

“Tebak-tebakannya apa dulu, Pak? Jangan asal ya?” Ocha mulai tak sabar.

“Gampang kok, tebakan dari Bapak. Siapa yang mendapat nilai nol saat ulangan?” Suara Pak Sopir terdengar sabar, seperti suara Pak Kabul guru Fisikanya. Namun siapa tahu, di balik kelembutan suara Pak Kabul justru tersimpan kemarahan yang tersembunyi dengan rapi? Seperti kemarin saat Pak Kabul menjebak Doni dengan sebuah soal yang sepertinya mudah. Namun ternyata membuat Doni harus setengah jam berdiri di depan papan tulis sambil mengeluarkan keringat dingin karena tidak bisa mengerjakan soal dari Pak Kabul itu.

“Tentu saja anak yang nggak belajar. Bener kan, Pak? Ayo, Pak, antar ke Jatinegara dulu!” jawab Ocha sambil tersenyum lega.

“Sayang sekali, karena tebakanmu salah!” jawab Pak Sopir dengan tegas.

“Lah … kok bisa salah s4ih, Pak?” ucap Ocha kesal. Ocha melirik ke arah cowok di sebelahnya dan menjadi bertambah kesal saat melihat senyum penuh kemenangan di bibir cowok itu.

“Yang dapat nol saat ulangan ya kertas dong, kan gurunya nggak mungkin nulis angka nol di jidat lo!” ujar cowok itu sambil tertawa.

“Seratus buat kamu. Siapa namamu?” tanya Pak Sopir, yang sekarang sudah berlagak layaknya seorang guru saja.

“Noe, Pak,” jawab cowok itu sambil nyengir.

“Berarti kita ke Cilandak dulu, mengantar Noe!” Pak sopir mengambil keputusan dengan mantap.

“Apa-apaan sih ini? Tebakan dan jawabannya sama-sama ngaco, nggak bermutu!” teriak Ocha. Matanya yang indah sampai membelalak karena kesal.

“Itu karena lo-nya yang dudul!” Noe masih sempat meledek Ocha.

Sopir taksi memutar arah mobilnya menuju ke arah Cilandak. Derum suara mesin taksi membuat kekesalan Ocha tambah menggunung. Tebak-tebakan model apa coba, jawaban konyol malah dibetulkan? Mau tak mau ia harus mengikuti permainan konyol itu. Artinya, perjalanan ke rumahnya harus memakan waktu dua kali lebih lama.

Semuanya gara-gara cowok yang ikut nebeng di taksinya. Kalau saja ia mau menuruti saran Ruth untuk naik kendaraan umum, pasti ia tidak akan bertemu dengan kakak kelas yang menyebalkan itu. Namun Ocha paling tidak tahan dengan bau keringat orang. Apalagi jam pulang sekolah adalah saat ramai-ramainya angkot dan bus trans dipenuhi penumpang. Bisa-bisa ‘penyakit menetap’ Ocha kembali menyerang: Ocha jadi mabuk dan muntah-muntah di dalam angkutan umum.

Ocha memejamkan mata dan berusaha tidur. Tetapi embusan napas di depan wajahnya membuat Ocha tersentak dan membuka mata.

“UR – SA MA – YO – RA. ” Noe mengeja badge nama yang tertempel di dada sebelah kanan baju Ocha dengan suara yang keras.

“Apaan sih lo baca-baca nama gue? Enggak sopan, tahu?” Ocha melotot galak.

“Gue cuma kepengen mastiin, elo tuh cewek yang gue kenal atau bukan. Dan ternyata dugaan gue bener. Lo tetep aja masih sama kayak Ursa Mayora yang pernah gue kenal dulu, cantik dan galak. Harusnya lo berterima kasih karena gue ngebolehin lo naik taksi bareng sama gue, Ocha!”

“Hah? Jadi lo kenal gue? Elo siapa sih?” tanya Ocha terkejut, saat cowok itu menyebut nama panggilannya tanpa ragu. Ocha beringsut menjauh sambil sesekali masih melirik penuh selidik ke arah cowok di sebelahnya.

“Satu lagi sifat lo yang nggak berubah, elo masih saja Ocha yang PE-LU-PA,” ucap cowok di sebelahnya sambil tersenyum mengejek.

Ocha mengambil HP dari saku bajunya. Ia ingin mencari tahu tentang cowok menyebalkan itu melalui Ruth sahabatnya. Siapa tadi namanya? Noe? Namun sungguh sial. Ia lupa kalau baterai HP-nya sudah habis. Ya Tuhan … Kok bisa lupa sih?

Ocha memasukkan kembali HP ke saku bajunya, lalu mulai membuka tas untuk mengeluarkan buku catatan kimia. Kalau bukan karena ingin membunuh waktu, Ocha paling malas membaca buku saat berkendara.

Namun yang sebenarnya sih, Ocha hanya ingin terlihat sibuk di mata Noe. Lalu diam-diam dari balik buku, ia mencuri-curi pandang, melirik ke arah kakak kelasnya itu. Ocha seperti mengenali hidung bangir itu, juga alis matanya yang tebal. Lalu ia mencoba mengingat-ingat kembali, di mana pernah bertemu dengan cowok itu dan dalam acara apa? Saat berserobok dengan mata cowok itu, Ocha juga merasa tak asing dengan tatapan matanya. Rasanya mata hazel (cokelat kehijauan) yang bening dari cowok itu pernah diakrabinya.

Ocha berusaha keras, mengingat wajah-wajah yang pernah hadir di masa lalunya, tetapi ia gagal. Ocha tak mengenali cowok di sebelahnya sebagai bagian dari masa lalunya. Sepanjang yang bisa diingatnya, hanya dua kenangan menyedihkan yang menguasai otaknya: kehilangan Bunda saat umurnya 6 tahun dan kehilangan Ayah, saat umurnya 12 tahun.

Satu lagi peristiwa yang sangat membekas dalam ingatannya, yakni pernikahan ayahnya dengan Tante Wina saat ia berumur 10 tahun. Tentunya itu bukan kenangan yang menyedihkan, walaupun tidak juga bisa dikatakan sebagai kenangan yang menyenangkan. Ocha agak kecewa dengan keputusan ayahnya untuk menikahi sahabat almarhum bundanya itu. Pemikiran bahwa ada orang ketiga antara dirinya dan sang ayah, membuat Ocha sedikit curiga dengan kehadiran Tante Wina sebagai ibu sambungnya.

“Woy …. Ngapain lo nyuri-nyuri ngelihat gue? Gue ganteng ya?” Teriakan Noe mengagetkan Ocha yang sedang menelusuri jejak masa lalunya. Tiba-tiba bayangan pernikahan ayahnya dengan Tante Wina buyar, berganti dengan pemandangan senyuman cowok di sebelahnya yang melebar penuh percaya diri.

“Iiiih …. Ge er lo! Gue cuma heran, kok lo bisa bebas dari razia guru BK, dengan model rambut seperti itu?” Jemari Ocha menunjuk ke arah rambut gondrong Noe.

“Ya karena semua guru terpesona sama gue-lah ...” Noe mengacak rambut ikalnya.

Gila memang cowok yang dijumpai Ocha kali ini. Pede-nya tingkat akut.

Taksi sudah memasuki kawasan perumahan cluster di daerah Cilandak. Pohon palem botol berderet-deret di sepanjang jalur masuk ke perumahan tempat cowok itu tinggal. Noe mulai memberi aba-aba kepada sopir taksi untuk belok ke kanan, ke kiri, ke kanan. Sampai di sebuah rumah besar bertipe mediterania, Noe baru menyuruh sopir untuk berhenti. Ada sebuah kolam besar dengan air mancur keluar dari sebuah kendi yang dipegang oleh patung anak kecil.

Selain teratai yang mengapung di permukaan kolam, beberapa tumbuhan dari jenis sikas dan magnolia semakin membuat halaman rumah terkesan asri. Sayangnya, pagar yang tinggi menyembunyikan keindahan halaman rumah itu, sehingga Ocha tak sempat menyaksikannya.

“Sudah sampai Pak. Ongkos taksinya nanti sekalian minta sama yang tadi tebakannya salah ya Pak!” Noe menyeringai ke arah Ocha, sebelum beranjak untuk membuka pintu.

“Maksud lo apa? Gue yang harus bayar ongkos taksi lo? Enggak, nggak, ini nggak fair!” Ocha mencoba menarik lengan baju Noe.

“Eits... lepasin dong, nggak rela banget sih gue tinggalin?” Noe merengut lengannya dari cekalan Ocha, sebelum melanjutkan kalimatnya, “Jangan terlalu sedih gitu dong... Gue janji setelah hari ini, kita akan sering ketemu! Okey, Cha? Dadah!” Noe melambaikan tangan sambil tersenyum.

“Hey… tunggu!” Ocha beringsut ingin keluar dari taksi untuk mengejar cowok itu, tetapi....

Blam!!! Pintu taksi tertutup, meninggalkan rasa kesal yang menggunung di dada Ocha. Rumah boleh besar dan mewah, tapi nyatanya cowok itu justru pelit memberi ongkos taksi. Sialan!! Bisa jadi rumah cowok itu di gang sempit, tapi justru minta turun di rumah mewah. Sekarang banyak kan, orang yang sok kaya, tapi nebeng fasilitas orang lain?

Pokoknya, gue harus nyari tahu siapa cowok itu! Janji Ocha di dalam hati.

“Gimana ini, Neng? Jadi ke Jatinegara?” tanya sopir taksi membuyarkan lamunan Ocha.

“Jadi dong Pak!” jawab Ocha mencoba bersabar.

Taksi bergerak pelan meninggalkan kompleks perumahan tempat Noe tinggal.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Storial Co
EditorStorial Co
Follow Us