Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[NOVEL] Segitiga Patah Kaki: Bab 5

storial.co

Lima: Perjumpaan yang Terlupakan

 

Ada alasan kuat kenapa Icha merasa tidak nyaman ketika seorang pria mengawasi kalungnya. Karena hal itu membangkitkan ingatan buruk yang hampir membuatnya celaka. Padahal Icha sudah berusaha keras untuk menghapus kenangan naas malam itu.

Tetapi saat Diaz menoleh dan menatapnya selama sepersekian detik lebih lama, secara naluri Icha tahu kalau Diaz pria yang baik. Tatapan matanya teduh dan ramah menenangkan. Membuatnya tidak perlu takut. Lagi pula Diaz bukan Seno. Juga bukan Arman.

“Fahri, kamu sudah kontak dengan Pak Samuel, kan?” tanya Diaz ketika mereka berhenti di lampu merah.

“Sudah, Pak!” teriak Fahri terlalu keras.

Ish! Ngagetin aja. Ngomong kayak sama orang budek,” komentar Icha yang terkejut karena tiba-tiba saja kepala Fahri muncul di sebelahnya. Dari kaca spion yang terpasang di atas, Icha tersenyum geli melihat ketiga pria duduk bersama di jok tengah.

“Kagetan amat sih, Cha,” balas Fahri sambil nyengir. Lalu menoleh pada Diaz yang sedang berkonsentrasi di belakang kemudi. “Barusan juga Pak Samuel tiba di kafe dan sedang menunggu kita. Beliau menawari kita untuk makan siang di sana, Pak,” lanjut Fahri.

Diaz menggeleng. “Nggak usah. Kita makan di tempat lain saja. Saya pengen makan enak rame-rame.”

Icha menoleh lagi kepada Fahri yang sedang menyeringai lebar. Pria itu juga mengacungkan kedua jempolnya sambil berkata “aseek!” tanpa suara. Membuat Icha tertawa pelan sambil kembali melihat ke depan dan menyandarkan kepalanya di jok mobil Diaz. Kapan lagi disopirin bos, ya kan? Dari ujung matanya Icha menangkap sekilas Diaz juga tersenyum tipis oleh kelakuan anak buahnya. Siapa sih orang yang nggak suka ditraktir?

Pertemuan dengan Pak Samuel tidak berlangsung lama. Karena hanya untuk memastikan beberapa hal yang sudah dibahas sebelumnya.

“Pak Diaz juga sebenarnya nggak usah ikut,” kata Hendy, arsitek muda asisten Fahri.

Saat itu Icha mengikuti Fahri yang berkeliling bangunan calon kafe yang masih dalam tahap renovasi ini. Diaz sendiri masih ngobrol bersama Pak Samuel di taman. Membuat anak buahnya leluasa melihat-lihat.

“Pak Diaz bete kali di kantor, makanya ingin keluar. Tapi kalau jadi dia juga aku bakal males banget ngeladenin dua bapak tua itu,” kata Fahri.

Icha nyengir. Andai Fahri tahu, dibandingkan Pak Sidik yang dulu menjadi atasannya, Pak Arif dan Pak Tjandra bagai dua orang santa karena terlalu baiknya. Setelah berada di Jakarta, Icha yang baru menyadari tipu daya Pak Sidik untuk menyingkirkannya, berusaha menutup semua informasi dari kantor cabang Malang ini. Menunggu kemarahan dan sakit hatinya reda. Maka dia heran begitu mendengar kabar kalau Pak Sidik sudah keluar dan digantikan oleh orang baru.

“Berarti Pak Diaz memang direkrut buat gantiin Pak Sidik, ya? Aku kaget lho, karena nggak menyangka orang sekuat Pak Sidik bisa diganti gitu.”

“Nggak juga sih, Cha. Prosesnya cukup lama kok. Dulu Pak Diaz direkrut sebagai asisten Pak Tjandra. Arsitek murni dia. Setelah Pak Sidik pergi pun, posisi dia masih sebagai asisten teknis. Pak Diaz baru menjadi bos setelah menikah dengan Lusi. Cukup ngagetin juga sih pernikahan mereka. Karena nggak kelihatan pacaran. Mungkin karena Lusi mengurusi keuangan kali ya, jadi sering berurusan dengan Pak Diaz dan selanjutnya sama-sama tertarik. Siapa tahu?”

“Eh?” Icha terkejut.

“Iya, belum lama kok mereka nikahnya. Baru dua apa tiga tahun gitu.”

“Bukan itu, maksudku,” bantah Icha. Dia nggak peduli Lusi dan Diaz menikah berapa lama. Ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya. “Maksudku si Lusi di keuangan? Akunting? Di bawah Saras yang judes? Kok kayak nggak mungkin, ya? Aku yang sabar aja tobat kok ngurusin Lusi. Apalagi Saras.”

“Koreksi, Cha. Pertama, Kamu? Sabar? Siapa yang bilang, Cha?” Fahri tertawa. “Yang kedua, Lusi nggak di bawah Saras. Dia di finance, di bawah Melvin.”

“Ha? Lusi balik ke finance? Dulu aku pindahin dia ke logistik karena dia parah banget di finance,” Icha menggeleng-geleng.

“Iya, setelah kamu pergi, Melvin naik gantiin kamu, kan? Nah, dia tarik Lusi balik. Jadi karena orang keuangan, secara otomatis mereka di bawah Pak Diaz. Kamu pikir gimana bisa Lusi deketin pria premium kelas Pak Diaz? Ini Lusi, lho. Kayak kamu nggak kenal dia dulu separah apa,” Fahri nyengir.

“Kamu kalau nyinyir ngalahin akun gosip, Ri!” ejek Icha.

“Eh, tahu nggak, ngomong-ngomong soal gosip, banyak yang bilang kalau Pak Diaz dijebak sama Lusi, lho!”

“Ih, kalian begini amat deh. Lagian Pak Diaz bego dong, kalau bisa kejebak!” Icha tiba-tiba jadi gemas pada diri sendiri yang secara naluri senang sekali mendengar gibah kayak gini!

“Dibilangin nggak percaya! Habis nikah mereka kayak nggak rukun. Dan ini udah jadi rahasia umum. Lusi kan mantan karyawan. Bocor lah rahasia dia di grup.”

“Kalian bener-bener kayak grup ibu-ibu komplek, deh!”

“Sebab Pak Diaz kesannya kayak nggak betah di rumah. Pengantin baru yang tiap hari lembur melulu di kantor, ya Pak Diaz ini. Malah beberapa kali ambil proyek di luar kota, stay selama beberapa bulan pula. Katanya sih, Pak Diaz dipelet!”

“Kamu ya, zaman Android masih percaya gituan,” Icha mencebik tak setuju.

“Tapi kemungkinan itu ada, Cha. Lusi cantik sih, tapi … gitu deh! Aku yang cuma gini-gini doang masih mikir-mikir lah kalau nikahin Lusi.”

“Untung di Lusi dong, dapet Pak Diaz! Bukan dapet kuli dengan status arsitek kayak kamu,” ejek Icha.

“Kayak jabatanmu mentereng aja! Kamu kan, kasir dengan jabatan finance,” balas Fahri. Membuat mereka tertawa.

Ketika Diaz muncul, keempat orang anak buah itu tersenyum penuh perasaan berdosa kepada sang atasan.

“Kualat kamu!” bisik Icha di telinga Fahri.

***

Unic Crab adalah salah satu resto dengan menu utama olahan laut.

“Kamu nggak apa-apa kan, Cha, makan seafood?” tanya Diaz tiba-tiba ketika mereka sudah duduk saling berhadapan dengan formasi dua-dua. Kebetulan Diaz duduk di sebelah Icha.

Icha menggeleng. “Nggak apa-apa, kok, Pak. Saya nggak ada alergi,” jawabnya santai.

“Bukan itu. Seafood kan, identik dengan kolesterol tinggi. Biasanya perempuan yang menjaga berat badannya sangat menghindari jenis makanan ini,” kata Diaz dengan suaranya yang empuk.

Aduh, Lus, kamu emang beruntung dapetin suami kayak gini. Aku salut dengan perjuanganmu selama bertahun-tahun, kalau apa yang dikatakan Fahri tadi benar. Diaz is worth getting! “Oh itu,” kata Icha buru-buru sebelum pikirannya ngelantur ke mana-mana. “Sumber kolesterol tinggi aslinya cuma ada pada beberapa jenis seafood saja sih, Pak. Dan saya bukan penganut diet ekstrem juga. Saya santai kok.”

Diaz tersenyum sambil mengangguk. “I see.”

Apakah Lusi penganut jenis diet ekstrem, ya? Ingat Lusi membuat Icha ingat sesuatu. “Sabtu lalu saya ketemu Lusi ketika sedang belanja di supermarket, Pak.”

“Oh ya?” Diaz mengerutkan kening. “Mungkin saya yang lupa apakah Lusi sudah cerita apa belum.”

“Lah, saya pikir karena Lusi cerita, jadinya Pak Diaz tadi memperhatikan kalung saya,” Icha tertawa. “Lusi kayaknya tertarik, Pak. Bisa lho, perhiasan model gini buat inspirasi kalau Pak Diaz mau kasih kado surprise buat istri.”

“Oh, ya?” kerutan di kening Diaz semakin dalam. “Setahu saya malah Lusi benci banget dengan kalung. Ups! Sorry. I mean, kalung bukan perhiasan favoritnya.”

Eh? Hayoloh… Cha! Bisa berabe ini. “Wah, lucu ya, ada orang nggak suka kalung,” dengan lihai Icha membelokkan arah pembicaraan. Kalau Diaz dan Lusi ada masalah, seganteng-ganteng Diaz juga dia ogah banget kalau harus berada di antara mereka berdua. Cari perkara aja. “Tapi untung lho, Pak, istrinya cuma nggak suka kalung. Bukan nggak suka cincin.”

“Emang kenapa?” kali ini Diaz tertawa pelan, penasaran juga dia.

“Ya kan, nggak seru, Pak! Ntar Pak Diaz bingung itu cincin kawin mau dipasang di mana. Masa iya puser ditindik buat cantelin cincin kawin.”

Diaz tertawa berderai-derai. Bukan jenis tertawa ngakak tanpa sopan santun seperti yang dilakukan Fahri dan dua asistennya tadi. Atau kayak Icha juga, yang kalau sudah ngakak, all out bener deh, sampai lupa semua ajaran kepribadian hingga menguap tak bersisa.

“Kan bisa diselipin di rantai kalung. Kayak punya kamu itu, Cha!” Diaz menunjuk pada liontin Icha yang sekilas memang terlihat seperti cincin. “Kamu memang hobi banget ya, pakai kalung semacam itu?” tanya Diaz tak terduga.

“Semacam itu gimana ya, Pak?” tanya Icha bingung.

“Dengan bandul seperti itu,” jawab Diaz kalem.

“Eh? Wait! Dari mana Pak Diaz menyimpulkan model kalung-kalung saya, sedangkan kita baru kenal beberapa hari saja?” Icha menatap Diaz dengan tajam.

Diaz tersenyum. Lembut dan misterius. “Kita bukan baru bertemu kok, Cha. Dulu, bertahun-tahun lalu kita juga pernah bertemu. Lebih dari sekali malah. Tetapi kamu lupa. Atau malah nggak tahu.”

Eh?

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us