2. LO YANG BIKIN BAPER
Ocha meluruskan kakinya di tempat tidur dengan santai. Kepalanya menyandar ke bantal yang ditumpuknya di belakang punggung. Ocha baru saja selesai mengerjakan PR matematika dan ingin bersantai sejenak. Toh, Tante Wina sedang di Semarang. Jadi tak akan ada yang tiba-tiba nyelonong masuk kamarnya sambil bertanya, “Ocha, susah selesai belum belajarnya? Kalau sudah, ayo cepat tidur biar besok nggak kesiangan!”
Tante Wina tak akan membiarkan Ocha mengunci pintu kamar. Atau dia akan memberikan ‘sedikit’ ancaman kalau Ocha tetap nekat melakukannya. Minimal jatah uang saku bulanan Ocha akan dikurangi. Ocha sering berpikir, seandainya ayahnya masih hidup dan tahu perlakuan istrinya kepada anak semata wayangnya. Ocha sebetulnya ingin melawan sekali-kali. Namun ia bisa apa? Ocha sadar bahwa ia hanyalah gadis tanggung berusia 15 tahun yang belum punya hak sama sekali untuk menggunakan harta warisannya.
Diraihnya HP di atas nakas untuk menghubungi Ruth. Sebetulnya tak ada masalah yang terlalu penting untuk dibicarakan dengan sahabatnya itu. Tetapi sudah menjadi kebiasaan Ocha untuk menelepon Ruth malam-malam. Dan kali ini Ocha ingin menanyakan tentang cowok belagu yang ditemuinya di taksi siang tadi.
Kalau ia sudah sampai di rumah, Tante Wina akan sedikit lebih tenang dan tidak akan menelepon, mengirimkan pesan WA atau line lagi. Justru tadi giliran Mbak Yun yang ditelepon dan dicecar Tante Wina dengan berbagai pertanyaan. Pagar sudah digembok belum? Pintu dan jendela sudah dikunci? Persediaan makanan di kulkas masih atau sudah menipis? Ocha sudah belajar? Huh … Ocha kadang kesal juga. Tante Wina lebih percaya kepada asisten rumah daripada kepadanya.
“Jadi siapa nama cowok itu Cha?” Suara Ruth terdengar tak sabar.
“Justru karena itu, gue telepon elo. Gue bener-bener lupa nama tu cowok. Padahal dia sempat nyebutin namanya loh.” Jemari Ocha mengetuk-ngetuk bibir, sementara matanya menerawang, mencoba melukis kembali bayangan cowok itu dalam ingatannya.
“Lo sekaliiiii aja nggak lupa, bisa nggak sih Cha?” Suara Ruth terdengar gemas. Biasanya kalau sedang gemas, Ruth suka menelepon sambil mondar-mandir. Ruth baru terdiam dan duduk manis saat menerima tatapan aneh dari mamanya yang melihatnya sambil mengerutkan kening.
“Hahaha... sorry, Ruth. Lo kan tahu penyakit lupa gue gimana,” balas Ocha tanpa rasa bersalah. “Eh, tapi gue beneran penasaran nih sama tuh cowok,” sambungnya sambil kembali mengetuk-ngetuk bibir dengan jari telunjuk. “Apalagi waktu cowok itu bilang, dia sudah pernah kenal gue. Gue kan jadi tambah penasaran ...” lanjutnya dengan suara memelas.
“Hmm, hmm ...” Ruth berdeham ganjil. “Jangan-jangan pertemuan dengan cowok itu jadi semacam ‘special moment’ buat elo, makanya elo jadi baper dan penasaran banget Cha? Ketemu sahabat lama, gimana nggak spesial coba?” tanya Ruth antusias.
“Iiih ... special moment? Ketemu sama orang yang ngaku-ngaku kenal sama gue, di mana spesialnya? Amit-amit deh! Bad moment sih iya!” Kali ini giliran suara Ocha yang terdengar sedikit kesal.
“Anjay ... bad moment ya? Gue kok jadi ikut penasaran. Sebutin ciri-ciri cowok itu gih, barangkali gue bisa nebak.” Ruth harus menunggu beberapa detik sebelum Ocha mulai menjawab pertanyaannya.
“Dia kakak kelas yang belagu bangettt ….” Ocha menggigit bibir bawahnya saat mengingat kembali tingkah cowok yang ditemuinya tadi siang. Sudah merebut taksi, sok senior lagi. Benar-benar bikin kesal.
“Hmmm …” lagi-lagi Ruth berdeham, karena sudah hafal dengan kebiasaan sahabatnya saat tidak suka sama seseorang.
“Tampangnya sih lumayan ya, kayak blasteran gitu. Dan waktu gue lihat warna matanya yang cokelat kehijauan, dan senyumannya yang jail, kayaknya gue pernah kenal deh, tapi di mana ya? Iiih... tapi gue terlanjur kesel dan illfeel sama dia….” Tubuh Ocha bergeser mendekati nakas, mencomot beberapa butir kacang telur dari dalam toples dan mengunyahnya pelan.
“Kenapa?” Dari bawah tangga, Ruth pindah ke dalam kamar, cuma untuk menghindarkan diri dari pantauan mamanya.
“Bayangin deh Ruth. Eumm .... Pertama, dia nyerobot taksi gue,” ucap Ocha masih sambil mengunyah kacang telur.
“Bukannya kalian nyetop taksinya barengan ya? Itu berarti nggak ada yang nyerobot, Cha!” Ruth serius menanggapi.
“Enak aja! Itu sih menurut sopir taksinya, menurut gue, dia tetap nyerobot!” Ocha menggeram marah.
“Okay, terus.…” Ruth memotong kalimat Ocha karena tak sabar.
“Kedua, dia minta dianter duluan gara-gara bisa ngejawab tebakan konyol dari sopir taksi yang enggak banget itu.” Ocha berjalan ke arah jendela, hendak menutup gorden yang masih tersingkap.
“Et dah... enggak banget ya? Tebakannya apa sih?” Ruth semakin penasaran.
“Jadi, karena kita berantem saling minta diantar duluan, sopir taksinya ngasih tebakan. Siapa yang ngejawab tebakan dengan benar, dia yang akan diantar duluan. Sopir taksinya nanya, siapa yang dapat nilai nol saat ulangan?”
Ocha melepas tali tirai jendela dan menarik kedua tirai ke tengah, sebelum melanjutkan kalimatnya, “Gue jawab anak yang nggak belajar, dong. Harusnya bener kan jawaban gue? Tapi sopir taksinya justru nyalahin jawaban gue dan mbenerin jawaban cowok itu! Kesel nggak coba?” Ocha berjalan kembali ke arah tempat tidur, lalu mengempaskan kembali tubuhnya ke atas tempat tidur dengan kesal.
“Emang apa jawaban cowok itu?” Ruth terdengar menahan ketawa.
“Kertas,” jawab Ocha tanpa ekspresi.
Ruth tertawa terkikih-kikih. Dan kalau Ruth sudah tertawa, biasanya akan susah untuk dihentikan. Ocha jadi gondok dibuatnya.
“Lo sengaja mau ngabisin kuota gue ya?” Telunjuk Ocha sudah siap mematikan Hp-nya.
“Sorry… sorry, Cha. Habis lucu banget sih tebakan sopir taksi itu, dan ajibnya lagi, cowok itu bisa ngejawab dengan tepat!” Ruth berusaha meredam tawanya.
“Lo sebenernya sahabat gue, atau sahabat cowok itu sih Ruth?” Tanya Ocha dengan muka cemberut.
“Iya… iyaaa… sorry. Tapi menurut gue, lo harusnya mau nerima kekalahan lo dong, emang jawaban cowok itu yang lebih tepat! Gue curiga, jangan-jangan sopir taksi itu kembarannya Cak Lontong!” jawab Ruth. Lagi-lagi sambil tertawa.
“Lo belum tahu sih, kekesalan gue yang ketiga!” teriak Ocha masih dengan nada kesal.
“Loh ada lagi?” tanya Ruth yang sukses dibikin penasaran sama Ocha
“Cowok itu minta gue bayar ongkos taksi, karena yang kalah harus bayarin yang menang katanya! Gila, nggak?” tangan Ocha mengepal keras karena marahnya. Harusnya ia tadi menarik lengan cowok itu lebih kuat dan memaksanya membayar ongkos taksi. Namun sayang, cowok itu langsung melepaskan diri dan tubuhnya menyelinap dengan cepat, masuk ke balik pagar rumahnya yang tinggi.
“Duuuh … elo rugi bandar dong, Cha! Sekarang gue jadi tahu, kenapa lo jadi baper maksimal kek gini …” Kali ini Ruth benar-benar merasa kasihan dengan sahabatnya itu.
“Nah makanya, gue harus nyari tu cowok sampai ketemu. Minimal, gue harus minta ganti ongkos taksi!” geram Ocha.
“ Tenang… tenang Cha. Besok kita cari bareng-bareng ya, cowok misterius lo itu. Tapi lo kudu janji dulu!” rayu Ruth.
“Janji apa?” Suara Ocha melunak.
“Gue pinjem PR dong. Gue mati kutu sumpah kalau sudah ngadepin soal matematika dari Pak Kris,” rayu Ruth kembali.
“Iya… iyaaa…. Beres. Timbang minjemin PR doang! Kirain janji apa.” Senyum menghiasi wajah Ocha, meninggalkan jejak lesung pipit samar yang kian mempertegas kecantikannya.
“Ya udah ya, Cha. Tidur yuk, gue ngantuk nih, uaaah...” Terdengar suara Ruth yang sedang menguap.
“Oke Ruth, bye….” jawab Ocha sembari menutup telepon.
Ocha mematikan HP dalam genggamannya. Tombol lampu kamar adalah benda selanjutnya yang menjadi sasaran Ocha untuk dimatikan. Keadaan kamar Ocha jadi remang-remang, karena hanya tinggal lampu di samping tempat tidur yang menyala. Entah kenapa, Ocha jadi sulit memejamkan mata. Baru tiga hari ia ditinggal Tante Wina ke luar kota dan tiap hari selalu saja ada masalah. Bangun kesiangan-lah, ketinggalan seragam olah raga-lah. Dan hari ini, Ocha betul-betul merasa lelah, setelah harus berputar ke Cilandak dulu sebelum sampai ke rumah, gara-gara kalah tebakan dari kakak kelas itu.
Hey... apakah ini artinya gue mulai merindukan kehadiran Tante Wina? Ocha menutup mukanya dengan bantal, malu mendengar pertanyaan yang diajukan oleh hati kecilnya itu. Yang jelas, memang Tante Wina-nya itu ‘sedikit’ lebih berarti daripada Mbak Yun.
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co