Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Storial.co
Storial.co

4. JARAK YANG TERAMAT JAUH

 

Kantin masih sepi ketika Ocha dan Ruth memesan dua mangkuk soto dan dua gelas lemon tea. Ya bagaimana mau ramai? Jam pelajaran ketiga masih berlangsung. Ocha berani minta izin keluar saat pelajarannya Pak Kabul tadi, setelah mendapatkan info dari Ruth bahwa Pak Kabul itu galak hanya kepada cowok. Kalau sama murid cewek apalagi yang cakep, disenyumin saja Pak Kabul langsung meleleh dan memberi izin.

“Ruth, cepetan dong sotonya dihabisin. Nanti keburu cowok itu kabur!” teriak Ocha saat melihat isi mangkuk Ruth yang masih menyisakan separuh nasi dan kuahnya. Kelihatannya Ocha sudah tak sabar.

“Iya ... iyaaa ... Sabar dikit bisa nggak sih Cha?” Ruth meraih tisu untuk membersihkan hidungnya yang berair karena kepedasan.

Kelas XII IPS 3, berada di gedung paling belakang. Itu artinya, dari kantin, Ocha dan Ruth harus melewati koridor gedung kelas XII yang pada saat istirahat dipenuhi senior-senior kelas XII. Bel istirahat sudah berdentang. Para senior itu sebagian sudah mulai memenuhi selasar gedung. Sebagian lagi mulai bergerak searah menuju kantin yang ada di sudut gedung kelas XII sebelah kiri. Sementara dia dan Ruth justru bergerak berlawanan arah, menuju ke tangga gedung yang ada di sebelah kanan.

Sebetulnya, Ocha bisa saja langsung naik ke tangga yang juga ada di sebelah kiri gedung, dekat dengan area kantin. Namun gerombolan anak kelas XII sudah menyemut memenuhi tangga gedung sebelah kiri. Anak-anak kelas XII biasanya akan merasa terusik jika daerah kekuasaannya diinjak-injak oleh adik kelas. Bodo amat. Masalah harus dituntaskan! Pikirnya.

Benar saja, sampai di koridor kelas XII sebelah kanan, mulai banyak gangguan-gangguan kecil seperti suara siulan, colekan iseng, sampai sapaan gila. Tentu saja dari kakak kelas cowok.

“Woy … tumben ada adik kelas bening nyasar kemari? Kalian lupa buka google map ya, Neng? Kelas X tuh di gedung bagian depan noh!” teriak seorang cowok jangkung sambil menyeringai. Tangannya menunjuk ke arah bagian depan SMA Tunas Bangsa.

Semua juga tahu–dari hijau yang terpasang di lengan kanan–bahwa Ruth dan Ocha masih duduk di kelas X. Dan para senior tidak mungkin membiarkan adik kelas melenggang dengan tenang saat memasuki wilayah mereka. Terlebih bila adik kelasnya cantik seperti Ocha, dan manis seperti Ruth. Ocha sih tidak pernah merasa sok cantik. Namun paling tidak, ada lima orang cowok yang patah hati waktu dia masih duduk di bangku SMP.

Mereka masih harus melewati dua kali naik tangga, karena kelas XII IPS 3 kebetulan ada di lantai 3. Di tangga pun, masih ada kakak kelas yang nyinyir. Biasanya kakak kelas cewek, yang memasang tampang sinis, karena merasa ada pesaing baru. Bagi para senior cewek, adik kelas yang berwajah cakep adalah ‘ancaman’.

“Hei ... anak kelas X kok nyebrang ke sini? Ati-ati ya, kalau ada barang-barang yang hilang, kalian bisa jadi tertuduh!” Seorang cewek berambut dikuncir kuda memasang wajah jutek saat menyapa Ocha dan Ruth.

“Jangan coba-coba melenggang manja depan cowok-cowok kelas XII ya, elo-elo nanti bakalan berhadapan sama gue!” Ancam seorang cewek lain yang rambutnya lurus seperti papan setrikaan. Sepertinya cewek itu habis dari salon dan melakukan rebonding. Keduanya tak menanggapi sapaan-sapaan sinis itu. Ocha justru menarik tangan Ruth agar mempercepat langkah.

Sampai di kelas XII IPS 3, kebetulan Noe baru saja keluar dari pintu. Melihat kedatangan Ocha, cowok itu segera menyambutnya dengan tangan terlipat di depan dada. Seperti biasa, Noe pun telah memasang senyum khasnya yang terkesan mengintimidasi. Ia sangat yakin, cewek itu berani memasuki wilayah kelas XII IPS di lantai 3 karena ingin menemuinya.

 “Wow … wow … Selamat datang Ursa Mayora. Lo niat banget ke sini ya? Hanya buat ketemu gue kan? Sudah gue duga!” sapa Noe sambil bertepuk tangan dua kali begitu gadis itu sampai di depannya dengan napas memburu.

“Udah deh, enggak usah pakai basa basi. Gue ke sini, cuma mau nagih ongkos taksi yang kemarin belum lo bayar!” Tangan Ocha menunjuk ke arah cowok di depannya dengan galak.

“Tunggu… tunggu. Dalam setiap permainan, yang kalah emang kudu ngebayar kekalahannya kan? Nah, lo kemarin kalah saat nebak. Jadi udah impas dong, kalau lo yang ngasih ongkos taksi?” Cowok itu masih memasang senyuman, meskipun di mata Ocha, senyum Noe justru terlihat menyebalkan.

“Ya nggak bisa gitu dong! Gue udah ngalah ya, dianterinnya belakangan. Tapi kenapa gue juga yang harus ngelunasin semua ongkos taksi? Adilnya di mana coba?” Ocha sedikit mendongakkan kepala, mencoba menentang pandangan cowok di depannya.

“Ya salah elo sendiri, mau nerima ajakan sopir taksinya untuk pulang bareng sama gue? Gue malah jadi penasaran, memangnya lo habis berapa sih waktu ngebayarin ongkos taksi kemarin, sampai segitu marahnya? Atau jangan-jangan lo lagi nggak punya duit ya? Makanya, kalau nggak punya duit itu, jangan sok-sokan naik taksi segala!” Noe menyeringai penuh ejekan.

“Elo tu ya....” Darah Ocha sudah mengalir cepat menuju ke ubun-ubun. Mungkin kalau di depannya ada cermin, Ocha sudah bisa melihat wajahnya sendiri yang merah padam menahan emosi.

“Sudah ... sudah, Cha, kita kembali ke kelas saja yuk!” Ruth berusaha membujuk sahabatnya, tapi emosi cewek itu sudah kepalang tersulut. Meskipun Ruth setengah mati membujuknya untuk pergi, Ocha justru semakin ingin untuk tinggal. Ia ingin secepatnya menyelesaikan masalahnya dengan Noe.

“Sebetulnya kalau mau dirunut sih, elo juga masih punya utang sama gue ... Lo masih inget, peristiwa tujuh tahun lalu, waktu elo jatuh dari sepeda? Ada seorang cowok yang nolongin elo nyariin es batu dan tisu buat mampetin darah yang keluar dari bibir elo. Cowok itu adalah gue, Oncom!” Tubuh Noe sedikit membungkuk. Matanya menghunjam tepat di manik mata Ocha.

Ocha terkesiap. Tiba-tiba ingatannya seperti ditarik mundur, menelusuri peristiwa yang dialaminya saat masih duduk di kelas III SD. Saat itu ia menolak ajakan ayahnya untuk bolos sekolah dan pergi ke rumah Tante Wina. Ocha terpaksa harus naik sepeda saat berangkat dan pulang sekolah. Dan jalanan depan sekolah yang masih berbatu rupanya tak begitu bersahabat. Ia jatuh dan bibirnya mencium bebatuan. Seketika darah mengalir deras dari bibir bawahnya yang terluka.

Tak ada seorang pun yang berusaha menolong saat ia menangis ketakutan. Teman-temannya sudah pada pulang. Ocha sengaja tak mau cepat-cepat sampai ke rumah, karena ayahnya pasti belum pulang. Lalu seorang anak bermata cokelat kehijauan mendekatinya, berusaha menenangkannya. Ocha kecil tetap menangis. Dengan gugup, cowok itu berlari ke warung terdekat dan membawakannya sebungkus tisu dan seplastik es batu untuk menghentikan pendarahan di bibirnya.

“Kak … Aan?” tanya Ocha seolah tak yakin.

“Iya, gue Andromeda Noegraha. Lo inget sekarang?” tanya Noe sambil menatap Ocha yang terbengong. Rupanya setelah pindah ke Jakarta, Panggilan Kak Aan berubah benjadi Kak Noe, sehingga di taksi kemarin, Ocha sempat tak mengenalinya.

“Jadi waktu itu, lo nggak ikhlas nolongin gue? Wajar dong kalau sekarang gue juga nggak ikhlas ngebayarin taksi elo! Lo bayar ongkos taksi elo sekarang, dan gue akan pergi!” Ocha merasa kepalang basah, sudah terlanjur menagih ongkos taksi. Ia merasa malu untuk menarik kembali ucapannya.

“Gue akan ngebalikin ongkos taksi yang lo bayar, tapi dengan cara yang lain,” ucap Noe datar.

“Sayang sekali, gue nggak gampang percaya!” balas Ocha masih dengan pandangan menantang.

“Sudah, sudaaah Cha, yok kita pergi dari sini,” bisik Ruth cemas sambil menarik tangan Ocha untuk pergi.

Tarikan tangan Ruth terlalu kencang, sehingga mau tak mau, Ocha pun mengikuti langkah sahabatnya itu. Namun Noe rupanya tak ingin membiarkan cewek itu berlalu begitu saja. Dihadangnya langkah kedua cewek itu. Noe mendekati Ocha, lalu mencengkeram dan mengguncang kedua bahu Ocha. Badannya agak menunduk ketika ia berbisik di depan Ocha.

“Meskipun tujuh tahun yang lalu gue sering ngejailin elo, sekarang gue udah berusaha ngebaik-baikin elo ya Cha! Tapi kalau elo-nya malah ngajak perang kayak gini, gue juga bisa lebih jahat, dari yang lo pikirin!”

Pegangan Noe di bahunya, ditambah dengan suara Noe yang setengah mengancam, membuat kemarahan Ocha semakin memuncak. Ibarat kilatan petir, kemarahan seorang cewek bila telah melampaui batas, biasanya akan berubah menjadi tetesan-tetesan hujan lewat kedua matanya. Rumus itu berlaku untuk sembilan puluh persen cewek, tapi tidak untuk Ocha. Pantang bagi Ocha untuk terlihat cengeng di depan cowok seperti Noe. Dagunya terangkat saat menentang tatapan Noe.

“Lo sendiri kan yang bilang lo jahat?” bisik Ocha tak kalah sengit.

Keduanya berhadap-hadapan dengan wajah yang begitu berdekatan. Namun yang sebenarnya, kemarahan telah membuat jarak keduanya menjadi teramat jauh. Pertemuan kembali setelah tujuh tahun berpisah, nyatanya tak mampu mempersempit ruang di antara keduanya. Dan dentang bel masuk telah menyelamatkan Ocha. Noe melepaskan cengkeraman tangannya di bahu Ocha. Ruth tak melewatkan kesempatan emas itu. Ditariknya tangan Ocha, menjauh dari Noe.

“Hei…. Urusan kita belum selesai!” teriak Noe.

Ocha dan Ruth berlalu tanpa menoleh lagi. Keduanya setengah berlari menuruni tangga demi tangga, kembali ke kelas mereka di gedung bagian depan. Mereka tak menghiraukan lagi teriakan dari cowok bermata hazel yang baru saja mereka temui.

Seorang cowok berbadan tinggi besar mendekati Noe yang tengah mengatupkan bibir menahan geram. Namanya Rama, tapi lebih sering dipanggil Rambo karena postur tubuhnya yang bongsor.

“Siapa dia, Bos?” tanya Rambo penasaran.

“Biasa, adik kelas sombong yang nggak tahu terima kasih!” Noe mengembuskan napas sambil meninju telapak tangan kirinya dengan kepalan tangan kanan

“Galak sih, tapi alamaaak cantiknyaaa..,. Kayak anak baru ya? Kok gue belum pernah lihat?” Alul, cowok kurus kerempeng yang berambut kribo ikut menimpali. Nama aslinya adalah Syahrul. Namun teman-temannya lebih suka memanggilnya Alul.

“Namanya Ursa Mayora. Dia adik kelas gue waktu gue masih sekolah di Bandung. Sekarang dia akan jadi target gue yang selanjutnya. Jangan panggil gue Noe, kalau gue nggak berhasil bikin cewek itu berlutut di depan gue!” Noe mengepalkan kedua tangannya.

Ocha adalah cinta monyetnya waktu kecil. Dan Noe harus mengakui bahwa Ocha yang sekarang ternyata lebih cantik dibandingkan dengan Ocha yang dikenalnya sewaktu masih bocah. Diam-diam Noe  juga harus mengakui bahwa ada yang tidak berubah dalam hatinya. Perasaan sukanya terhadap Ocha, ternyata masih sama. Tetapi sejak dulu Noe selalu salah dalam mengekspresikan rasa sukanya kepada Ocha. Waktu kecil, ia terlalu sering menjahili Ocha, hingga membuat Ocha kecil marah dan ngambek.

“Bisa aja lo, Bos. Tapi dia memang cantik, sih!” Rambo tersenyum sambil menepuk bahu Noe.

“Kantin yuk, gue laper,” ajak Alul kepada kedua temannya.

“Elo sih laper mata, sampai di kantin palingan cuma mau ngecengin cewek-cewek adik kelas yang bening, huh... dasar jones, makanya badan lo kagak bisa gemuk! Rambut lo aja yang terus melar,” ejek Rambo sambil terkekeh.

“Emang elo nggak jones? Huuu.... Jolau lo, jomlo galau,” balas Alul sambil meninju bahu Rambo.

“Lagian lo nggak denger apa, bunyi bel masuk tadi?” tanya Rambo.

“Udaaah, kita cabut aja. Lagian Bu Mae kayaknya masih sakit, jadi nggak mungkin masuk kelas kita hari ini. Lebih enak nongkrong di kantin kan kalau jam kosong? Kantin yuk, gue yang traktir!” sahut Noe.

Ketiganya berjalan meninggalkan kelas, menuju kantin yang ada di lantai bawah.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team