Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[NOVEL] One Stop Loving: BAB 1

Storial.co

Part 1 : True Love

 

"Kebahagiaan sesaat dari seorang yang mengenang cinta begitu mudah tertular ke dalam hati yang gersang."

 

Aku memandang sendu pada sosok laki-laki tua yang duduk di bawah pohon mangga. Matanya terpejam, lengan keriputnya bersandar pada kursi kayu jati yang masih kokoh walau bantalannya sudah mulai lapuk. Tubuh kurusnya tampak nyaman bersandar pada dudukan busa. Bibirnya sesekali menyunggingkan senyum tulus yang keluar dari sanubari. Di sebelahnya, kursi tua yang sama teronggok tak berpenghuni. 

Kubayangkan sepuluh atau mungkin dua puluh tahun yang lalu, sepasang insan yang saling mencintai duduk di sana. Bersenda gurau seraya menikmati semilir angin yang dihantarkan dedaunan rimbun di sekitar mereka. Sesekali sang pria memanjat pohon dan memetik beberapa buah mangga dengan warna oranye yang begitu menggugah selera. Pujaan hatinya memekik gembira sambil mengarahkan tangkai mana yang paling ranum tampaknya.

Atau mungkin, di sana tempat raga mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tanpa sengaja, mereka berpapasan saat menuju tempat bekerja. Belum saling kenal, cukup ragu untuk menyapa. Namun, keberanian yang muncul segera disambut dengan satu kata sapa. Mereka pun saling bertutur kata.

Ah, semua itu hanya bayanganku belaka.

Ingatanku tertuju pada sosok Kakek Frederick di film kartun berjudul Up. Begitu cintanya sang kakek pada mendiang istrinya, hingga ia berkelana menggunakan rumah yang sudah dipasangi ribuan balon menuju destinasi impian mereka semasa muda. Namun sayang, saat ia bisa meraih impian, tak ada lagi sang pujaan hati menemaninya.

Satu lagi kisah yang tiba-tiba berkelebat adalah tentang kakek tua Charlie dan cinta sejatinya Grace di novel Love, Stargirl yang pernah kubaca. Setiap hari, Charlie selalu datang ke makam Grace yang telah mendahuluinya. Hingga nisan di sebelahnya sudah diberi nama, kecuali tanggal kematiannya. Grace dan Charlie, sehidup semati, begitu tulisannya.

Semua begitu indah. Hingga menimbulkan satu tanda tanya besar di hatiku yang hampa. Apa benar ada seorang yang mencintai orang lain sedemikian hebatnya?

Kalau ada, mungkin aku tak akan pernah menemukannya.

Bunyi tumbukan antara buah mangga dan tanah mengejutkan kami. Pria itu membuka mata seketika sedangkan aku segera membuang muka. Aku tak ingin dia memergokiku sedang melihatnya sedemikian rupa. Bukan menganggapnya akan berpikiran macam-macam, hanya saja menurutku tidak sopan memandangi seorang tua yang sedang terbuai dalam nostalgia. 

"Kintana, coba ke sini!" Panggil pria tua itu, membuatku yang sedang memungut buah jatuh berpaling padanya.

Aku mengangguk dan memenuhi panggilannya. Merasa tak pantas duduk di singgasana ratunya, aku hanya berdiri sambil mencondongkan sedikit badan ke depan.

"Iya, Pak? Ada yang bisa dibantu?"

Pria tua itu tersenyum seraya membelai sandaran kursi di sebelahnya. "Bu Ningsih mau bilang terima kasih sama kamu, sudah bantu ngurusin saya." Ia beralih pada kursi kosong di sebelahnya. "Iya, kan, Bu? Dia baik dan manis. Andai dia jadi anak kita, Bu."

Desau angin membelai tengkukku lembut, menegakkan bulu kuduk hingga berdiri. Aku mengusap leher belakangku pelan seraya meringis, bingung antara harus tersenyum atau merinding.

"Sama-sama, Ibu Ningsih. Semoga Pak Harjanto lekas sembuh ya, Bu," ucapku pelan, mengusir pikiran konyol yang sempat bersemayam. Tenang. Ini kisah cinta, bukan cerita horor. Pak Harjanto hanya merasakan kehadiran Bu Ningsih sebagai pasangan sehidup sematinya, bukan berarti dia benar-benar ada dalam wujud yang tak terduga.

Hilangnya binar mata Pak Harjanto seolah menimbulkan awan kelabu yang bergelayut di atas kepalanya. "Kalau Tuhan mengizinkan, saya tidak ingin sembuh."

Aku mengernyit. Selama satu tahun praktik di rumah sakit dan sebelumnya kuliah profesi, belum pernah ada orang yang tak ingin sembuh dari penyakitnya.

"Apa yang membuat Bapak tidak ingin sembuh?" tanyaku hati-hati.

Pria renta itu mendesah. Ia memejamkan mata sejenak, kemudian berkata lirih. "Saya ingin segera bertemu dengan Ningsih di alam baka. Rindu."

Desir lembut menggerayangi hatiku. Andai kata-kata itu terucap dari mulut ayahku, tentu Ibu tak perlu memendam lara. Namun kenyataannya, di saat ibuku masih bergulat dengan kejamnya dunia, ia malah pergi tak tahu rimbanya.

Pita suaraku seolah bersembunyi dan tak mau kembali bekerja. Aku hanya diam, menimbang kata yang pantas terucap.

Mata Pak Harjanto menerawang. Seolah ada layar depan tak kasat mata yang memutar kembali kisah kehidupannya entah berapa tahun silam. Sejurus kemudian ia bergumam, seperti berbicara pada setangkai mangga gedong gincu yang terayun angin.

"Kalau bukan karena mencuri mangga, mungkin saya tak akan pernah bertemu dengan gadis segalak Ningsih."

Aku menangkap adanya cerita cinta yang pasti akan sangat menarik. Kuposisikan diri dengan duduk di batang kayu sebelah kanan depan kursi Pak Harjanto. Ia memulai kisahnya saat dirinya tengah dilanda kelaparan. Ayahnya yang bekerja di departemen penyiaran dituduh mengikuti Partai Komunis Indonesia (PKI) sehingga ditangkap dan dipenjara.

Kehidupannya yang sebelumnya berkecukupan terpaksa harus berada di bawah garis kemiskinan. Ibunya menjadi buruh tani, begitu juga ketiga kakaknya. Anak tertua di keluarga mereka pergi merantau dan tak kembali, meninggalkan lima adik yang masih kecil. Pak Harjanto yang saat itu baru berusia enam tahun ditinggal di rumah bersama kakaknya Suyatmi.

"Mbak Yatmi bilang mau ajak saya main. Ndak tahunya malah bawa saya ke sini. Pohon mangga ini buahnya selalu lebat dari dulu. Karena lapar, dia suruh saya panjat pohon dan petik buahnya," kenang Pak Hardjanto.

Bau anyir samar tercium dari benjolan sebesar lengan orang dewasa di leher hingga pipi kanan Pak Hardjanto. Bagaimanapun aku berusaha membersihkan, luka itu tak bisa mengering dengan sempurna. Sesekali ia meringis kesakitan, kadang suaranya hilang. Namun semua itu tak menyurutkan semangatnya untuk memutar kembali memori masa muda yang bergelora.

"Waktu saya lagi lempar buah ke Mbak Yatmi, ada anak perempuan yang datang dan marah-marah. Dia bilang mau mengadu ke bapaknya yang punya pohon mangga. Mbak Yatmi yang badannya besar ndak terima. Anak itu didorong sampai jatuh dan menangis. Dia lari pulang dan kembali lagi bersama bapaknya yang gualak."

Selama aku merawatnya, baru kali ini Pak Hardjanto berbicara begitu banyak. Suara deheman keras terdengar diselingi batuk panjang. Dengan sigap, aku segera berlari ke kursi roda dan mengambil tisu untuk pasienku itu.

Setelah menenangkan diri, Pak Harjanto kembali bercerita. Aku tak kuasa melarangnya, walau khawatir jika terjadi masalah pada pita suaranya. Ia tampak begitu berapi-api melanjutkan kisahnya.

"Sampai mana tadi? Bapaknya datang, ya?" ucapnya menjawab sendiri pertanyaannya. Aku tertawa. "Mbak Yatmi curang, dia kabur begitu saja, bawa mangga yang sudah dipetik. Lah, saya? Dimaki-maki, dibentak-bentak, dimarahilah pokoknya. Buru-buru saya turun waktu bapaknya anak itu ambil galah yang buat colok mangga. Langsung lari saya kabur. Sampai satu-satunya sandal baru yang saya eman-eman ketinggalan di bawah pohon mangga."

Pak Harjanto tergelak sampai suaranya serak. Begitu pula aku yang entah mengapa turut terbawa suasana lucu. Sekelebatan bayangan seolah menampilkan kembali adegan di bawah pohon mangga itu.

"Sorenya saya datang lagi buat ambil sendal. Anak perempuan itu masih ada, duduk di bawah akarnya. Begitu melihat saya, dia langsung kegirangan. Dia kasih sendal saya yang ketinggalan. Lah, saya bingung, tho? Wong sudah dicuri mangganya malah girang. Ndak tahunya, dia mau main sama saya. Dia cerita ndak boleh pergi keluar pekarangan halamannya yang luas itu sama keluarganya yang keturunan bangsawan. Waktu ada yang berani masuk, dia jadi senang. Dia bilang namanya Ningsih. Ndak pakai basa-bas, saya terus terang kalau saya lapar. Dia langsung lari ke rumahnya bawa buanyak makanan. Wah, rejeki! Setiap hari saya jadi datang ke rumahnya."

Suara tawa serak menggema di udara. Tampak setetes air di sudut mata keriput pria tua itu. Aku pun tak dapat menahan haru. Bukan hanya karena ceritanya yang menarik, tapi juga kebahagiaan sesaat dari seorang yang mengenang cinta begitu mudah tertular ke dalam hatiku yang gersang.

"Ndak sia-sia curi mangga, tho?"

"Jadi bisa curi hati yang punya mangga juga, ya?" ucapku kelepasan.

Pak Harjanto menatapku serius. Aku menggigit bibir, khawatir menyinggungnya. Sejurus kemudian ia kembali terpingkal.

"Iya, ya?"

Aku tak dapat menahan tawa lega, begitu pula Pak Harjanto yang wajahnya kini merona. Gurauan kami terhenti saat Bi Iyem, asisten rumah tangga Pak Harjanto, datang tergopoh-gopoh. Wajahnya bercucuran keringat, dadanya naik turun setelah berlari cukup jauh dari rumah utama. Raut mukanya begitu panik, hingga dengan napas terengah ia berteriak.

"Pak Jan! Ada Bu Yatmi datang! Di suruh ke rumah cepat!"

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifina Budi A.
EditorArifina Budi A.
Follow Us