[NOVEL] Marrying The Diplomat-BAB 2

Penulis: Haya Nufus

#2 Pengagum Rahasia

 

Rian.

 

Ini bukan lamaran mendadak! Dia itu Cut Tara. Jurnalis sekaligus vlogger yang bahkan aku telah kenal sejak dua tahun lalu. Bazar Perdagangan itu bukan even pertama kami. Meski aku tak yakin Cut Tara tahu itu. Sebelumnya ada beberapa momen kami saling bertemu. Jadi, jangan pertanyakan alasan dari kelakuanku di bandara kemarin. Aku sudah maju-mundur dan akhirnya maju-nekat dengan risiko yang siap kuterima. Diterima atau ditolak. Nyatanya aku digantung.

Pertemuan pertama kami, sekitar dua tahun yang lalu. Ketika itu aku menjadi panitia dalam Konferensi Asia Afrika ke-60. Indonesia menjadi tuan rumah even bergengsi yang dihadiri tak kurang dari seratus sembilan negara di Asia dan Afrika juga dua puluh lima organisasi internasional dengan kegiatan yang akan dipusatkan di Jakarta dan Bandung. Seluruh pegawai di Kementerian Luar Negeri bersiap. Aku masih menjadi diplomat junior yang kikuk dengan segala kemegahan diplomasi, merasa bersemangat terlibat dalam acara itu meski hanya mendapat peran remeh di bagian pendaftaran peserta kalangan media dan umum.

Tadinya aku kecewa. Aku mendapat nilai terbaik ketiga dari ratusan diplomat muda seangkatan pada Program Pendidikan Diplomat Muda. Kupikir, tugas yang lebih penting, semacam mendampingi pejabat di biro-biro perwakilan atau terlibat dalam penyusunan konsep kegiatan lebih cocok untukku. Tapi kekecewaan itu langsung hilang ketika sadar berada di meja pendaftaran, membuka takdir pertemuanku dengan Cut Tara.

Hari itu, aku ingat sekali, Jakarta Convention Center yang menjadi tempat pembukaan konferensi telah ramai sejak pagi. Ini adalah acara pertemuan tingkat pimpinan tinggi negara yang artinya bersifat tertutup tapi akan ada konferensi pers setelahnya. Para pekerja media telah datang untuk meliput.

"Siang, saya Cut Tara dari Indo News!" ujar seorang wanita, membuat aku yang tengah melihat pada handphone mengalihkan mata padanya. Pada detik tatapan kami bertemu, aku tersihir. Wajah itu tanpa warna-warni mencolok, bahkan ada noda hitam samar di bawah matanya yang menunjukkan ia kurang tidur. Namun auranya serupa cahaya yang menyilaukan. Kulit putih dengan dua alis melengkung serupa pedang, hidung yang mancung dengan jerawat kecil bewarna merah di puncaknya, dan warna matanya yang terlalu cokelat menyihirku. Cantik!

"Maaf, nametag saya ada kan? Saya harus masuk ke dalam," ujarnya membuyarkan pikiranku. Membuat tanganku cepat mencari-cari nametag dengan nama Cut Tara lalu menyerahkan benda yang akhirnya aku temukan itu.

"Tolong diisi daftar hadirnya ya, Mbak," Riska yang di sampingku bersuara. Membuat jari-jari panjang milik wanita itu mengambil pena di meja dan bergerak menulisi buku tamu. Tulisan tangan itu tidak rapi namun melengkung manis.

"Terima kasih," ujarnya lalu menekan tombol-tombol di hp, menempelkan benda itu di telinga, lalu berlalu.

"Lo di mana? Gue udah di pintu depan ini. Belum mulai, 'kan?" suaranya terdengar telingaku sebelum ia menghilang ke dalam ruangan tertutup, meninggalkanku dengan debaran aneh memenuhi dada.

Aku melihat pada daftar hadir yang ia isi. Gegas memotret informasi itu. Nama, nomor telepon dan email. Merasa menemukan harta karun. Membuat Riska melihat dengan curiga.

"Kamu kenapa? Kayak nggak pernah liat cewek cantik aja," ujarnya dengan bibir membentuk garis yang menyiratkan ejekan. Bukan aku nggak pernah lihat cewek cantik. Namun ada yang beda dari Cut Tara. Aku tak perlu menjelaskan itu pada Riska.

Yang aku lakukan selanjutnya adalah sesuatu yang mungkin dilakukan pengagum rahasia. Aku mencari namanya dalam mesin pencari di internet. Dan menemukan banyak hal tentangnya. Akun media sosial, tulisan-tulisan di media cetak dan elektronik dan yang lalu paling sering kukunjungi adalah akun YouTube atas nama Cut Tara. Ternyata selain jurnalis ia juga seorang vlogger. Untuk seseorang yang bukan selebritis, akun itu punya pengikut lumayan banyak. Saat itu juga aku menekan tombol subscribe.

Siang hari, ketika semua peserta telah hadir, aku sengaja masuk ke ruangan konferensi pers. Tujuanku tak lagi terlibat dalam kemegahan acara. Aku hanya ingin melihatnya. Ada ratusan orang dengan segala kepentingan di dalam sana. Aku kesulitan menemukan Cut Tara. Namun pasti dia masih di sini.

Aku bergerak menyibak kerumuman wartawan. Lapis demi lapis. Hingga tak sadar telah masuk dalam lingkaran VVIP. Saat menyadari itu, beberapa pasang mata telah menatap padaku. Bapak kepala protokoler dan beberapa diplomat senior melihat padaku dengan mata membulat. Lalu memberikan isyarat kerlingan yang kuterjemahkan serupa pengusiran. Aturan protokoler sangat ketat. Tak hanya demi kenyamanan para tamu tapi juga keamanan. Aku tak termasuk yang dibolehkan masuk dalam kawasan itu. Aku lalu mundur merasa malu.

Tapi aku tak menyesali kejadian itu, karena aku sempat melihat Cut tara tak jauh dari sana. Tentu ia punya kepentingan besar hingga bisa berada di lingkar jurnalis lapisan pertama untuk konferensi pers ini. Sekejap tadi Cut Tara juga melihat padaku. Hanya sebentar sebelum lalu sibuk dengan alat tulis dan benda-benda di tangannya.

Sore itu aku tak bisa tetap di sana, karena harus ke kantor untuk mengerjakan tugas lain yang diperintahkan atasanku. Namun aku tahu, aku tak akan kehilangan jejak. Aku bisa melihatnya lagi melalui video-video di channel-nya. Bahkan video yang sangat personal serupa aktivitas ringan di keluarganya. Aku jadi follower setia. Semua video di sana aku tonton. Dan tak sabar menunggu video barunya.

Aku tahu ia suka jalan-jalan, terutama ke pantai, suka mengoleksi kerang-kerang yang ia temukan di semua pantai yang pernah ia kunjungi, dan selalu menikmati aneka olahan seafood. Menurutnya itu cara ia mengenang almarhum papa yang ia panggil Ampon. Ampon sudah meninggal karena penyakit jantung. Dari cara ia bercerita tentang Ampon, aku tahu mereka ayah-anak yang akrab.

Aku juga tahu, ia tinggal berdua dengan ibunya yang ia panggil mami. Adiknya bernama Cut Sarah, selisih usia tiga tahun tapi sudah menikah dan punya satu anak, sekarang tinggal di Bandung. Mungkin aku berlebihan. Orang bisa salah paham menduga aku terobsesi secara tidak sehat. Namun aku hanya pengagum. Tak bermaksud jahat. Dari semua video-video itu timbul rasa akrab antara aku dan Cut Tara.

Maka, ketika sudah berada di Kuwait untuk penugasan diplomasi pertamaku, ketika diberitahu akan ada bazar perdagangan internasional dengan para eksportir Indonesia yang akan dilibatkan. Aku memberi usul pada rapat bersama Duta Besar agar melibatkan media Indonesia. Tentu aku memberikan alasan kuat agar media tempat Cut Tara bekerja yang meliput yang untungnya disetujui dalam rapat tersebut. Aku yang mengirimkan email. Dan menyebut nama Cut Tara dalam email itu. Ini bukan tindakan illegal atau pilih kasih. Aku tahu kapasitas Cut Tara dan medianya dalam melakukan liputan secara professional.

Jadi, kuulangi, peristiwa di bandara itu bukan lamaran mendadak. Memang cincin itu aku beli terburu-buru. Aku bukan laki-laki tajir yang gampang membeli benda seharga puluhan juta. Tapi itu satu-satunya toko perhiasan yang bisa aku temukan di bandara siang itu. Dan yang sesuai menurutku hanya cincin berlian itu.

Tak mungkin 'kan, cincin dengan batu yang ukurannya terlalu besar, atau dengan model palitan yang melingkar serupa ular? Akan norak sekali. Berlian itu memiliki desain sederhana yang elegan. Aku pikir cocok dengan karakter Cut Tara di benakku. Meski harganya mahal Masya Allah!

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Namun dia menolak cincin itu. Tentu saja. Itu menunjukkan kalau dia bukan wanita matre.

"Kalau Bapak serius temui keluarga saya."

Aku anggap itu sebagai pintu pengharapan yang masih terbuka. Kalau ia menolak, ia tak akan melibatkan keluarganya kan?

Jadi, malam itu aku langsung menyusun rencana. Mengabarkan Bunda akan rencana kepulanganku. Bunda tengah bersama teman-teman pengajiannya Ketika kutelepon.

"Melamar?" tanya Bunda.

"Bunda ingat, Cut Tara yang aku cerita dulu?"

"Gadis vlogger itu?" tanya Bunda.

"Ya."

Bunda tahu Cut Tara sejak acara konferensi Asia Afrika itu. Pulang ke rumah, melihat aku yang senyum-senyum menonton hp, Bunda curiga. Sekalian saja kuajak Bunda nonton video-video milik Cut Tara. Aku berhasil membuat Bunda juga menjadi salah seorang subscriber youtubenya.

"Kamu yakin diterima? Gadis kayak Cut Tara itu pasti banyak yang suka. Nggak mungkin masih jomblo kayak kamu."

"Bunda berdoa yang banyak!" pintaku, mengabaikan kalimat nggak enak Bunda tentang kejombloanku.

"Kalau doa pasti lah. Kamu sudah tiga puluh tiga tahun. Sudah saatnya menikah. Ini, Bunda ngerasa minder di acara lamaran putri Bu Reno. Ditanyain terus kapan nyusul mantu." Suara Bunda pelan.

"Secepatnya, jawab, Bun."

"Aamin. Eh ngomong-ngomong kamu sudah nonton vlog terbarunya?"

"Belum,"

"Ya ampun, ternyata Bunda lebih loyal dibanding kamu. Tapi Rian. Kamu yakin dia menerimamu?" ulang Bunda membuat aku terdiam, "Cut Tara mengatakan oke, mau, atau kalimat persetujuan lain?"

"Bunda kenapa ragu gitu?"

"Bunda enggak mau malu."

"Dia nggak bilang iya sih, Bun. Tapi ia nyuruh Rian buat ketemu keluarganya di Jakarta"

"Jadi kamu mau pulang?"

"Iya."

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Marrying The Diplomat-BAB 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya