[NOVEL] Lemon Lime: Bab 4

Penulis: Imelda A. Sanjaya 

Kencan Pertama Dengan Calon Suamiku

 

Untungnya makhluk rapi yang katanya bernama Park Soo Yeung itu tidak muncul besoknya di distro sampai sore, bahkan sampai Kiky dan Wita pamit pulang. Aleen kemudian datang untuk menggantikan Aditi yang ada jadwal kuliah sore.

“Mau kuliah, Dit?”

“Yo-i, Leen. Musim kuis, nih.”

“Kayak duren aja, pake musim segala. Oh, ya pulang nanti bantuin aku tutup toko, ya?”

“Siiip ... tapi pulangnya ditebengin sampe Cililitan, dong!”

“Sekalian sampe Kramat Jati juga nggak pa-pa. Kasihan kamu kalo kemaleman.”

“Asyik!”

Aditi menyambar binder dan tas kuliahnya lalu kabur menuju kelas yang jauhnya cuma lima puluh meter dari toko. Aleen adalah seniornya di jurusan. Lulus dari akuntansi, bukannya mencari pekerjaan, Aleen malah membuka distro di dalam kompleks kampus. Kebetulan di dalam kampus banyak disewakan toko, kios dan gerai-gerai untuk bisnis yang berhubungan dengan keperluan mahasiswa. Di deretan distro Aleen ada toko fotokopi, warnet, penyewaan komik, ada juga warung padang segala. Pokoknya fasilitas bisnis kampus itu lengkap.

Karena kenal baik dengan Aleen, Aditi diberi kebebasan menjaga toko di luar jam kuliah.  Sewaktu-waktu ada jam kuliah, Aditi bisa mencuri waktu untuk pergi. Selain Aditi ada juga karyawan yang bertugas sampai sore yaitu Kiky dan Wita. Aleen sendiri biasanya datang sore, sebelum jam kuliah sore Aditi dimulai.

Sampai di kelas, bisa ditebak, kuis diadakan. Semua mahasiswa ribut mengeluh kecuali Aditi. Ia sudah hafal dengan trik-trik ini. Setiap menjelang ujian akhir semester, dosen-dosen di sini suka iseng memberi kuis sehingga Aditi sudah mempersiapkan diri dengan belajar sebisanya meskipun akhir-akhir ini agak sulit mencuri waktu untuk belajar.

Distronya Aleen ramai.

Kuis selesai dan dosen dengan wajah tanpa dosa memulai subjek baru, tanpa memikirkan betapa kuisnya tadi sudah menghancurkan malam Sabtu mahasiswa kelas sore. 

“Selanjutnya, buka bab tentang Fraud  yang umum dalam sistem audit ....”

“Yaaaaaaah ...,” semua mahasiswa berkoor panjang.

Urusan perkuliahan kelar, sekarang urusan distro. Aditi berlari ke distro yang isinya tinggal Aleen yang sedang memasukkan semua display ke dalam toko dan menghitung uang. Parkiran mulai sepi dan selain warung padang, semua toko di sekitar distro tutup.

Tanpa dikomando, Aditi langsung menarik rolling door hingga separuh dan mengunci semua lemari-lemari penyimpanan. Aleen keluar dan membantu Aditi menarik rolling door sampai ke bawah lalu menguncinya.

“Beres, Dit. Kita libur sampai Senin, nih!”

“He ... he ... iya, nih.” Di benak Adit sudah terbayang kasur dan bantal selama dua hari penuh. Enaknya kerja di sini adalah jadwal buka tokonya sesuai jadwal kampus. Sabtu-Minggu libur. Aditi baru akan mengikuti Aleen ke parkiran waktu melihat sosok gelap berdiri di dekat toko. Aleen nyaris menjerit. “Siapa, ya?”

Sosok itu bergerak maju sehingga kelihatan lebih jelas. Tampangnya dingin dan kaku. 

“Aditi?”  katanya.

Aditi melongok dan mengenali orang misterius itu. “Fuuuuuuh ... aku kira siapa.” Aditi menghela napas lega. Padahal kenapa juga dia mesti lega, ya?

“Pacar kamu, ya, Dit?” Aleen melirik Aditi curiga.

“Pacar? Nggak! Bukan! Anu..” Aditi gelagapan. Cowok itu malah mendekat dan mengulurkan tangan kepada Aleen. 

“Perkenalkan, saya Park Soo Yeung. Kenalan Aditi.” Kapan kenalannya, coba?

Aleen menyambut uluran tangan itu dengan ekspresi terpesona. “Park .... Eh, iya.. Saya juga temannya Aditi.”

“Mau pulang?” tanya Soo Yeung lagi, sopan. Matanya lurus menatap Aleen, mengurung Aleen dalam karismanya. 

“I ... iya, bareng Aditi.” Jelas sekali Aleen grogi.

“Saya yang akan mengantar Aditi pulang. Boleh, kan?”

“Oh..boleh, dong!” Aleen menyenggol Aditi dengan sikunya. “Sana, gih!”

“Lho, Leen? Nanti kamu bagaimana?”

“Aku kan biasa pulang sendiri. Sudah buruan nanti kenalan kamu kelamaan menunggu lagi.”

Aleen mengangguk sekilas pada Soo Yeung yang dibalas cowok itu dengan bungkukan ringan yang santun. Aditi bisa melihat mulut Aleen sampai ternganga. Ooh, dia termasuk jenis cowok yang diajari tata-cara memperlakukan perempuan dengan baik dan benar rupanya? Setelah Aleen menghilang, Soo Yeung menatap Aditi lagi.

“Mau kan diantar pulang? Ada yang harus aku bicarakan.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Sebentar ... kenalanku? Kita belum pernah kenalan sama-sekali.” Aditi memprotes. Soo Yeung tersenyum samar, “Tapi kamu sudah tahu siapa aku, kan?”

“Iya, sih, tapi ...,” sebuah sedan hitam panjang tahu-tahunya mendekat dan seorang sopir turun lalu membukakan pintu belakang. Soo Yeung mempersilakan Aditi masuk, 

“Kita lanjutkan pembicaraan di dalam. Oke?”

Kemungkinan dirinya sedang diculik kecil sekali, jadi Aditi memutuskan masuk sambil setengah melompat. Soo Yeung menyusul dan duduk berjarak di sebelahnya tetap dalam posisi formal. 

“Apa yang mau kita bahas?” Aditi memulai pembicaraan sebelum keburu mengantuk karena embusan angin penyejuk udara yang muncul di mana-mana. Dari dashboard, pintu mobil dan sela-sela kursi. Mobil ini hebat sekali.

“Nanti saja.” Jawab Soo Yeung tanpa menoleh, seolah bicara sambil menatap Aditi adalah pemborosan tenaga. Dari kampus, mobil meluncur mulus ke kawasan Thamrin-Sudirman dan berbelok menuju salah satu gedung tertinggi di kawasan itu. Soo Yeung memandu Aditi menuju lift yang membawa mereka ke lantai puncak. Ada restoran dan lounge yang ruangannya bisa berputar di tempat itu. Aditi terperangah ketika memasuki restoran yang ‘wah’ itu. Kayaknya jin, jaket, dan kaus ini kurang cocok dengan restoran ini tapi Soo Yeung dengan percaya diri mendorong sikunya supaya terus melangkah ke dalam. Ya, sudahlah. Apa boleh buat. Kalau diusir sama manajer restoran, tinggal pergi saja. Apa susahnya?

Tapi tidak ada manajer yang mengusir mereka atau mengusir Aditi saja, misalnya. Mereka malah disambut dengan ramah oleh penerima tamu yang langsung bertanya.

“Mr.Park?” Soo Yeung mengangguk. Seorang waitress lalu membawa mereka ke suatu sudut dengan dua kursi yang sudah dipesan. Ia juga menawarkan menu yang kebanyakan menu Asia. Aditi melirik menu itu dari atas sampai bawah dengan bingung sampai akhirnya memutuskan, 

“Nasi goreng udang ya, Mbak.”
Soo Yeung kelihatan terkejut. Sudah jauh-jauh membawa Aditi ke tempat seperti ini, dia pasti tidak mengira Aditi bakalan memesan makanan seperti itu. 

“Hanya itu?”

“Ya.”

“Mengapa?” Soo Yeung menatapnya skeptis.

“Bukan apa-apa.”

“Agar aku terkesan, begitu?”

Dasar orang tolol! Kalau memang ingin mengesankannya maka Aditi akan memesan makanan dengan menu aneh-aneh yang berderet-deret tadi.

“Aku cuma merasa nggak akan bisa menyukai sesuatu yang belum aku kenal.” Jawab Aditi tajam. Soo Yeung membalasnya dengan tatapan santai tapi penuh perhitungan.

Soo Yeung sendiri kemudian memesan makanan yang namanya tidak bisa Aditi ingat selain itu ia juga memesan red wine. Aditi memesan cola.  Sambil menunggu pesanan Aditi melamun menatap pemandangan di luar restoran yang terus berganti seiring perputaran restoran secara perlahan.

“Aku tidak menerima pernikahan ini.” Tiba-tiba Soo Yeung bersuara. Lamunan Aditi tentang membuat jembatan penyeberangan dari tempat ini ke Monas jadi terpecah.

“Eh? Ya, terserah kamu saja.” Aditi menanggapinya dengan enteng. Kening Soo Yeung  langsung berkerut, ternyata ekspresinya kalau sedang bingung (atau mungkin berpikir) menarik juga, pikir Aditi dalam hati.

“Tentu nggak akan cuma-cuma. Aku tahu ayahku berutang budi pada kakekmu jadi ....”

Ehm ... sebentar, bagaimana bisa Bahasa Indonesia kamu lancar begini, sih?” Aditi tiba-tiba terceplos pertanyaan yang selama ini terpikir olehnya. Soo Yeung kelihatan kesal karena ucapannya terganggu tapi ternyata ia cukup sabar.

“Aku sudah tiga tahun tinggal di Indonesia dan bekerja di sini, wajar kalau aku bisa berbahasa Indonesia.” Dosen manajemen Aditi yang bule dari dulu sampai sekarang masih komat-kamit pakai Bahasa Inggris akut sekalipun harus bicara sama cleaning service.

“Oh, begitu ... eh pesanan kita sudah datang!” Aditi nyaris berteriak gembira melihat nasi goreng dan pesanan Soo Yeung sampai. Aditi melongok melihat sesuatu yang bersungut dalam piring Soo Yeung. “Apaan tuh?”

“Ojing. Cumi-cumi.” 

Soo Yeung lalu menyesap wine-nya dengan khidmat sementara Aditi meliriknya ngeri. Minum alkohol? Bukan calon suami idamannya sama-sekali! Syukurlah kalau mereka akhirnya tidak jadi menikah.

“Mengenai kompensasi ...,” Soo Yeung melanjutkan,” ... ini nggak boleh diketahui keluargaku karena ibuku mendukung pernikahan ini jadi aku akan memberikannya diam-diam...”

“Kamu sudah punya pacar, ya?” selidik Aditi. Soo Yeung meletakkan garpunya dan menatap Aditi jengkel. Ia kehilangan kesabarannya.

“Dan kamu nggak bisa menunggu orang lain selesai bicara ya?”

Ups! Sori, kebiasaan.” Aditi buru-buru memasang tampang bersalah andalannya. Berhasil karena nada bicara Soo Yeung langsung melunak. 

“Ya, aku sudah punya pacar. Asli Korea dan dia sempurna. Penolakan nggak mungkin datang dari mulutku karena akan membuat ibuku murka jadi aku mengharap kerja sama kamu. Karena itu aku minta supaya kamu mengarang seribu satu alasan untuk tidak menikah denganku. Setuju?”

Enak banget. Semua risiko mesti ditanggung Aditi sendiri dan si Korea ini tinggal cuci tangan. Boleh, liat aja nanti!

“Itu sih gampang. Setuju!” Aditi mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. Soo Yeung menimbang sejenak sebelum akhirnya menjabat tangan Aditi. Tangan itu adalah tangan paling halus yang pernah Aditi sentuh. Lembap, lembut dan bersih. Coba bisa tukaran.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Lemon Lime: Bab 5

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya