[NOVEL] Wife Wannabe: Bab 3 

Penulis: Ririn Ayu

Martabak Telur

 

Nila mengetukkan jemari dengan tidak sabar. Mata cokelatnya mengamati sosok berkemeja biru dengan motif kotak-kotak yang kini duduk di depannya. Dia berdeham pelan. Menarik kardigan hitam berumbainya lebih rapat. Berharap ujungnya yang berumbai itu memanjang secara ajaib untuk menebas leher pemuda yang sepertinya mulai berkonsentrasi menjadi patung dalam ketenangan.

Pemuda itu sesekali membenarkan letak kacamata yang terus melorot dari posisinya. Membuatnya curiga, mungkin hidungnya terlalu licin terpoles keringat hingga kacamatanya memulai hobi baru. Perosotan menuruni tulang hidungnya yang panjang. Atau dia berharap kacamata itu bergerak lebih cepat menghantam bibir pemuda itu hingga mungkin dia akan kelepasan untuk berkata-kata. Nila mendesah, mana mungkin Gie yang tenang dan penuh perhitungan itu akan kehilangan kontrol terhadap bibirnya.

“Jadi, Nak Gie—” Ayah Nila membuka suara. Tampak sengaja memutus kalimatnya di tengah-tengah hingga menimbulkan suasana seram ala film horor di bioskop. Tentu saja, hanya hati Nila yang bergemuruh saat ini.

“Iya, Pak.” Gie yang sedari tadi menunduk membuka suara. Dia mendongak sesaat lalu memasang senyuman.

Nice! Ayo lanjutkan, Gie!

Nila berdecak dalam hati lalu beringsut pelan. Mendekati pojok sofa agar bisa mendengarkan lebih jelas apa yang akan pemuda ini katakan. Sudut sofa mungkin memberikan resonansi yang tepat untuk menangkap setiap detail kalimat. Selain itu, telapak tangannya yang mulai basah bisa lebih leluasa meremas permukaannya yang lembut. Berharap debaran jantungnya bisa diselipkan di setiap sudutnya tanpa terdengar.

“Ada keperluan apa Nak Gie datang kemari malam-malam begini?” Pria paruh baya itu tersenyum lembut.

Reaksi Ayah lumayan, ini pertanda positif.

Nila meremas permukaan sofa semakin erat. Remasan tangannya mungkin sekarang bisa menghancurkan potongan tahu putih hingga hancur menjadi serpihan mikroskopis. Gie mungkin sedang menelan ludah dan mengatur napas. Tangannya tampak gemetar.

Ayolah! Jangan pengecut begitu!

Nila menahan napas kala pemuda itu berdeham pelan sebelum mendongakkan kepala. Melirik Nila sebentar yang disambut gadis itu dengan anggukan kaku. Berharap kekakuannya dapat memberikan dorongan semangat. Akan tetapi, mata Gie kini beralih pada kotak martabak telur yang terhidang di meja. “Saya hanya ingin silaturahmi, Pak,” katanya akhirnya.

“Sekalian mengantarkan martabak telur ini?” potong Ayah Nila cepat.

“I—iya.” Pemuda itu melirik Nila. Dia kembali menunduk saat menemukan kobaran api dalam manik cokelat gadis itu. Entah kobaran api neraka nomor berapa yang meletup dari kedua rongga mata itu.

“Membahas soal pekerjaan?”

“Iya, ada laporan para siswa yang belum diselesaikan tadi.”

Nila memelotot, punggungnya melorot. Remasannya mulai longgar. Bibirnya membuka sedikit dan mulai menganga. Laporan keuangan katanya?

Yang benar saja!!!

“Kalau begitu Nak Gie bisa berbincang-bincang dengan Nila. Bukankah kalian rekan kerja?”

“Tapi, Pak—”

Nila mengangkat alis dan langsung menatap Gie sekarang, berharap kalau bola matanya akan menembakan laser hingga memangkas rambut pemuda itu sampai botak. Kau takut huh, Gie sayang?

Gie berdeham pelan dan membuang pandangan, sementara Nila menekan buku-buku jari tangannya hingga berbunyi. Tangannya sudah siap untuk memukul pemuda itu kapan saja. Sedetik kemudian, Gie meliriknya dengan sorot ketakutan.

“Tidak apa-apa. Bapak ada keperluan sebentar di dalam. Mau menonton pertandingan sepak bola, sepertinya sudah mulai dari beberapa menit lalu,” tukas Ayah Nila santai.

Gie tersenyum tipis, mengangguk pelan saat pria itu beranjak berdiri. Matanya mengikuti sosoknya yang menghilang di balik pintu.

“Ehem.” Nila kembali berdeham pelan.

“Nil—”

“Kamu mau silaturahmi?” Kedua alis gadis itu bertaut.

“Iya.”

“Pakai martabak? Kamu nyogok?”

“Bukan begitu Nil, tapi—"

“Tapi apa? Sejauh ini hanya untuk silaturahmi?” Suara Nila nyaris meninggi, namun gadis itu menahannya. Hanya dadanya yang bergerak naik turun.

“Bukannya benar bersilaturahmi?”

“Membahas laporan para siswa?”

Memangnya ada yang salah?” Gie memiringkan kepala.

“Hari ini Minggu Gie, tidak ada laporan siswa yang dikerjakan tadi, kita tidak berangkat bekerja, sekolah libur.”

Gie mengusap kepala lalu tersenyum malu-malu. “Alasannya konyol ya, Nil?”

“Terserah kau saja!”

“Jangan marah, Nil. Toh aku datang kan kayak yang kamu mau.”

“Tapi kamu datang buat silaturahmi.” Nila nyaris memekik. “Aku pikir, kamu datang untuk—” Nila menarik napas berat, menahan air mata yang mulai menusuk di pelupuk mata. “Lupakan!” dia menelan lagi kata-kata yang hendak terlontar dari bibirnya.

“Memangnya kau pikir apa tujuanku datang kemari?”

“Gie.” Nila memilin gamis hitam menjuntai yang menutupi paha. Berupaya keras menahan tangis.

“Melamarmu?”

Nila mendongak, memelototkan matanya. Dia berani bersumpah kalau jantungnya sekarang melewati satu dua kali degupan dan dia masih baik-baik saja. Itu yang dia inginkan. Akan tetapi, melihat wajah menyeringai Gie membuatnya mendengus sebal. Lamaran itu hanya gurauan untuk Gie? Semudah dan seringan itu pemuda ini mengatakan kalimat itu. Melamarmu? Apa dia pikir wanita tidak malu kalau langsung ditusuk pertanyaan seperti itu? Dia heran, perasaan Gie terselip di mana?

Apa Gie tidak tahu betapa sakralnya sebuah prosesi pernikahan? Lamaran? Datang ke rumah orang tua seorang gadis untuk meminang. Apakah dia tidak tahu kalau dirinya begitu menghargai acara yang menjadi impian kaum hawa itu?

Namun, bukan itu masalahnya. Janji Gie kosong, dia memberikannya harapan kosong pada janjinya. Dia memang datang malam ini sesuai kata-katanya, tetapi kedatangannya bukan untuk meminangnya. Dia datang dengan alasan luar biasa konyol.

“Apa lagi alasan kamu datang ke sini buat bertemu ayahku?” Nila mendesis.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Aku enggak pernah bilang akan melamarmu, Nil. Aku hanya bilang mau datang buat bertemu ayahmu. Kalau aku mengunjungi anak perempuan maka sewajarnya aku minta izin ke ayahnya, kan?” Gie tidak terdengar merasa bersalah sama sekali.

Nila menepuk tulang selangkanya berusaha menahan letupan di dada sementara bibirnya sekarang benar-benar gemetar. Memang, Gie tidak mengatakan kalau dia ingin melamar. Kesimpulan konyol dari mana itu? Hanya dia yang terjebak dan terpilin dalam kalimat konyol hasil rekaannya sendiri, memikirkan Gie tahu semua yang ada di pikirannya sekarang membuatnya benar-benar ingin mengakhiri hidup sekarang juga. Ini memalukan.

“Semudah itu?” Nila nyaris menangis. “Kau mengatakannya seringan itu.”

“Aku tahu apa yang ada di dalam pikiranmu, Nila. Aku mengenalmu.”

“Dan kamu melakukan semua ini padaku?” Suaranya memelan.

 “Ya.” Gie mengangkat bahu. Jemarinya mendorong kotak martabak mendekat ke arah Nila.

“Lalu kenapa?” Suara Nila terdengar berbisik, nyaris dramatis. “Kamu jahat! Kamu mempermalukanku, Gie!”

“Mempermalukan apa sih?” tanyanya.

Nila enggan menjawab pertanyaan itu.

“Dengar ya, Nil. Maafkan aku kalau aku salah. Aku enggak bermaksud begitu, lagi pula untuk apa kamu malu sama aku?” katanya lagi. “Cobalah berpikir realistis. Kita belum siap dengan komitmen apa pun saat ini. Aku masih muda dan kamu juga, bukankah lebih baik kita begini dulu dibanding mikirin nikah—”

“Jadi menurutmu aku enggak pantas diperjuangkan?” Suara Nila meninggi memotong kalimat Gie sebelum pemuda itu menjelaskan poin penting dari dialog bagiannya.

“Bukan masalah pantas atau tidak pantas diperjuangkan. Ini masalah komitmen. Perjuangan dan komitmen adalah dua hal yang berbeda.” Gie tampak mencoba menjelaskan.

“Bedanya di mana? Aku tidak melihat ada perbedaan pemahaman di sini.” Nila menyahut ketus.

“Komitmen diperlukan untuk menetapkan hati untuk menikah denganmu. Mengarungi hidup bersamamu tanpa keraguan dan membuat pernikahan kita langgeng, semacam itu.” Gie memotong kalimatnya seperti kehabisan topik untuk menjelaskan.

“Kau bisa mengusahakan, kita bisa berjuang bersama. Menikah itu hal sakral dan Tuhan akan membantu kita,” tukas Nila masih bersikeras.

Nila makin gemas kala Gie menghela napas. Mengusap peluh yang tiba-tiba menempel di kening. Matanya menatap seolah dia adalah gadis berperangai singa yang perlu ditenangkan sesegera mungkin.

“Kalau begitu, bisakah kita pelan-pelan. Melangkah bersama, aku akan memperjuangkanmu dan kau membantuku menemukan komitmen itu?” Gie tersenyum penuh bujukan.

Nila mendengus lalu menggeleng. Air matanya hampir jatuh. “Komitmen saja harus dibantu buat kamu dapatkan. Aku enggak pernah terpikir kalau nilaiku serendah ini di matamu, Gie!”

“Maksudmu?” Kening Gie berkerut sekarang, benar-benar tampak bingung. Matanya juga menyipit di balik lensa kacamata.

“Kau bahkan harus menemukan komitmen itu untuk bersamaku.”

Gie terdiam, dia membenarkan letak kacamata. Sepertinya dia masih mencoba menerka arah kalimat yang baru saja diucapkan Nila. “Bukan begitu, Nil.”

“Kalau sampai harus dicari maka artinya komitmen itu sebenarnya tidak ada,” tudingnya.

“Engg—enggak. Ada kok. Aku tahu apa pun itu ada.”

“Tapi, entah di mana?” Nila memotong.

“Bukan begitu—”

“Kalau begitu kenapa kau harus menemukannya? Apa komitmen itu hilang?”

“Nila, bukan begitu.”

“Atau sejak awal komitmen itu tidak pernah ada?” Mata Nila kali ini melotot tajam.

“Apa kau tidak bisa melihat masalah dari sudut pandangku sebagai pria?”

“Aku tidak bisa melihat dari sudut pandangmu, aku wanita.”

“Nila, please!” Pemuda itu terdengar nyaris putus asa.

“Jadi menikah denganku itu masalah?” Nila bergumam sendiri, dia sama sekali tidak ingin mendengar kata-kata pemuda itu.

Gie memijat pelipis. Tampak gusar dan kebingungan. “Entahlah, aku pusing.”

“Kau tahu Gie, martabak telur itu bahan dasarnya telur untuk merekatkan semua bahan. Tanpa telur semua bahan akan tercecer. Kau bisa menganalogikan telur sebagai perjuangan. Perjuangan untuk mendapatkanku. Bukan begitu?” Nila mengangkat satu alisnya. Mencoba meyakinkan.

“Aku tidak sekeras cangkang telur untuk bisa melindungimu dan menjagamu, Nila. Tidak untuk saat ini, aku belum siap.”

“Kalau begitu lepaskan aku!”

“Apa?” Gie terperangah menatap gadis di depannya.

“Kenapa? Kau tidak bisa berkomitmen dan tidak bisa melepaskanku? Lalu kau ini apa?”

“Kita sepasang manusia yang saling memiliki satu sama lain, kita tidak membutuhkan orang lain.”

 “Omong kosong! Jadi karena saling memiliki satu sama lain maka tidak perlu ada komitmen untuk mengikat hubungan kita. Manis sekali kata-katamu. Aku lelah dengan teori absurd-mu itu!” Nila benar-benar menjerit sekarang.

“Nila, aku—” Gie tampak gelagapan seolah tengah mencari kata-kata yang tepat. “Aku-”

“Pria macam apa sih kamu ini!” Nila langsung menghunus kalimat tajam.

Gie langsung terdiam. Nila benar-benar menangis. Samar-samar dia mendengar kunyahan renyah kulit martabak di ruang sebelah sebelum suara itu berganti sorakan tanda salah satu gawang telah kebobolan. Sama seperti harga dirinya yang jebol dan berdarah malam ini.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Wife Wannabe: Bab 4 

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya