[NOVEL] Painting Flowers-BAB 4

Penulis : Nureesh Vhalega

Cinta Pertama

 

Pertandingan basket three on three itu menjadi jalan awal dari kisah Rama dan Laisa.

Ketika kompetisi basket antar SMA se-kota Jakarta dimulai, Rama terpilih menjadi salah satu anggota tim inti. Walaupun dia masih kelas sepuluh, tubuhnya yang tinggi memberi banyak keuntungan, selain kemampuan menembak tiga angkanya yang hebat. Bahkan di tim basket sekolah, dia yang bertubuh paling tinggi.

"Go, Rama!" jerit Laisa dari pinggir lapangan. Meski tahu jeritannya tenggelam di antara sorakan penuh dukungan dalam GOR sore itu, dia tetap memberi semangat untuk pemuda yang telah mencuri hatinya.

Seseorang menyenggol lengan Laisa. Ketika menoleh, dia disambut tatapan menggoda dari Kak Putri, kapten pemandu sorak yang sudah berada di tahun terakhir SMA.

"Lo naksir banget ya sama si Rama?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling. "Buruan tembak, nanti keduluan cewek lain, lho. Setahu gue ada anak cheers dari kelas sebelas yang suka juga sama dia."

Wajah Laisa terasa memanas. "Kelihatan jelas ya, Kak?" tanyanya malu.

Kak Putri tertawa. "Dari kompetisi ini dimulai, yang lo teriakin namanya Rama doang! Belum lagi setiap beres latihan nge-dance, lo selalu nangkring dulu di lapangan basket, curi-curi pandang ke Rama. Jelas kelihatan, La."

Laisa meringis. Rama memang pemuda pertama yang berhasil mencuri perhatiannya. Sejak permainan basket mereka itu, Rama selalu menghuni pikiran Laisa. Dia bahkan sering mencari alasan agar bisa lewat di depan kelas Rama, sekadar melihat pemuda itu. Kadang Rama menangkap pandangan Laisa dan melempar senyum, meski seringnya Rama terlalu sibuk dengan ponsel atau teman-temannya.

Laisa mungkin mengikuti kegiatan pemandu sorak sebagai ekstrakulikuler, tapi dia jauh dari kategori populer. Berbeda dengan Rama yang menjadi favorit hampir semua orang, bahkan Laisa yakin tidak ada seorang pun yang tidak mengenal Rama di sekolah. Selain tampan dan jago bermain basket, Rama juga terkenal karena keramahannya. Dia tidak pelit membagi senyum. Satu hal yang sampai hari ini terus membuat Laisa menyukai pemuda jangkung itu.

Sorakan heboh terdengar, membuat Laisa kembali melihat ke lapangan. Tim basket sekolahnya sedang merayakan bertambahnya poin. Tiga angka. Sudah pasti Rama yang melakukannya. Tanpa sadar, Laisa tersenyum melihat wajah gembira Rama. Permainan terus berlanjut hingga peluit tanda berakhirnya pertandingan dibunyikan sepuluh menit kemudian. Sekolah Laisa keluar sebagai pemenang dan masuk ke babak perempat final.

Gadis itu ikut berseru riang bersama teman-temannya. Yang tak dia sangka, Kak Putri menariknya menuju lapangan. Beberapa anggota pemandu sorak yang lain dengan cepat mengikuti, membuat Laisa tak bisa kembali ke pinggir lapangan secepat yang diinginkan.

"Kak! Lepas dong!" pinta Laisa memelas pada kapten pemandu sorak.

Sayangnya, setelah Kak Putri melepas tangan Laisa, dia sudah berada di hadapan Rama. Pemuda jangkung itu mengerjap ketika melihat Laisa, sebelum akhirnya tersenyum.

Sial! Senyumnya itu yang selalu membuat Laisa lemah dan jadi kehilangan kata. Singkatnya, Laisa berubah menjadi bodoh jika sudah berada di hadapan Rama. Tapi, bukankah semua cinta pertama membawa dampak serupa?

"Rama! Gila lo! Tembakan terakhir tadi nyaris banget!"

Seruan itu diikuti rangkulan dari Kak Bagas, kapten tim basket. Rama pun mengalihkan perhatian dari Laisa. Sambil menghela napas lega, Laisa membalikkan tubuh dan berusaha membelah kerumunan untuk mencapai pintu keluar. Tepat setelah Laisa keluar dari lapangan, seseorang menyerukan namanya.

"La! Laisa!"

Menoleh, gadis itu terkejut menemukan Rama berlari menghampirinya.

"Kenapa?" tanya Laisa begitu Rama berdiri di hadapannya.

Sambil menarik napas dalam-dalam, Rama berusaha menenangkan laju pernapasannya. Laisa memberi pemuda itu waktu dan mereka berdiri di depan pintu keluar GOR dengan jarak tak sampai satu langkah. Sedekat ini, Laisa bisa melihat mata Rama yang berwarna hitam dengan sangat jelas.

"Lo pulang sama siapa?" tanya Rama.

Butuh beberapa saat bagi Laisa untuk memahami pertanyaan itu.

Rama buru-buru menambahkan, "Gue kemarin lihat lo di halte, tapi pas gue mau panggil, lo sudah keburu naik angkot. Kayaknya rumah kita juga searah. Mau bareng gue?"

Laisa berdeham. "Memang rumah lo di mana?"

"Perumahan Billy Moon," jawabnya langsung. "Lo?"

"Kompleks Angkatan Darat sebelum Billy Moon."

Semudah itu, mereka tertawa. Kecanggungan yang sebelumnya melingkupi sedikit berkurang karena tawa itu.

"Benar, kan? Rumah kita searah," kata Rama kemudian. "Jadi mau bareng gue?"

Laisa menggigit bibir, sungguh ingin berkata "ya". Namun dia tidak ingin terlihat terlalu agresif. Meskipun menyukai Rama, Laisa belum siap memberitahukan hal itu pada Rama.

"Gue juga naik angkot sih, belum punya SIM. Kayaknya enak kalau di jalan ada teman ngobrol." Rama melanjutkan. Wajahnya mulai diselimuti ragu, Laisa pun tidak tega dan langsung mengangguk.

"Lo mau?" tanya Rama dengan mata terbelalak.

Lagi, Laisa hanya mengangguk.

Malam itu, mereka menghabiskan sepanjang perjalanan menuju rumah dengan mengobrol. Laisa tahu Rama memiliki seorang kakak perempuan, keluarganya cukup berada hingga bisa membawanya liburan ke luar kota bahkan ke luar negeri setiap tahun, termasuk hobinya mengoleksi action figure.

"Kakak gue yang suka ngomel sih kalau gue beli figure baru," katanya dengan senyum kecil di sudut bibir. "Dia nggak paham kenapa gue rela ngeluarin banyak duit buat benda plastik. Sama kayak gue yang nggak paham pas ada diskon baju dan dia kalap."

Laisa tertawa. Sebagai kakak perempuan yang memiliki adik dengan beda usia satu dekade, Laisa jelas tidak memiliki pengalaman semacam itu. Adiknya masih terlalu kecil untuk peduli pada urusannya. Rasanya menyenangkan bisa mendengar cerita kakak beradik semacam itu dari Rama. Atau memang Laisa hanya senang mendengar suara Rama.

"Lo yakin mau nganterin gue sampai rumah?" tanya Laisa begitu Rama ikut turun dari angkutan umum berwarna biru yang mereka tumpangi. "Jaraknya lumayan jauh kalau jalan kaki, sekitar sepuluh menitan."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dengan senyum tipis, Rama menjawab, "Gue masih mau ngobrol sama lo."

Pipi Laisa bersemu kemerahan. Akhirnya mereka berjalan menuju rumah Laisa yang berada di blok K. Gadis itu tidak bercanda ketika berkata jaraknya cukup jauh, tapi tidak terdengar keluhan dari pemuda jangkung di sisinya. Padahal Laisa yakin setelah pertandingan tadi Rama lelah. Mereka melanjutkan obrolan dan kali ini giliran Rama menanyai Laisa.

"Lo punya adik?" ulang Rama. "Nggak kelihatan. Gue pikir lo anak tunggal."

Laisa tertawa. "Nyaris sih, tapi bokap sama nyokap ternyata kasih hadiah adik cewek yang bedanya sepuluh tahun dari gue."

Rama mengangguk-angguk. "Terus bokap lo tentara?"

Laisa pun menceritakan tentang keluarganya. Tentang Papa yang selalu sibuk dan Mama yang tak kalah sibuk. Tidak ada yang istimewa dari cerita Laisa, tapi Rama benar-benar mendengarkan dan mengeluarkan pertanyaan di saat yang tepat.

"Nah, ini rumah gue," kata Laisa begitu mereka sampai di depan rumah bercat putih dengan pagar hitam.

"K 72," gumam Rama ketika melihat nomor rumah. "Oke, kalau gitu gue langsung balik ya."

Laisa mengangguk. Meski ingin menawari Rama masuk, dia tahu Papa tidak akan setuju jika ada teman laki-laki yang bertamu pada malam hari. Biar bagaimanapun, Laisa belum genap berusia tujuh belas tahun.

"Hati-hati. Makasih sudah nganterin gue pulang," sahut Laisa pelan.

Rama tersenyum dan membalikkan tubuh. Baru beberapa langkah berjalan, dia kembali menghadap Laisa.

"Besok ... boleh gue nganterin lo lagi?" tanyanya ragu.

Kali ini, tanpa perlu berpikir panjang Laisa mengangguk.

Rutinitas pulang bersama itu pun membuat Laisa dan Rama semakin dekat. Bohong jika Laisa berkata dia tidak senang. Nyatanya, pulang sekolah menjadi satu-satunya hal yang paling gadis itu tunggu setiap hari. Bahkan ketika hari libur datang, Laisa akan menghabiskannya dengan menunggu hingga waktunya sekolah tiba. Memang sehebat itu pengaruh Rama dalam hidup Laisa.

"Lo sekarang ngetop, lho." Tio berkata setelah guru Bahasa Indonesia keluar dari kelas. "Kemarin pas gue nongkrong di kantin, nggak sekali dua kali gue dengar nama lo disebut."

"Serius?" tanya Laisa kaget. "Kenapa?"

"Ya gara-gara lo pedekate sama si Rama," jawab Tio. "Dia kan lagi naik daun di sekolah ini. Apalagi kalau sampai menang di final nanti, beneran dikejar fans tuh anak. Tapi berita bagusnya, lo nggak kebanting banget kalau ada di samping Rama. Seenggaknya lo anak cheers gitu, biarpun nggak terkenal. Dari kelas X-4 pula. Not bad lah. Daripada bukan anak cheers dan dari kelas X-9, lo bisa habis dijambak fansnya Rama."

"Eh, sialan," maki Laisa langsung. Meski dalam hati dia mengakui kebenaran ucapan temannya itu. SMA tempatnya menuntut ilmu memang menerapkan sistem kelas berdasarkan peringkat dan nilai, jadi berada di kelas X-4 dari total 9 kelas sungguh menyelamatkan reputasi Laisa.

Tio tergelak. "Gue ngomong serius ini, La. Pokoknya hati-hati sama fansnya Rama. Nanti kalau sudah jadian jangan sombong juga sama gue."

"Apa sih, Yo?" tukas Laisa dengan wajah merona. "Nggak ada apa-apa kok antara gue dan Rama. Kita kebetulan aja rumahnya searah."

Menggeleng, Tio masih menyunggingkan senyum menggoda. "Sangkal aja terus. Nanti kalau bener jadian, gue mau minta pajak jadian yang mahal."

"Mimpi aja terus lo," sahut Laisa dengan tawa ringan.

Namun sore itu, di akhir pertandingan final antara sekolah mereka-SMA Altrista-dan SMA Pandu Bangsa, Laisa harus menarik kata-katanya. Sebab apa yang dikatakan Tio menjadi nyata.

Tepat setelah peluit panjang berbunyi, dengan kemenangan mutlak di pihak tim Altrista, Rama berlari menghampiri Laisa. Dia langsung memeluk Laisa dan mengangkat tubuh gadis itu. Tawanya terdengar bebas dan lepas, sementara Laisa harus menahan jerit, terlebih ketika Rama memutar tubuh mereka.

"Cieee!!!"

"Rama! Woi! Main nyosor aja lo!"

Masih dengan tawa berderai, Rama menurunkan tubuh Laisa, meski kedua tangannya tetap terkunci di belakang punggung gadis itu.

"Jadi cewek gue ya, La?"

Pertanyaannya itu tidak diteriakkan, tapi entah bagaimana semua orang di sekitar mereka bisa mendengarnya. Segera saja kor menggoda memenuhi lapangan, menyeruak di antara perayaan kemenangan.

"Terima! Terima! Terima!"

Laisa tidak tahu seperti apa ekspresinya saat itu, karena seluruh perhatiannya tertuju pada Rama. Bahkan dengan peluh membasahi wajah, Laisa tetap merasa Rama pemuda paling tampan yang pernah dia lihat. Jantungnya berdetak cepat. Gadis itu juga mulai merasa kesulitan bernapas.

"La?" panggil Rama.

Wajah ragu Rama membuat senyum Laisa mengembang. Sekali lagi, Laisa berikan anggukan untuk tanya dari Rama. Rama menyambut jawaban itu dengan senyumnya. Hari itu Laisa sama sekali tidak tahu, satu anggukan darinya membawa banyak hari-hari penuh warna yang tidak akan sanggup dlupakan seumur hidup.

Karena Laisa menemukan cinta pertamanya, yang bahkan terus mengisi hatinya hingga tahun-tahun berlalu.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Painting Flowers-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya