[NOVEL] Pingyan dan Pangeran Bayangan-BAB 3

Penulis: Eve Shi

Berangkat Ke Ibu Kota (1)

 

Seraya menghela napas, Pingyan mencengkeram gagang pedangnya sendiri. Ia menguatkan hati dan mengosongkan pikiran. Lengannya terayun, dan pedang yang masih terbungkus sarung itu membentur mangkuk hingga terpental dari tangan Wei.

Nanti, jika ada yang bertanya, Pingyan tak dapat menerangkan alasan tindakannya. Saat ini, ia hanya tahu bahwa si hantu perlu pertolongannya. Belum terlintas di benak Pingyan kalau si hantulah yang mungkin berbahaya dan Wei tak lebih dari petinggi yang angkuh, tetapi beriktikad baik. Apa yang ia tahu, naluri dan tangannya sudah mengambil keputusan mendahului nalar.

Mangkuk besi terpelanting ke udara. Bubuk mesiu bertebaran ke segala penjuru. Api yang memang kecil saja, sebesar cahaya sebatang lilin, padam ketika mangkuk terbanting ke tanah.

Si prajurit berjengit. "Kau ini apa-apaan?" Terbawa refleks, ia maju ke arah Pingyan, kemudian berhenti. Pedang Pingyan, yang telah dicabut dari sarungnya, teracung ke si prajurit. Sejenak, mereka berdua sama-sama terpaku di tempat.

"Maaf." Dada Pingyan tiba-tiba kaku, sukar mengembang dan mengempis agar ia bisa bernapas. Untunglah pedangnya, atau badannya, tidak gemetar. "Hantu pemuda yang kuceritakan itu hantu baik-baik. Aku tak tega ia harus diusir atau dimusnahkan cuma gara-gara salah dikira orang lain."

Begitu meluncur dari mulutnya, alasan itu terdengar makin tak berterima. Pingyan mulai bertanya-tanya ke mana akal sehatnya. Di dunia ini, mana ada rakyat jelata yang menentang pejabat hanya demi hantu yang belum pasti jujur atau lancung? Lalu terbayang oleh Pingyan bahwa kesembronoan ini dapat mencelakakan Ibu, sehingga lututnya goyah.

Wei memalingkan kepala ke kiri dan ke kanan. "Hantu itu sudah lenyap," ia berkomat-kamit. "Sudah lolos dariku."

Sekarang, Pingyan tahu, adalah bagian yang sulit. Ia harus tetap sabar dan tidak semakin membuat Wei berang. Barangkali akan membantu jika ia menurunkan pedangnya, tetapi Pingyan tidak merasa aman tanpa lindungan senjata.

Wei mendelik padanya. "Putri Jenderal Chang ternyata pemberani." Pingyan tak bisa menebak apakah ini sindiran atau pujian. "Sampaikan kepada ibumu, Wei Guyao datang berkunjung dan menyesal tidak dapat bertemu. Aku akan datang lagi lain kali."

Tanpa menunggu jawaban, ia beranjak pergi. Si prajurit tampak heran karena tidak disuruh menangkap Pingyan. Lalu ia menyusul Wei, dan keduanya hilang ditelan kegelapan.

Pingyan menyarungkan pedang, mengeraskan otot lutut yang tempurungnya kini mulai beradu. Ia berlari sekencang mungkin ke rumah, membanting pintu, dan menyusup masuk ke tempat tidur. Ia meringkuk dengan mata terpejam, darahnya berdesir di seluruh tubuh.

Wei salah besar. Ia bukan putri yang pemberani. Ia anak tak berbakti, yang baru saja mendatangkan bencana bagi Ibu.

*

Setelah beberapa lama, barulah gemetar Pingyan mereda. Ia menegakkan badan dan mengatur napas, menoleh berkeliling. Saat ia berada kembali di kamar, di tengah barang-barang yang setiap hari menemaninya, telah meluruhkan sebagian kekisruhan dalam benaknya.

Kamar Pingyan sederhana, berisi lemari setinggi pinggang, bangku, serta dipan untuk tidur. Bagian atas lemari merangkap meja rias sekaligus meja tulis, karena Ibu juga giat mengajari putrinya baca-tulis. Ketiga perabot kayu itu sudah tua, perlu diganti. Namun, Pingyan yakin ketiganya masih bisa dipakai sampai suatu hari kelak roboh sendiri.

"Nona?"

Nyaris saja Pingyan terjungkir dari tempat tidur. Suara itu suara si hantu laki-laki. "Di mana kau?" Ia berteriak. "Mau apa kemari? Enyahlah, aku sudah tak ada urusan denganmu!"

"Nona jangan takut. Aku di ruang tengah. Aku bicara dari sini saja. Pertama-tama, aku berterima kasih karena Nona sudah membelaku."

Pingyan turun dari tempat tidur, mengatupkan kedua belah tangan, dan menjura. "Kakak Hantu, aku mohon, jangan ganggu aku lagi. Aku sudah membuat ibuku kena masalah, jadi biarkan aku pusing soal itu saja. Kau sudah meninggal, kan? Pergilah ke alam sembilan mata air, terimalah takdirmu."

"Itu dia. Aku belum meninggal. Aku jadi begini gara-gara Wei Guyao."

Kendati ia ingin si hantu minggat, rasa penasaran Pingyan lagi-lagi terusik. "Belum meninggal? Orang masih hidup bisa jadi hantu?"

"Alasanku kemari adalah untuk minta bantuan ibumu. Jenderal Chang guruku, juga orang yang bisa kupercaya. Tak dinyana, Wei Guyao mengendus jejakku. Tadi, aku menyingkir supaya ia mengira aku pindah ke tempat lain. Namun, ia tidak gampang ditipu."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Maksudmu apa? Ia akan datang lagi dengan bala bantuan?" Ia membayangkan rumah ini dikepung pasukan bersenjata sehingga membuat pelipisnya berdenyut-denyut.

"Akan kujelaskan semuanya, tetapi jangan terkejut."

"Aku janji tidak akan terkejut. Katakan, bantuan apa yang kau perlukan dari Ibu."

"Pertama-tama, aku jadi begini sebab rohku dicabut keluar dari badan yang masih hidup. Pelakunya Wei Guyao. Aku berharap, Jenderal Chang dapat membantu menyatukan lagi roh dengan badanku."

Ibu tak pernah cerita, apalagi menunjukkan, ia punya kekuatan gaib. Rasa penasaran Pingyan kian menggebu, menyilih kecurigaannya. "Aku tidak tahu Ibu bisa ilmu gaib. Aku cuma tahu Ibu mantan jenderal di istana."

"Ibumu sangat setia kepada Yang Mulia Kaisar, juga orang yang pemberani. Maka dari itu aku kemari. Aku tak tahu ke mana lagi harus minta tolong."

"Dan kau begitu yakin Ibu bisa menolongmu. Kenapa tidak kau cari di ibu kota dulu? Ibu sedang ke sana."

"Astaga! Benarkah? Tidak terpikir olehku mencarinya di ibu kota. Aku hanya ingat ibumu ada di Dusun Zhen. Sekarang, cepatlah kau berkemas dan angkat kaki dari sini."

Pingyan berderap menuju pintu kamar. "Angkat kaki dari rumahku sendiri, cuma supaya bisa menolongmu?" Ia menukas. "Kau ini orang penting, ya, sampai wajib sekali ditolong?"

"Prajurit tadi sudah bilang, kan? Wei orang kepercayaan Pangeran Pertama, jadi pasti diberi tanda perintah kerajaan. Dengan tanda perintah itu, ia mampu menggerakkan pasukan tentara dari Kota Ding. Apa kau sanggup menghadapi lawan sebanyak itu?"

"Jadi, kau musuh Pangeran Pertama yang ingin merekrut Ibu sebagai sekutumu."

"Aku bukan musuh Pangeran Pertama, sekalipun ia menganggapku begitu. Aku Huangli, Pangeran Kedua, putra Kaisar dan Permaisuri." Sebelum Pingyan sempat terperangah, nada suara dari balik pintu itu bertambah mendesak. "Cepatlah pergi sebelum pasukan datang. Kalau Wei tidak bisa menemukan ibumu, kau yang akan jadi sasaran pelampiasan amarahnya."

Perkataan terakhir itu benar. Bukan hal aneh jika petinggi yang kehendaknya terhalang akan menindas rakyat, semata-mata agar perasaannya lebih enteng. Pingyan harus mencari Ibu dan menyerahkan penanganan masalah ini kepadanya. Namun, ia tidak tahu lokasi rumah teman Ibu, dan bisa saja mereka berdua berselisih jalan.

"Untuk apa Wei membawa tentara kemari?" tanyanya. "Kan, ia yakin kau sudah pindah ke tempat lain."

"Bisa saja ia menyangka ibumu ada di rumah dan menyembunyikan aku. Jika ia didampingi banyak tentara, gampang baginya untuk menggertak kalian."

Tidak enak rasanya bicara sambil terhalang pintu, apalagi dengan orang yang bukan manusia seutuhnya. Namun, Pingyan belum berani membuka pintu dan melihat wajah si hantu. Siapa tahu wajah itu seram, tanpa bola mata atau rahangnya lepas.

"Kalau aku harus pergi, ke mana tujuanku?" katanya.

"Ikutlah aku ke tempat tubuhku dipenjara. Kau bisa menyatukannya lagi dengan rohku."

"Asal kau tahu, aku tak punya kemampuan ilmu gaib."

"Nanti, kuberi tahu caranya. Ibumu tidak ada, kau bisa lihat dan dengar aku, maka aku percayakan nasibku kepadamu. Hanya saja waktuku terbatas. Kalau rohku sudah keluar dari tubuh lebih dari tujuh hari, keduanya tak akan dapat menyatu lagi. Selamanya wujudku akan seperti ini."

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Pingyan dan Pangeran Bayangan-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya