Rahasia Salinem - BAB 1

Penulis : Brilliant Yotenega & Wisnu Suryaning Adji  

[1]

 

Solo, Februari 2013

 

Ini hari keempat. Empat saudara, harusnya lima, tapi salah satunya sudah mangkat. Dua perempuan, yang pertama ibunya, yang kedua istrinya. Dua anak laki-laki, keduanya anaknya. Dan, dirinya sendiri. Tyo memandang rombongan orang mengusung jenazah dalam peti. Kemudian, seperti bantaran Bengawan Solo dilanda banjir, pemakaman diluapi manusia. Seluruhnya mengantar satu perempuan yang terbaring dalam sebuah peti putih. Mbah Nem. Nama aslinya Salinem.

Tyo adalah cucu Salinem, anak dari Bambang Irawan— satu dari empat saudara itu. Perempuan menangis—yang sedang dirangkul Bambang Irawan, namanya Bulik Ning. Kakak-kakaknya menyebut dia Ragil. Nama aslinya Sasotya Uning. Tyo lebih suka memanggil dia Bulik Ning saja, dan Tyo sama seperti dia, ingin menangis juga. Tapi, menangis bukan kebiasaan dalam keluarga ini, meskipun ada orang mati.

Mbah Nem bilang, air mata itu mahal, harus disayang-sayang. Jadi, jangan menangis terlalu gampang. Ah, jarang-jarang Mbah Nem berkata sebijak itu. Sebijak-bijaknya, biasanya cuma: Wis menenga.[1]

Sebagus-bagusnya Mbah Nem dalam menangis, paling matanya saja yang basah. Itu pun bukan karena sedih, lebih karena gembira tapi tak bisa ngomongnya, macam waktu Tyo menikah. Mata Mbah Nem berkaca-kaca waktu selesai pemberkatan. Lalu, Bapak menggodanya dan Mbah Nem tertawa-tawa.

Buat Mbah Nem, hidup adalah perkara sederhana, bisa disimpulkan cuma dengan dua kata: Jalani saja. Tapi, saking sederhananya, malah jadi rumit, sampai kata-kata harus menyerah untuk menjelaskan apa itu hidup.

Pemandangan di sini masih bisalah sedikit digambarkan dengan kata-kata. Tyo melihat barisan pohon bambu melambai di balik ujung tembok pemakaman. Di balik tembok ada jalan kecil. Di samping jalan kecil, ada sawah luas. Di pemakaman lain, banyak pohon kamboja, di sini tidak. Langit biru. Awan putih. Burung terbang. Cuma ada beberapa pohon tinggi-tinggi dan alang-alang yang mengering. Semuanya kering, kecuali mata orang-orang yang sok jagoan menahan air mata, toh, tetap saja, nangis juga pada akhirnya.

Tyo tahu, kalau Mbah Nem masih bisa bicara, ia akan bilang:

Yen arep nangis, ya, nangisa, ning aja suwi-suwi. [2]

Sosok Mbah Nem juga tak terlalu sulit digambar pakai kata-kata. Cuma jarik batik, kebaya kembang-kembang, dan sandal teklek sederhana. Kalau ada acara keluarga atau undangan datang, yang berubah cuma Mbah Nem bakal pakai selendang. Selebihnya, sama saja. Jangan menilai orang cuma dari pakaiannya, ucap Mbah Nem dari dulu. Semua hal sederhana itu meringkus tubuhnya yang kurus. Namun, Tyo tahu, di balik tubuh kecil itu ada hal besar. Paling tidak, itulah yang dilihat orang-orang. Makanya, sampai ratusan yang datang.

Bapak yang paling suka menggoda Mbah Nem. Tubuh Mbah Nem yang mungil, enak sekali jadi sasaran keisengannya, dibopong dengan dua lengan lalu diguncang-guncang. Kalau sudah dibegitukan, Mbah Nem akan berteriak-teriak, minta diturunkan. mBang! mBang! Tapi, waktu tubuhnya diletakkan di kursi panjang, raut Mbah Nem tampak kesenangan. Jadi, tidak usah heran kalau akhirnya Bapak membuat keisengan jadi kebiasaan.

Mata Tyo nanar ketika peti pelan-pelan bergerak turun. Kali ini, tubuh Mbah Nem akan diletakkan di sana, dalam lubang, bersama peti putih yang akan jadi kereta terakhir yang mengantarnya ke surga. Bapak yang bilang sebelum berangkat ke pemakaman: Mbah Nem sudah bawa dua tiket ke surga. Kenapa dua? Ya, pokoknya dua saja, ucap Bapak sambil tertawa kecil. Tapi, percayalah, tawa bukan teknik yang terlalu manjur untuk menutupi kesedihan.

Jarik batik, kebaya kembang-kembang, dan sandal teklek sederhana. Kini, pakaian kesayangannya akan jadi teman di dalam sana. Pakaian terbaik yang ia punya adalah cerita-cerita yang ia bawa. Tersimpan. Rapi.

Bunga-bunga dan tanah merah mulai digugurkan, seperti gerak lambat. Pelan. Sedikit demi sedikit. Seperti, layar beludru beringsut waktu sebuah panggung ditutup. Empat Saudara. Dua Perempuan. Dua bocah. Dan, dirinya sendiri. Ah, bisakah ini dihentikan? Percuma. Waktu bukan hewan penurut. Begitu pun air mata. Tyo telanjur menangis.

Di bawah langit Kota Solo, tubuh itu sudah terbenam. Tapi, ceritanya terbit.

_

Lalu, angin bertiup dari arah persawahan, membawa aroma lumpur kering yang hidup. Tanaman padi nyaris panen sedang melambai, berlapis-lapis seperti bolu tanak yang kuning keemasan.

Dua ratus meter berjalan dari pemakaman adalah jarak rumah Bulik Ning—adik bungsu Bapak. Entahlah, apa alasan Bulik membangun rumah dekat kuburan, artinya dekat juga dengan kematian. Namun Tyo juga tidak bisa memastikan apakah Bulik Ning membangun rumahnya setelah atau sebelum tempat itu jadi komplek pemakaman. Mungkin, Bulik tak menduga bahwa waktu ia mulai membangun rumah ini, sesungguhnya sedang mendekatkan diri pada makam perempuan paling berarti dalam hidupnya.

Ada wangi aneh di tempat itu, menjadi santer saat ada orang yang sedang dikuburkan. Sekarang, telah bertambah satu lubang lagi. Siapa yang sangka bahwa Mbah Nem akan dikubur di sana juga?

Kematian menyatukan keluarga lebih jauh, melebihi kelahiran-kelahiran. Jasad Mbah Nem sudah tertidur tenang di bawah tanah dan malaikat akan membawanya ke langit.

Tyo melanjutkan senyum walau lemah, mengikuti langkah-langkah gontai ratusan saudara dan kerabat yang datang dari berbagai jurusan. Dari penjuru Pulau Jawa, Sumatera, atau pulau lain. Hadir juga sepupu-sepupu Bapak yang datang dari Amerika dan Australia. Ada yang ia ingat, namun banyak juga yang terlupa. Jarak dan waktu sangat piawai membuat lupa. Namun, dalam lintasan yang berbeda-beda, tanah ini menyatukan semua yang terpisah, berkumpul di rumah Bulik Ning yang dikelilingi desa berisi pohon-pohon. Rumah ini terasa sejuk.

Kematian punya laku seperti ragi bagi roti, bisa mengembangkan obrolan. Cerita-cerita yang sempat terputus kembali disambung-sambungkan, atau cerita lama yang mati kembali dihidup-hidupkan. Rumah Bulik Ning yang tak terlalu luas jadi penuh. Keluarga dan kerabat tertawa, mungkin untuk mengurangi kesedihan, dan sekarang mereka hendak makan siang.

“Kalau saja dulu Mbak Ratih tidak pindah ke Surabaya, pasti dia paham benar bagaimana cara membuat pecel ini,” bisik Bulik Ning sambil menyendok. “Segala wijen sudah aku masukkan, tapi selalu saja keliru. Harusnya bukan begini rasanya. Aku bahkan tidak tahu salahnya di mana.”

Bulik Ning bicara kepada dirinya sendiri sambil menggeleng berkali-kali, dan semuanya terdiam, mengetahui bahwa tidak ada faedah menjawab ucapannya. Bude Ratih sudah meninggal 25 tahun lalu, jauh sebelum Mbah Nem. Kematian juga terampil mengingatkan manusia pada kematian yang lain. Lalu, semua mata memandang ketika tiba-tiba terdengar suara Bulik terisak.

Bapak meletakkan sendok, lalu bangkit melangkah dan berdiri di sampingnya. “Ragil, sudah. Mbah Nem tidak mau melihat kamu terlalu bersedih,” ucapnya sambil merangkul bahunya. Harusnya, ucapan Bapak bisa menghentikan isakannya, tapi sejurus kemudian Bulik Ning malah memeluk Bapak erat-erat dan Tyo berpikir: Pecel bisa membuat orang menangis sekeras itu. Tyo terus mengunyah pecel sembari memandang Dewi—istrinya—sedang mencoba menahan Ezra berlari. Anak itu kelewat gembira bisa bertemu sepupu-sepupunya lagi.

Lima hari lalu, Tyo masih di Jakarta. Keluarga belum menyangka bahwa Mbah Nem akan mangkat. Mereka pikir kejadian ini bakal seperti sebelum-sebelumnya saja. Bulik Ning mengabari lewat telepon pada Bapak (dan saudara lain) bahwa Mbah Nem ingin anak-anaknya datang, kemudian Bapak menelepon Tyo dari Surabaya.

“Yo? Kamu di mana?”

“Sedang di mobil, Pak. Ada apa?”

“Begini .... ”

Sudah beberapa kali Mbah Nem mengumpulkan anak-anaknya di rumah Bulik Ning. Mbah Nem memang tinggal bersamanya. Dalam beberapa kesempatan itu, semua selalu berakhir baik-baik saja. Mereka pulang dengan lambaian tangan Mbah Nem yang berdiri di pelataran. Kerap, sebelum benar-benar keluar dari halaman rumah, Tyo menyempatkan menengok ke belakang lalu terlihat bagaimana Mbah Nem berjalan tertatih-tatih masuk rumah, dan Bulik tampak ngotot membantunya. Tentu saja, Mbah Nem segera menolak tawaran itu. Pun, ketika Bulik

Ning menyarankannya memakai kursi roda gara-gara mendengar kabar kalau nenek tetangga meninggal habis terpeleset.

Sih isa mlaku, kok, nganggo kursi roda [3],” Mbah Nem malah balik mengomeli Bulik yang cuma bisa merengut lalu misuh-misuh sendiri.

“Mbah sudah tidak muda lagi.”

Mbah Nem justru terkekeh mendengarnya, “Sejak kapan ada simbah-simbah masih muda, ta, Ning.”

“Mbah Nem harus jaga kesehatan.”

Numpak [4] kursi roda bisa bikin orang jadi sehat?”

Bulik Ning cuma bisa geleng-geleng, dan Bapak terbahak. Mbah Nem itu keras kepala, ujar Bapak, kalau sudah maunya, jangan coba-coba menghalangi, kecuali ingin pusing sendiri. Kejadian itu lebih setahun lalu, satu hari menjelang Natal 2011. Kondisi Mbah Nem sudah makin turun, tapi keras kepalanya tidak. Malah naik, Tyo rasa.

Mbah Nem jadi sering melakukan hal-hal yang dilakukan anak muda, macam pergi ke sawah di belakang rumah atau memasak, padahal usianya sudah 87. Bulik Ning yang jadinya khawatir. Kalau tak diawasi, Mbah Nem bisa tiba-tiba hilang, dan ketika Bulik Ning sudah ngos-ngosan ke sana kemari mencarinya, Mbah Nem muncul begitu saja, cuma bilang: Kamu terlalu khawatir, Ning. Sambil cengar-cengir. Bulik selalu laporan pada Bapak dan Bapak menyampaikannya pada Tyo. Sambil tertawa, begitu biasanya.

Tapi kali ini, Bapak tak tertawa ketika menelepon sore itu, “Yo, kamu luang besok? Mbah Nem ingin anak-anaknya datang. Kamu sempat menemani Bapak ke Solo?”

“Mbah Nem baik?”

“Tidak tahu, Yo. Bulik Ning cuma mengabari itu,” Bapak diam sebentar. “Kamu tahu-lah kondisi Mbah Nem seperti apa.”

Setiap kali Mbah Nem meminta anak-anaknya datang, Tyo selalu khawatir, dan kekhawatiran itu terus menebal sejalan dengan undangan baru yang datang. Lambaian tangan Mbah Nem tiap kali selesai kumpul di Solo bukan pertanda baik. Lambaian itu adalah gerak bandul jam yang berdetik untuk menghitung mundur sisa waktu.

Sudah dua tahun ini Mbah Nem sakit, kondisinya naik turun macam jungkat-jungkit. Bedanya, jungkat-jungkit yang ini bikin jantung berolahraga ekstra. Tyo mengangguk, lupa bahwa itu adalah sambungan telepon, dan Bapak takkan melihat anggukannya.

“Kamu bisa?” sambung Bapak lagi. “Bapak khawatir kalau kali ini .... ”

“Kita doakan yang terbaik saja, Pak.”

Terdengar suara embusan napas berat dari balik sana. “Kamu benar. Tapi, kamu bisa menemani Bapak?”

Tyo jadi sadar kalau belum menjawab pertanyaan itu. “Bisa, Pak. Malam ini Tyo akan pesan tiket.”

Tyo menarik napas. Pekerjaan sedang banyak, menumpuk. Bisnis daringnya yang berpusat Jakarta mulai berkembang dan terus naik daun. Internet adalah dunia lain yang baru, nyaris semua orang hari ini hidup di dalamnya. Dan, sebagaimana dunia nyata, orang-orang di dunia maya juga punya kebutuhan. Keputusan yang tepat diambil tahun 2010 dan tiga tahun kemudian mulai menunjukkan titik terang. Risikonya adalah waktu seperti menyusut, terasa selalu kurang. Namun, Tyo yakin saja ketika menjawab tadi.

“Anakmu bagaimana?”

“Besok Ezra masih sekolah. Tapi, bisa dimintakan izin, Pak,” jawab Tyo. “Ndak mungkin membiarkan Ezra di rumah sendirian sementara Kiel ikut ke Solo.”

Adiknya itu baru dua tahun.

“Baiklah,” Bapak menutup telepon.

Tyo membelokkan setir ke arah rumahnya sambil berpikir bagaimana mengatur pekerjaan-pekerjaan ini. Semoga, Andri— partner bisnisnya—bisa mengerti, dan anak buahnya bersedia membantu.

“Santai, Yo,” ucap Andri dari ujung telepon. “Urus saja apa yang perlu diurus di Solo. Pekerjaan yang bisa ditunda, kita tunda sampai elo pulang, sisanya gue yang urus. Semoga Mbah Nem baik-baik saja.”

“Makasih, ya, Ndri.”

Tyo kembali berpikir tentang rentetan pekerjaan yang belum beres, dan mempertimbangkan tentang cara untuk mengaturnya. Ia masih ragu apakah selama di Solo ia bisa tenang meninggalkan semua pekerjaan itu. Tidak boleh ada yang salah, tidak ada ruang untuk itu. Toh, empat hari lagi ia akan sejenak lupa pada pekerjaan karena pada hari itu Mbah Nem memang baik-baik, tapi ia benar-benar mangkat.

_

Angin kering mengundang kerisik dedaunan. Untunglah, tidak hujan. Hujan terus-menerus bisa bikin gagal panen. Wangi gabah mulai menyusup ke pedesaan. Dalam hitungan minggu, panen akan dirayakan. Lalu, wangi sekam terbakar menyebar. Apakah pemakaman juga perayaaan?

Tyo bersyukur hujan tidak turun. Pemakaman di waktu hujan bisa merepotkan, dan Mbah Nem seperti tahu saat yang tepat untuk pergi. Ia tak pernah mau merepotkan bahkan kalaupun anak-anaknya sudah bilang bahwa ia tidak merepotkan sama sekali. Tyo menggendong Ezra yang kepanasan, sementara Kiel tertidur di bahu Dewi.

Keluarga, kerabat, dan saudara masih berkumpul di rumah Bulik Ning sepulang dari pemakaman. Suasana sudah mulai santai. Pembicaraan tentang Mbah Nem perlahan-lahan berkurang, air mata mulai surut. Musim berganti, kadang terlalu cepat atau kelewat lambat. Namun, kisah hidup bisa abadi dalam kepala.

Tyo memandang Ezra dan Kiel satu per satu. Bisa jadi, mereka tak menyangka bahwa akan menyaksikan kematian. Yang mereka tahu tentang Solo adalah tempat liburan sekolah. Tyo kecil juga berpikir dengan cara itu sebelum akhirnya menyadari bahwa hidup bukan cuma perkara senang-senang. Ada juga sakit, dan lelahnya perjalanan. Ia tidak tahu apakah anaknya siap untuk menyaksikan adegan macam ini, walau cepat atau lambat mereka harus belajar. Bisa jadi, ini sejenis kelas akselerasi. Dewi masih sibuk dengan Ezra.

“Pecelnya nggak dimakan?”

Ezra menggeleng, “Nggak suka sayur.”

“Ini Eyang Ning yang buat,” Dewi mencoba meletakkan pecel di piring anaknya, anak itu menghindar. “Sedikit saja.”

Ezra tetap menggeleng, lari sambil membawa piring untuk bergabung dengan sepupu-sepupunya. Tyo mengawasi mereka. Tadi siang, Ezra menyusut di pemakaman, keras-keras berpegangan pada kaki Tyo, laiknya bersembunyi, mungkin takut. Sekarang, ia sudah bermain-main lagi. Betapa enaknya jadi anak-anak. Mereka mudah lupa atau, bisa jadi, mengingat dengan cara yang berbeda.

“Maaf, Bulik,” ucap Dewi. “Namanya anak-anak. Susah disuruh makan sayur.”

Bulik Ning menggeleng, “Ndak apa-apa, Wi. Bulik bukan sedang memikirkan itu.” Bulik mengembuskan napas, mirip mendesah, “Tiap kali bikin pecel, jadi inget Mbah Nem. Kamu tahu bukan, kalau Mbah Nem pernah dagang pecel?” Tyo menggeleng dan Bulik menegaskan, “Iya. Mbah Nem dulu jualan pecel. Waktu zaman susah.”

Tyo belum pernah dengar cerita itu. Benarlah, selalu ada kisah yang belum tersampaikan. Bukan karena ditutupi, melainkan manusia memang kerap khilaf pada hal-hal kecil, menganggapnya remeh. Kemudian, menyeruak seperti cahaya fajar di pagi buta, kisah-kisah kembali. Sering, cerita-cerita kehidupan justru hadir lagi ketika kematian datang.

Di atas meja makan, pecel tersisa dalam jumlah banyak. Menumpuk. Mungkin, kenang-kenangan untuk Mbah Nem. Tapi, Tyo kurang bisa paham kenapa Bulik harus membuatnya segini banyak. Bagaimana cara menghabiskannya? Tyo jadi merasa tidak enak dan mulai menyendok pecel berkali-kali ke atas piringnya. Toh, dengan jumlah segini, Tyo cuma berhasil membuat pecel itu tertawa, pecel mengajaknya bercanda, tidak berkurang sedikit juga. “Nanti, kita bagikan saja buat tetangga-tetangga,” ucap Tyo kemudian beralih pada istrinya. “Wi, coba minta kertas bungkus atau kotak di dapur.”

Dewi segera meluncur ke dapur belakang.

“Ndak usah terlalu khawatir. Itu bukan pecelnya Mbah Nem.

Pecel Mbah Nem ndak begitu,” ucap Bulik pada Tyo.

“Tapi, ini enak, kok, Bulik. Sayang kalau sampai terbuang.” “Tetap saja, itu bukan pecel Mbah Nem,” Bulik bersikeras sambil menggeleng. “Kamu belum pernah coba pecel buatan Mbah Nem.”

“Memangnya enak sekali?”

Bulik langsung berbalik dan tersenyum lebar, “Walah! Itu pecel paling enak sekota Solo. Langganannya datang dari mana-mana.” Bulik diam lagi terus berbisik, “Namun, itu dulu.”

Tyo agak bingung. Seenak-enaknya pecel; pecel, ya, pecel. Bisa ada pecel macam apa lagi?

“Ndak ada yang bisa buat lagi?”

“Mbah Nem sendiri hampir ndak pernah buat pecel lagi semenjak itu. Kalaupun buat, rasanya juga beda.”

“Kok, bisa?”

“Bulik juga ndak tahu,” jelasnya. “Mbah Nem ndak pernah bilang. Dia cuma ngomong kalau rumahnya beda.”

“Pindah rumah bikin rasa pecel jadi beda?”

Bulik Ning mengedikkan bahu, “Mungkin, Mbah Nem sedang bilang kalau niatnya membuat pecel sudah beda. Awalnya memang untuk dagang. Setelah itu, ya, cuma buat dimakan.”

Katanya, semua pekerjaan memang bergantung pada niat di baliknya. Tapi, menurut Tyo, kalau niat saja bisa mengubah rasa pecel, kok, ya, rasanya kurang masuk akal. Atau bisa? Bukannya memasak adalah tentang bahan dan takaran? Mungkin, seharusnya niat memang ikut ditakar.

Lalu, Bulik Ning menggumam, “Dalam pecel ini pasti ada rahasianya.”

Tiga hari lalu, Tyo baru sampai di Solo dari Jakarta. Mbah Nem baik-baik saja, paling tidak, Tyo pikir begitu. Setelah semalaman mengganggu Andri, dan anak buahnya untuk memastikan pekerjaan mereka, Tyo tiba dengan pesawat paling pagi. Untunglah, Andri, dan karyawan-karyawannya bisa memahami. Tyo bersyukur punya tim yang baik. Bapak sudah tiba lebih dulu, langsung dari Surabaya. Sekadar menaruh tas, Tyo langsung menuju dapur. Ia menemukan Bulik Ning, dan dua ibu-ibu tetangga. Sudah biasa, kalau keluarga Tyo berkumpul di sini, Bulik akan minta bantuan tetangga untuk masak, dan beberes. Tyo menyalami semuanya.

Dapur panas macam oven. Kompor gas menyala dengan wajan besar di atasnya. Tiap kali Ibu tetangga itu memasukkan sesuatu ke dalamnya, minyak mendesis galak, kemudian lahirlah semacam uap membumbung ke langit-langit. Di saat yang sama, harum berbagai macam rempah dan bumbu bercampur-campur.

“Mbah Nem di mana, Bulik?”

“Sedang tidur di kamarnya,” Bulik Ning menghela napas sambil tangannya tetap sibuk. “Sudah untung bisa tidur. Beberapa hari ini Mbah Nem rewel terus, ndak bisa tidur. Dibawa ke dokter, malah menolak.”

“Ndak dokternya saja yang disuruh kemari?”

“Sudah,” desah Bulik. “Malah diusir. Bulik sampai ndak enak. Tapi, kamu tahu-lah Mbah Nem seperti apa. Susah. Sudah sakit begitu masih saja merasa sehat.”

Tyo mengangguk-angguk, “Bapak di mana Bulik?” “Bapakmu sedang jalan-jalan ke sawah di belakang. Cari inspirasi, mungkin,” ia tersenyum. “Ditunggu saja. Sebentar lagi juga pulang. Omong-omong, Dewi di mana?”

“Masih beberes tas di kamar depan sambil nemani Ezra dan Kiel tidur. Gara-gara disuruh bangun kepagian.”

“Kamu sudah makan, Yo?” Bulik menunjuk, “Ini. Bulik sedang buat pecel.”

“Iya, Bulik,” jawab Tyo sambil mendekat dan berdiri di samping meja dapur. Matanya langsung tertumbuk pada deretan kaleng bekas biskuit, dan wafer, isinya bumbu pecel. Banyak. Terlalu banyak. Semuanya penuh. “Buat apa bikin segini banyak, Bulik?”

“Ini ndak banyak.”

Hah? Ndak banyak bagaimana?

“Ini rasanya beda-beda karena takarannya juga beda-beda,” lanjutnya.

Meski tidak mengerti, Tyo mengangguk-angguk saja, “Bulik, saya bantu Dewi dulu beres-beres, lalu jenguk Mbah Nem, baru kemari lagi.”

Bulik tersenyum, tangannya masih mengulek bumbu kacang di sebuah cobek besar. Tak jauh, ada kaleng berisi kacang tanah goreng yang menumpuk kecoklatan, di sisinya tergeletak tampah bambu yang dialasi kertas koran untuk meniriskan kacang tanah yang baru selesai digoreng, juga toples berisi wijen yang akan dicampurkan ke dalam bumbu kacang. Tiga hari lalu itu, Tyo masih berpikir: mungkin, Bulik berniat bikin pesta pecel. Tyo menggeleng. Niat manusia memang susah ditebak.

Lebih sulit lagi menebak masa depan. Toh, tanpa perlu ditebak, masa depan datang juga akhirnya. Dua hari sebelum meninggal, kondisi Mbah Nem jatuh hingga hilang kesadaran. Segera, ia dibawa ke rumah sakit.

Tapi, cuma semalam di sana, Mbah Nem sudah tidak kerasan. Siapa juga yang kerasan di rumah sakit? Ia bilang sambil menunjuk Bulik: Kamu juga ndak mau, ‘kan? Mbah Nem masih saja berseloroh. Kondisinya memang sudah stabil dan itu jadi modal buatnya untuk memaksa pulang, “Aku ndak mau mati di sini,” ucapnya.

Dokter cuma geleng-geleng, lalu mengangguk-angguk. Itu yang dilihat Tyo ketika melihat Bapak dan Bulik Ning berbicara dengannya. Mereka berdiri agak jauh dari muka kamar tempat Mbah Nem dirawat. Gelengan itu mungkin: Tidak ada harapan, sementara anggukan adalah: Memang lebih baik pulang. Tak lama, sebuah ambulan membawa Mbah Nem pulang bersama iringan dua perawat.

Sampai rumah, Mbah Nem protes lagi. Bunyinya begini: Kowe kabeh arep nggawe kamarku dadi rumah sakit, pa? [5] Waktu itu, Mbah Nem melihat kalau peralatan infus dan macam-macam tetap terpasang di tubuhnya. Kali ini, kekeras-kepalaan Mbah Nem harus menyerah.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Sebelumnya, Mbah Nem ndak separah ini,” keluh Bulik Ning esok pagi harinya menjelang siang. Tangannya membereskan piring-piring di atas meja makan, menutupnya dengan tudung saji. “Mbah Nem masih mau de ngar kata dokter. Penurut malah. Namun, akhir-akhir ini berubah. Makan saja sering tidak mau.

Tyo menengok ke arah kamar Mbah Nem yang tertutup, dokter yang memeriksa keadaannya baru saja pulang. Entah karena apa, cuma semalam selang infus itu dipasang, pagi ini sudah dicabut lagi. Apakah dokter menyerah?

“Yo, kamu mau membantu Mbah Nem makan?” ucapan Bulik memecah pikiran. “Kata dokter barusan, Mbah Nem sudah boleh makan. Kamu cucu kesayangannya. Siapa tahu, Mbah Nem mau nurut sama kamu.”

Tyo mengangguk sambil menerima mangkuk berisi bubur cair yang sudah dingin. Mungkin, Bulik sempat memaksa Mbah Nem makan, dan gagal lagi. Tyo berjalan ke depan pintu kamar diikuti Bulik yang kemudian membukanya pelan-pelan. Tyo pikir Mbah Nem tidur, tapi ternyata tidak. Mbah Nem sedang merapal doa-doa dalam bahasa Jawa. Tyo ragu untuk masuk, namun Bulik yang berdiri di sampingnya mendorong pinggangnya. Kenapa jadi macam anak-anak begini?

“Masuk saja.”

“Mbah Nem sedang berdoa, Bulik.”

“Kalau kamu ndak masuk, Mbah Nem ndak akan berhenti berdoa, Yo.”

Tyo masih mendengar bisik-bisik doa yang keluar dari mulut Mbah Nem. “Bener ndak apa-apa, Bulik?”

“Bener,” tegas Bulik ulang. “Sejak sakitnya parah, Mbah Nem terus mengulang-ulang doanya.”

Terdengar suara desis dari dalam. Awit dene Gusti Pangeran ingkang kagungan kraton saha wisesa tuwin kamulyan langgeng salaminipun [6]. Amin. Begitu terdengar “amin”, terasa tangan Bulik mendorong pinggangnya lagi, dan pintu terbuka. Tampak sosok kurus Mbah Nem berbaring di ranjang. Sepertinya ia akan melanjutkan berdoa namun kehadiran Tyo membuat Mbah Nem membuka matanya.

“Yo,” suaranya lirih tapi senyumnya mengembang. Tyo berjalan mendekat.

“Mbah, makan dulu.”

“Pasti Ning yang nyuruh kamu, ya?”

Tyo hendak menggeleng namun kalau menggeleng Mbah Nem akan tahu bahwa ia berdusta. Jadi, Tyo mengangguk saja, “Kata Bulik, Mbah Nem sudah boleh makan. Supaya cepat sehat.” Mbah Nem sepertinya malah tersenyum, seperti mengejek,

“Kalau sudah waktunya, ya, pasti datang waktunya, Yo.”

“Iya, Mbah. Tapi, Mbah makan dulu saja.”

Tyo merasa tidak boleh terpancing oleh ucapan Mbah Nem. Tyo meletakkan nampan di meja samping ranjang lalu menegakkan tubuh Mbah Nem sedikit dengan meletakkan bantal tambahan di belakang kepalanya, mencoba membuat Mbah Nem nyaman. Mbah Nem menurut saja. Tak sesulit itu, pikir Tyo.

Satu sendok bubur berpindah dari mangkuk ke dalam mulut Mbah Nem. Sepanjang itu, tiada percakapan yang terbangun karena sambil menelan bubur pelan-pelan (seperti tenggorokannya mampet), Mbah Nem melanjutkan rapal doanya. Sendok kedua dan ketiga berlanjut, di sendok keempat Mbah Nem terbatuk lalu menggeleng. Tyo ingin memaksanya namun rapal doa mengeras. Dhuh Rama kawula ingkang wonten swarga ...[7] dan Tyo mengurungkan niatnya. Pelan, ia bangkit, membiarkan nampan, dan mangkuk berisi bubur tetap di sana. Mbah Nem mengucapkan sesuatu sebelum Tyo benar-benar berbalik keluar dari kamar. Tyo mengangguk sambil meralat pikirannya: Memang sesulit itu.

“Bagaimana?” bisik Bulik yang ternyata menunggu Tyo di balik pintu.

“Mbah Nem cuma mau makan tiga sendok, Bulik.”

“Ya, sudah. Lumayan. Apalagi?”

“Mbah Nem minta dibawakan radio, Bulik.”

Bulik mendesah, “Pasti mau dengar Berita Lelayu.”

“Apa itu?”

“Berita duka cita di RRI. Acara itu sudah tidak ada."

Hati Tyo langsung berdesir. Apakah orang mati akan meninggalkan pertanda sebelumnya? Apakah Mbah Nem sedang meninggalkan tanda-tanda? Tyo mencoba berdoa, tapi kalau tanda-tandanya kelewat jelas, siapa juga yang tidak jadi jeri?

“Bulik jadi khawatir, jangan-jangan .... ”

“Kita doakan yang terbaik saja, Bulik,” ucap Tyo.

Memang cuma hal terbaik yang bisa terjadi karena apa pun harapan manusia jika tidak digariskan untuk terjadi, maka tidak akan terjadi, sembari hal yang tidak diharapkan bisa saja tetap terjadi.

Sesaat sebelum Mbah Nem mangkat, kira-kira sore harinya, mungkin jam tiga lewat atau empat, Tyo melihat matahari sudah tak terlalu garang lagi, dan pohon di luar mulai berwarna semu keemasan. Bulik baru saja memaksa Mbah Nem makan. Mbah Nem sudah tak mau dipaksa lagi. Bulik memanggil saudara-saudaranya, termasuk Bapak, untuk masuk ke kamar Mbah Nem.

Lalu, satu demi satu, saudara, dan kerabat dekat berkumpul. Mulai dari anak-anaknya, lalu cucu-cucunya. Kamar yang tak seberapa luas itu jadi penuh. Ramai. Wajah Mbah Nem semringah. Mbah Nem mulai memanggil Pakde Satya, lalu Bapak, lalu Paklik Wid, terakhir Bulik Ning. Mbah Nem bicara kepada mereka berempat, lebih seperti cerita-cerita.

“Tyo mana?” suara Mbah Nem terdengar.

Tyo maju ke pinggir ranjang, memijit pelan tungkai Mbah Nem yang seiring waktu rasanya terus mengecil, lebih serupa dengan membelai. Mbah Nem tersenyum sambil memicing seperti memastikan wajah Tyo.

“Dulu kamu sering tak suruh cari kelapa ya, Yo,” lirih suara Mbah Nem terdengar. “Sekarang sudah pintar cari uang. Jangan lupa untuk selalu bantu orang lain, ya, Cucuku.

Tyo mengangguk, menahan genangan air di matanya. “Buyutku mana, Yo?”

“Ini, Mbah,” Tyo berdeham untuk mengusir air yang mengganjal tenggorokannya. Ezra tampak ragu mendekat, malah menggelayut di kaki Tyo yang segera merangkul pundaknya. Tyo tahu, kejadian ini akan sulit untuk bisa dimengerti oleh anak yang baru memulai hidup. Mata Mbah Nem bergantian memandang dua buyutnya itu. Ezra jadi gelisah, dan Kiel yang berada dalam gendongan Dewi cuma diam lalu langsung memeluk kepala Dewi.

Mbah Nem tersenyum dan senyumnya makin lemah.

Tyo berdeham lagi lalu berbisik pada istrinya: Bawa anak-anak keluar saja, atau berdiri dekat pintu. Dewi mengangguk, kemudian menarik tangan Ezra sambil terus menggendong anak bungsunya. Mbah Nem terus tersenyum lalu meneruskan mengabsen semua orang. Satu per satu disebutkan namanya lengkap dengan cerita-cerita yang sering baru kali pertama didengar orang-orang.

Kamu pernah kecemplung got di depan rumah Bulik, ucap Mbah Nem pada salah satu sepupu. Tyo ingat peristiwa itu, dan tak bisa menahan cengiran di bibirnya. Kamu pernah kencing di celana pas naik dokar, ucapnya pada sepupu lain. Tyo nyaris terkikik. Kamu pernah cinta monyet sama anak pemilik warung sebelah. Kamu pernah nangis cuma karena gagal ranking satu. Kamu pernah juara lomba tujuh belasan, dapat hadiah buku tulis. Kamu pernah ... kamu pernah ... kamu pernah ... Entah berapa kali Tyo mendengar dua kata itu.

Lewat cerita-cerita, masa lalu dilipat-lipat. Sejarah diulang. Semacam kendaraan, ingatan Mbah Nem bergerak, memelesat menembus alur waktu. Keluarga ini adalah buku besar yang sedang dibaca ulang olehnya. Ensiklopedia peristiwa dalam kepalanya masih baik merekam kejadian-kejadian, tak berkurang gara-gara kondisi tubuhnya.

Mbah Nem memang punya modal untuk jadi keras kepala. Kenangan dipatri di dalam kepalanya seakan kalau Mbah Nem bisa hidup lebih lama, kenangan akan abadi sepanjang usianya. Orang-orang tertawa, menjadi bukti bahwa tawa bisa bercampur air mata. Sesaat, mereka terlupa bahwa detik ini seharusnya mereka menangis karena Mbah Nem sudah hendak pergi, sampai ....

“Kartinah. Soeratmi. Wis padha teka.[8]” Ia tersenyum pada sesuatu yang tidak dilihat orang-orang. Semua diam. Lalu Mbah Nem beralih pada Bulik. “Gawekna [9] aku pecel, Ning,” bisiknya.

Bulik langsung memelesat keluar, bumbu pecel sudah banyak di sana. Sayang, ketika Bulik Ning kembali ke kamar dan Mbah Nem sudah melihat piring pecel itu ....

Mbah Nem berbisik, “Tugasku wis rampung. Kapundhuta kawula mawon, Gusti. Sing padha deneakur [10].”

Suasana makin sepi, namun suara-suara napas terdengar. Yang paling keras adalah suara napas Mbah Nem sendiri. Bulik Ning melonjak, namun Bapak menahan, membuatnya tetap tenang. Bulik bergerak mendekat perlahan. Sebelah tangan Bulik menggenggam tangan Mbah Nem, dan Bapak merangkul pundak Bulik Ning. Lamat, ada isak terdengar, entah punya siapa. Napas-napas makin memburu. Detik ini, rasanya semua detak jantung bisa terdeteksi, bergerak makin cepat. Dan, cuma ada satu detak yang melambat. Terus melambat. Terlalu lambat.

Lalu ... hilang.

Genggaman tangan itu melemah, kemudian lepas. Mbah Nem pergi. Ia sudah menyelesaikan ceritanya. Tyo tak lagi menahan genangan air di matanya. Sudah jatuh begitu saja. Lalu, piring pecel di tangan Bulik Ning berderai ke lantai. Mbah Nem tak sempat menyentuhnya.

Wangi pandan, melati, dan mawar masih berkelindan di dalam rumah. Tikar-tikar yang digelar sudah tergulung, menumpuk di pojokan. Entah siapa yang sebenarnya pergi, ia yang mati atau mereka yang hidup. Satu per satu orang-orang mulai pergi dari rumah Bulik Ning, kembali ke rumah masing-masing, sisanya keluarga dan tetangga yang dekat-dekat saja. Pecel Bulik Ning yang tadi siang menumpuk sudah sisa sedikit karena orang-orang membawanya pulang sebagai bungkusan-bungkusan, lengkap dengan bingkisan lain semacam kopi, biskuit, dan gula.

Suara jangkrik bercampur dengan suara Bapak menyeruput kopi yang cuma sekali-sekali. Jalan ke arah pemakaman Mbah Nem gelap, Bapak meluruskan pandangannya ke sana. Tetangga-tetangga mulai berpamitan. Dua ekor kunang-kunang terbang, lalu lesap ditelan kegelapan.

Kula pamit rumiyin, nggih [11],” seseorang berkata, disusul orang-orang lain.

Nggih, matur nuwun sanget [12],” balas Bapak sambil berdiri, menyalami mereka satu-satu.

Orang-orang terus pergi. Ini memang siklus. Sekarang yang sisa cuma keluarga inti. Wangi rokok klembak terbawa angin entah dari mana, tercium di pelataran, jelas bukan dari rumah ini. Yang merokok hanya Pakde Satya, rokok modern yang tak mengeluarkan bau macam itu. Mungkin itu wangi asap dari rumah-rumah tetangga. Bapak duduk di pelataran, mungkin mengingat masa kecilnya di Solo.

Bapak dan saudara-saudaranya tidak besar di rumah ini, tapi rumah lain yang sampai saat ini tak pernah Tyo lihat. Kapan-kapan, Tyo ingin melihatnya. Cerita-cerita Mbah Nem sebelum mangkat memperjelas kenyataan bahwa apa yang ia ketahui tentang keluarga ini (apalagi tentang Mbah Nem) ternyata belum semuanya, membuatnya menduga kalau jangan-jangan banyak cerita yang hilang bersama kematiannya.

“Bapak sedang apa?” Tyo berusaha memecah sunyi malam lalu ikut duduk di teras, di sampingnya.

Bapak tidak menengok, cuma menjawab, “Tidak sedang apa-apa, Yo.”

“Memikirkan Mbah Nem?”

Bapak tak menjawab, lebih seperti bicara sendiri, “Orang baik itu temannya banyak, ya?” Bapak tersenyum sedikit sambil memandang entah apa, mungkin pohon jeruk purut di pelataran. “Bapak ingin melukis wajah Mbah Nem. “

Tyo diam. Pohon jeruk purut itu hidup, tak pernah berhenti berbuah, dan Mbah Nem yang menanamnya. Tetangga-tetangga kerap memintanya, jadi bumbu masak, atau obat, bahkan dibuat alat mandi atau keramas. Tyo jadi ikut menerawang. Mbah Nem itu seperti pohon tua di pelataran yang dirawat-rawat karena daun rimbunnya. Sekarang, seluruh daunnya gugur, dan pohon itu mati, lalu muncul pertanyaan: apakah rumah akan berkurang teduh? Semoga tidak.

“Mbah Nem itu pengikat keluarga kita,” desis Bapak lagi. “Kalau ndak ada Mbah Nem, keluarga kita sudah tercerai-berai.”

Tyo mencoba memikirkan ucapan Bapak, namun sebelum ia sempat menyimpulkan, suara deham terdengar dari arah pintu. Paklik Wid sudah berdiri di ambang.

“Mas, sudah siap?”

Bapak menengok, mengangguk. Mereka berdua masuk. Tyo diam sebentar lalu mengikuti langkah mereka. Di meja bulat di tengah ruang, Bulik Ning dan Pakde Satya sudah duduk. Di meja bulat lain, tak jauh dari sana, salah satu sepupu duduk, bermain telepon genggam. Tyo duduk di hadapannya. Sebelum mereka berempat berbicara, Bapak berbisik pada Ibu. Ibu mengangguk lalu masuk ke ruang dalam. Tak lama sepupu-sepupu lain bermunculan satu per satu, duduk di meja bulat bersama Tyo, beberapa di meja lain. Tidak ada yang bicara, dan saudara sesepupuan itu cuma saling memandang bingung.

Ruang ini cukup besar, tiga meja bulat terletak di sana, meski tidak dekat, namun tidak jauh juga. Di tengah ruang, empat buah tiang berdiri, dan di antara tiang itulah terdapat meja yang dikelilingi Bapak dan saudara-saudaranya.

Lalu Ibu berbisik kepada semuanya, “Dengarkan saja.” Malam di desa bisa memperkeras suara sehingga walau

mereka berempat seperti berbisik, tetap bisa terdengar. Barulah Tyo menyadari kalau ada yang janggal, sepupunya berhenti mengotak-atik telepon genggam, kemudian bermain mata dengan Tyo seperti bertanya ada apa. Tyo mengedikkan bahu karena ia sendiri juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kalau ini terjadi di masa kecil, mereka sudah diusir dari tadi-tadi, tak boleh mendengar pembicaraan orang-orang tua. Kali ini, mereka memang diundang untuk menguping.

“Solusinya apa ini?” tanya Paklik. “Kalau kita biarkan, anak-cucu kita tidak akan tahu keberadaannya. Namanya harus tertulis.”

“Tapi, tidak mungkin menulisnya di sana.”

Tyo membatin: Mereka sedang membicarakan apa? Di sana di mana? Matanya melirik ketika mereka menggelar selembar kertas mirip karton yang ukurannya bisa menghabiskan muka meja, cangkir kopi dan piring camilan menyerah, pindah ke lantai.

“Pohon silsilah ini isinya trah keluarga sedarah. Kita tidak bisa asal memasukkan nama orang. Ada prosedurnya,” lanjut Bulik dengan suara pelan seperti mengandung penyesalan. “Kita masih bisa menjelaskannya ke anak-anak kita. Tapi, bagaimana dengan cucu kita? Cicit? Buyut? Canggah? Kalau tidak ada catatan pasti hilang.”

“Apakah benar namanya harus ditulis?”

“Lalu, bagaimana? Kita biarkan namanya hilang? Bagaimana kita memastikan bahwa cerita ini terus disampaikan?”

Mereka berempat diam, dan ketegangan seperti masuk ke dalam ruangan.

“Sekarang, kita sepakat dulu,” potong Bapak. “Dicatat atau tidak dicatat?”

“Dicatat,” sambar Bulik Ning seperti tanpa berpikir (mirip dengan takut ada orang lain yang memotong lebih dulu), dan tiga saudaranya menengok. Tak lama, terdengar tiga balasan lain yang bernada serupa: dicatat.

“Baiklah. Kita sepakat untuk mencatat namanya,” simpul Bapak. “Pertanyaan selanjutnya: Kita catat di mana?”

Mereka diam lagi sampai Tyo merasa mereka sedang bertapa, ia kembali mencium aroma klembak dari pelataran. Desah napas seperti bisa terdengar, begitu pun jangkrik.

“Apakah mungkin kita buat catatan lain? Semacam catatan kaki yang kita buat untuk keluarga kita sendiri. Namanya kita tulis di sana,” usul Paklik Wid.

“Sebagai apa?” tanya balik Bapak kepadanya. “Aku ndak mau nyebut. Tapi, keluarga besar lain mungkin menganggap beliau tak lebih dari .... ”

Sepi terjadi secara agak lama hingga Paklik Wid berbisik penuh keraguan sampai lebih mirip bertanya, “Pembantu?”

Tyo terkesiap, dan empat bersaudara itu diam lagi. Satu kata yang diucap Paklik Wid seperti menerbitkan perasaan bersalah mereka.

“Begini saja,” tengah Bapak. “Aku setuju dengan ide itu. Kita buat catatan tambahan untuk kita tuliskan namanya. Tentang posisinya akan disebut sebagai apa, mungkin, perlu kita pikirkan dulu. Kita berkumpul lagi bulan depan. Bagaimana?”

“Sepertinya itu memang jalan terbaik,” Pakde Satya membalas. “Yang penting, sekarang kita sudah sepakat bahwa ada jalan tengah untuk membuat anak-cucu kita paham tentang keluarga ini.”

Tiba-tiba Bulik Ning mengisak lagi, “Namanya harus tertulis.”

“Sudah, Gil,” suara Bapak menekan. “Kamu tidak usah khawatir.”

“Iya, Mas,” Bulik Ning masih menunjukkan wajah khawatir. Mereka bangkit lalu berpelukan. Bulik Ning selalu dipeluk Bapak lebih lama. Kemudian, Bapak memandang ke arah Tyo dan, semua sepupunya berkumpul, mewakili semua saudaranya berbicara, “Kalian sudah sempat mendengar pembicaraan kami. Pasti kalian bingung. Supaya jelas, orang tua kalian sendiri yang akan menceritakannya.” Bapak menengok pada saudara-saudaranya yang diikuti anggukan.

Sepupu-sepupu Tyo balas mengangguk, entah karena mengerti atau karena tidak tahu harus bertanya apa. Diam sesaat. Janggal. Lalu, pembicaraan bubar dengan banyak pertanyaan menggantung di benak Tyo.

“Pak, sebenarnya ada apa?”

Bapak malah menyerahkan kertas pohon silsilah yang tadi digelar di meja. “Duduk,” ajak Bapak sambil melangkah ke meja dekat pintu keluar.

Tyo duduk, dan menggelar kertas itu di hadapannya. Ada banyak nama, mungkin ratusan, tertulis di sana. Pohon ini panjang, berisi belasan atau puluh lapisan. Ia mulai mencari. Awalnya namanya sendiri. Nama Dewi ada di sampingnya. Tyo menemukannya di bagian bawah kertas. Nama Ezra masih muncul sendirian. Kiel belum ditulis di sana. Lanjut, ia membaca naik ke atas sedikit, muncul nama Bapak, dan Ibu. Ia naik lagi. Diam sebentar lalu membaca turun lagi. Ada yang salah. Lalu ia membaca ke atas lagi. Menyelidiki ke samping. Bukan nama yang ia cari. Salinem. Salinem. Salinem.

“Nama Mbah Nem mana, Pak?”

Bapak diam sesaat dan ucapannya menegaskan bahwa bisa jadi Tyo tak sekenal itu pada Mbah Nem. Lagi-lagi, Tyo tidak tahu harus merespons apa, bahkan ia tidak tahu apa yang bisa ia pikirkan tentang ucapan Bapak yang kemudian ia dengar.

“Mbah Nem memang bukan nenek kandungmu, Yo.”

_

 

1 Sudah diam saja.

2 Kalau mau nangis, ya, nangis saja, tapi jangan lama-lama

3 Masih bisa jalan, kok pakai kursi roda.

4 Menggunakan

5 Kalian semua ingin menjadikan kamarku rumah sakit?

6 Karena Tuhanlah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.

7 Bapa kami yang ada di sorga ...

8 Sudah datang

9 Buatkan

10 Tugasku sudah selesai. Ambillah hamba, Tuhan. Yang rukunlah kalian.

11 Saya pamit dulu, ya

12 Ya, terima kasih banyak

Baca Juga: Rahasia Salinem - PROLOG

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya