[NOVEL] Save Our Story-BAB 3

Penulis: Pradnya Paramitha

Raisa (Bukan Adriana)

 

"Iyuuuh! Lo nggak mandi ya, Sis?"

Ayas mengabaikan pekikan berlebihan Harris. Sahabat sekaligus rekan kerjanya di kantor itu berdiri sambil menutup hidungnya dengan jari, memasang tampang jijik. Dengan langkah terseok-seok, Ayas menuju kubikelnya sendiri yang superberantakan. Harris mengekorinya dengan berisik, merapal nasihat bahwa sebagai perempuan dia harusnya bisa sedikit lebih memperhatikan penampilan.

"Nanti Nara bisa kabur kalau lo terus-terusan serampangan begini, darling."

"Nara bahkan nggak peduli gue nggak mandi tiga hari," sanggah Ayas, sambil mengikat rambutnya yang lepek.

Ayas tahu penampilannya hari ini jauh dari sempurna. Bajunya masih baju yang dia pakai kemarin. "Nggak sempet mandi gue, Ris. Belum pulang ke rumah dari kemarin."

"Nginep di rumah sakit?" tanya Harris. "Gimana keadaan si abang?"

Harris dengan kenes duduk di meja kubikel sendiri yang serba pink dan ungu. Ayas selalu merasa sedih saat memanggil nama Harris, dan menemui sosok sahabatnya itu sangat kontradiktif. Dalam bayangannya, dia melihat DJ Calvin Harris yang superganteng dan macho. Sayangnya pria yang kini duduk di dekatnya itu justru hobi memakai baju dengan warna-warna ngejreng dan mau tak mau membuat bayangan Calvin Harris rusak dengan sendirinya.

Seperti hari ini, Harris memakai celana ungu terong dan kemeja putih. Harris tidak jelek, ganteng banget malah. Tubuhnya tinggi tegap atletis, dan wajah mulus cerah yang bebas jerawat hasil berbagai perawatan skincare. Selera berpakaiannya juga superkeren dan maskulin. Namun, kesan itu akan berubah segera setelah pria itu membuka mulut. Gaya berbicaranya bahkan lebih cantik daripada Ayas.

"Udah mendingan. Nyokapnya datang dari Jogja pagi ini."

Harris berdecak. "Kayaknya lo juga nggak tidur semalaman," katanya lagi setelah mengamati penampilan Ayas dengan ekspresi prihatin.

"Paula udah datang?"

"Belum. Doi datang siangan, kata Ayu ada meeting di luar. Jadi lo punya kesempatan tidur sekitar satu jam."

"Ah." Ayas berdecak kecewa. Tahu begitu dia tidak buru-buru hari ini. "Bikinin kopi dong, Ris? Gue mau mandi sebentar."

"Emangnya eij OB apa?!"

"Please, Ris ... please? Kopi bikinan Andrew nggak seenak bikinan elo. Nyawa gue udah di ujung tanduk nih ...."

Ayas memasang tampang memelas, lengkap dengan puppy eyes yang dibenci Nara itu. Kata Nara, dia bisa mendapatkan apa pun yang dia mau dengan puppy eyes-nya yang menyebalkan itu. Apa saja. Kecuali lamaran Nara, tentu saja.

Harris memaki kecil, tapi beranjak juga dia ke pantry. Sementara itu, Ayas menuju toilet untuk mandi. Setidaknya dia bisa mengurangi bau badannya dengan menambahkan aroma sabun dan sedikit deodoran. Beruntung kantor tempatnya bekerja terletak di sebuah rumah yang lumayan homey di daerah Tebet barat. Tersedia toilet layak pakai dan pantry yang serbaada di sana. Rasanya seperti di rumah sendiri saja.

Ayas bekerja sebagai content editor sebuah agensi iklan yang baru berdiri tiga tahun. Dia sendiri baru bergabung dua tahun terakhir. Sebelumnya, dia pernah bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan multinasional. Namun, kemudian dia menyadari bahwa kantor berbentuk kotak dengan warna silver dan puluhan lantai, serta baju rapi lengkap dengan pantofel dan Starbucks setiap pagi bukan gayanya.

Mengabaikan pertanyaan teman-temannya, Ayas memutuskan untuk pindah ke agensi yang terhitung baru kemarin sore ini, di mana dua sahabatnya sejak kuliah, Harris dan Jessica sudah lebih dulu di sana sebagai Account Manager. Meskipun bekerja di agensi terkadang membuatnya sesak napas karena deadline dan klien yang menyebalkan, Ayas merasa sudah menemukan jalurnya.

Mandi dan tidur nyenyak selama satu jam tidak memperbaiki mood-nya. Ayas tetap uring-uringan seharian ini. Jessica yang mondar-mandir di depan kubikelnya dengan rambut ombre oranye yang mencolok mata sudah kena getahnya.

"Lewat sekali lagi gue gunting rambut oranye lo!" ancam Ayas. Yang diancam hanya tertawa-tawa, dan menyebutnya sedang PMS.

Saat Ayas mulai memarahi Andrew, OB yang lupa menghilangkan kerupuk dari gado-gado yang jadi menu makan siangnya, sampai membawa-bawa masalah nama segala, Harris langsung menyeretnya kembali ke kubikel. Menyusul kemudian Jessica dengan tatapan sengitnya. Berjejalan di kubikel sempit, pria macho serba ungu, gadis berambut oranye, dan satu lagi gadis berwajah abu-abu saking keruhnya.

"Dia ngeselin, tahu!" Ayas membela diri. "Masa namanya Andrew! Gue yakin nama aslinya bukan itu. Dasar nggak nasionalis!"

"Heh!" Harris menoyor dahinya keras-keras. "Apa hak lo ngurusin nama orang, hah? Mau Andrew, Billy, Jacob, Bambang, atau Joko itu urusan dia dan orang tuanya lah! Lo tuh annoying banget tahu nggak hari ini?"

Ayas mendengus sebal.

"Kalau ada masalah di luar, jangan dibawa ke kantor dong!" tambah Jessica sengaja mengompori.

Ayas semakin cemberut.

"Cerita-cerita lah, darling." Harris mulai menurunkan intonasi suaranya. "Ada apa? Problematika besar apa yang bikin lo uring-uringan seharian gini?"

Ayas menghela napas panjang, sambil menyibakkan poni sampingnya yang mulai menghalangi pandangan. Barangkali dia memang harus berbicara dengan seseorang untuk mengurangi kegelisahannya. Rasanya dia tak sanggup memendam kegelisahan ini seorang diri. Lagi pula, dia sudah mengenal Harris dan Jessica nyaris seumur hidup. Siapa tahu juga mereka punya clue tentang siapa Raisa ini.

"Raisa?" Harris mengerutkan dahi, saat Ayas menanyakan soal nama itu. "Keponakan gue namanya Raisa," jawabnya. "Umurnya empat tahun."

"Klien yang gue urus namanya Raisa." Jessica menambahkan. "Kayaknya akhir-akhir ini nama Raisa emang lagi happening. Apalagi habis dia nikah sama babang Hamish."

Ayas berdecak. Ternyata sesi curhat ini tidak banyak membantu. Namun, setidaknya hatinya sedikit lebih baik.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Emangnya kenapa, Yas?" tanya Jessica lagi. "Siapa Raisa yang lo maksud ini?"

Ayas menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan kondisi Nara. Dengan suhu badan di atas 39, dan dalam kondisi setengah sadar, Nara nyaris sepanjang malam memanggil-manggil nama Raisa. Nadanya yang menyiratkan takut kehilangan jelas menunjukkan bahwa siapapun Raisa ini, pasti memiliki hubungan khusus dengan Nara. Namun siapa Raisa?

"Lo udah tanya Nara?" tanya Harris setelah dia menyelesaikan ceritanya.

Ayas menatap sahabatnya dengan mata menyipit. "Menurut lo aja gue tanya Nara!"

"Lho, kenapa? Kan biar jelas. Hah! Kenapa sih cewek itu selalu suka berasumsi sendiri daripada tanya langsung ke pasangannya? Kalian menarik kesimpulan sendiri, lalu merasa paling benar. Apa coba susahnya tanya?"

"Menurut lo, Nara bakalan jawab jujur kalau dia tanya langsung?" Kali ini Jessica bertanya kepada Harris. "Menurut lo, laki-laki akan menjawab dengan jujur kalau disodori pertanyaan semacam itu?"

"Ya!"

"Well said by the man who doesn't know anything about men." Jessica menyipitkan mata dengan ekspresi super bengis, sampai Ayas ngeri melihatnya. "Lo lebih paham soal perempuan daripada laki."

"Excuse me, gue laki-laki loh! Lupa?"

"Ok, lo laki-laki. Well, fine. Gue nggak pernah mempermasalahkan orientasi seksual lo ya. Tapi, sebagai sahabat, seharusnya lo cari laki-laki lain untuk didekati!"

Sebelum Harris sempat menjawab, dengan wajah kesal, Jessica meninggalkan kubikel cokelat kayu Ayas. Meninggalkan Harris yang juga memasang wajah kesal. Di antara mereka, Ayas hanya melongo tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba pembicaraan ini melebar tak jelas? Apa hubungannya antara Raisa dengan orientasi seksual Harris? Dan kenapa Harris dan Jessica malah sibuk berantem sendiri?

"What the hell is going on with her?" tanya Ayas tak habis pikir. "Nggak biasanya dia mempermasalahkan orientasi seksual orang lain."

Perdebatan mengenai gender memang sudah sering dilakukan dua sahabatnya ini. Segala jenis perdebatan dimungkinkan jika Jessica dan Harris bersama. Ayas tidak tahu mengapa dua orang itu bisa selalu berada di kubu yang bertentangan, tapi bisa bersahabat dengan sangat baiknya.

"Entahlah," decak Harris mengedikkan bahu. "Dia udah ngeselin sejak lihat gue jalan sama Adrian."

"Elo?" Ayas membelalakkan mata. "Jalan sama Adrian?"

"Tadi pagi gojek yang nganter gue pecah bannya. Terus kebetulan si Adrian lewat, nebeng deh gue. Begitu doang, si lampir itu bilang gue jalan sama Adrian. Hih!" Harris mendengus kesal.

"Lo ngerebut Adrian dari Jessica?"

"Ya elah. Gue cuma datang bareng ke kantor, terus semua orang nyangkain gue ngerebut tuh cowok dari Jessica. Lagian, mereka juga belum jadian!"

Ayas menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi apa pun masalah kalian, bisa kan perdebatannya ditunda dulu? Gue lagi gawat darurat nih!"

Dari balik bulu matanya yang terlalu lentik, Harris memandangnya dengan mata menyipit. "Apa Nara kelihatan aneh akhir-akhir ini? Semacam hal-hal yang nggak biasa, gitu?"

Ayas berusaha mengingat-ingat. "Kayaknya sih nggak."

"Say, pendapat gue tetap sama sih. Daripada lo diem di sini, menebak-nebak sendiri, mikir yang macam-macam, mending lo langsung tanyain ke Nara."

Ayas mengerutkan dahi. "Menurut lo, dia akan jawab jujur?"

"Belum tentu. Tapi nggak ada salahnya mencoba."

"Atau gue cari tahu sendiri aja?"

"Ya, itu juga bisa. Kalau lo mau repot," jawab Harris sambil menyalakan laptopnya. "Ha! Ini lucu!" pekiknya Harris girang, seolah berhasil menemukan sebuah teori fisika. "Setelah lima tahun, baru kali ini lo uring-uringan cemburu sama Nara."

Ayas tidak menjawab. Setengah melamun dia menatap layar laptopnya yang menampilkan desktop. Harris benar. Selama lima tahun menjadi pacar Nara, baru kali ini Ayas mengalami cemburu yang membuatnya begitu uring-uringan sebegitu parahnya. Sebagai fotografer, hidup Nara dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik yang silih berganti menghuni lensa kameranya. Namun, model-model seksi yang benar-benar hadir dan berwujud di hadapan Nara ini tak sekali pun membuat hati Ayas terusik. Sementara si Raisa, yang hanya muncul namanya ternyata mampu membuat Ayas uring-uringan parah.

Ayas menghela napas. Lalu bangkit dan melongok dari atas dinding kubikelnya. Harris sudah duduk di kursi kebesarannya.

"Ris, sekadar saran, meski kita belum tahu orientasi si Adrian ini, jangan jalan sama gebetan sahabat lo, ya."

"Oh, Jesus Christ! Gue nggak jalan sama Adrian!"

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Save Our Story-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya