[NOVEL] Until We Meet Again-BAB 2

Penulis: Flara Deviana

HEIDI KEMBALI ke hadapan Olla selang beberapa menit, menyodorkan tiket nonton gratis, lalu menariknya tanpa basa-basi. Sama sekali tidak memberi kesempatan Olla menolak atau mengomel, menggandengnya erat-erat, dan baru dilepaskan saat mereka sudah di area bioskop.

Olla tidak punya masalah dengan bioskop. Dia menyukai film, sama besar dengan menulis dan membaca. Menonton bersama Heidi, yang tergolong manusia menyebalkan, juga bukan masalah. Dia masih sanggup mendengarkan ocehan Heidi, meski itu seputar naskah dan move on.

Namun ... Olla mengembuskan napas lambat-lambat, melirik dua lelaki dan tiga perempuan di sisi kanannya, teman-teman Heidi, sahabat, apa pun sebutannya. Mengobrol dan tertawa heboh, sesekali saling rangkul, sesekali melayangkan tatapan dan senyum akrab kepadanya. Bahkan, satu dari dua perempuan itu berdiri di sampingnya, berusaha menarik Olla masuk ke obrolan, seakan ini bukan pertemuan mereka.

Orang asing yang berisik. Dua masalah jadi satu.

Ketika dia melirik Heidi untuk mengeluarkannya dari kegaduhan, terdengar pemberitahuan pintu studio dibuka, dan orang-orang itu mendatangi counter popcorn seperti kawanan ayam menyambut makanan. Olla menggeleng kecil, makin tidak mengerti kenapa dia masih berada di sini.

"Nggak ada unsur kesengajaan, La." Terdengar bisikan, diikuti tarikan pelan ujung blanket scraf Olla.

Olla menarik kasar kain bermotif plaid itu, mengumpulkan semua ujung ke depan dadanya. Heidi tidak menyerah, memegangi ujung siku Olla sambil mengulang kalimat berbeda dengan arti sama. Ini tidak direncanakan, bukan bermaksud menjebak. Sejenak Olla menimbang untuk mengumpat, atau menyumpal mulut Heidi dengan apa pun yang ada di tasnya, tetapi ini tempat umum.

"Seriusan, La. Ini tuh, kecelakaan," cicit Heidi. "Dua jam lalu si pemilik tiket masih nongol di grup minta dibeliin tiket, eh, belum ada 5 menit gue keluar Starbucks, doi kasih pengumuman kena diare. Daripada ini tiket mubazir, mending dikasih ke lo."

Olla melayangkan tatapan datar ke Heidi. "Berisik."

"Ih, please deh, ini cuma nonton, Fayolla. Gue minta lo ikut nonton, bukan menyerahkan diri jadi sembelihan!" Heidi mengibaskan kertas berukuran persegi kecil di depan hidung Olla. "Ini aktor favorit lo, film yang lo tunggu dari tahun lalu. Wajar dong, kalau gue spontan ajak lo nonton."

Olla mendesah. Tidak ada yang salah dari ajakan nonton Heidi. Olla saja yang merasa asing dengan situasi hari ini, membuatnya tidak nyaman. Tiga tahun hidupnya tidak pernah kedatangan orang baru, perkenalan nama sambil lalu pun tidak pernah Olla izinkan terjadi. Tidak ada obrolan basa-basi, atau upaya mencocokkan diri. Hidupnya hanya diisi lagu-lagu favorit, kebawelan Heidi, dan sesekali pertanyaan basa-basi Mama nan jauh di sana lewat telepon atau Skype.

"Olla-"

"Berisik!" potong Olla.

Ketika Olla meluruskan pandangan, lima orang itu sedang berjalan balik ke arah mereka, membawa popcorn dan minuman. Perempuan di sampingnya tadi menaikkan kedua tangan, menggoyangkan kantong plastik, sambil tersenyum lebar. Memaksa ingatan Olla memutar adegan Dhika sedang menghampirinya dengan kedua tangan penuh popcorn dan cola. Spontan, Olla mengambil satu tiket dari tangan Heidi, berjalan cepat menuju studio dan masuk tanpa rombongan sirkus itu. Dia duduk di barisan F, di kursi terujung dekat tangga. Sesuai tiket pilihannya saat menyetujui rengekan Heidi.

Tidak sampai lima menit orang-orang itu menyusul, mengisi kursi di barisan yang sama, dan Heidi duduk di sebelah Olla sesuai perjanjian.

Ketika studio menggelap, Heidi menaruh sekotak popcorn ukuran kecil di pangkuan Olla dan lemon tea di tangan kursi.

"Karamel favorit lo, tadi gue titip ke Sam. Jangan protes! Nggak ada salahnya menikmati 'hidup' lagi, La. Nggak ada yang salah dari ini," bisik Heidi.

Olla mengesah memandangi popcorn karamel favoritnya, favorit Dhika ....

Sebelum adegan pertama dimulai, Olla mengembalikan popcorn ke pangkuan Heidi. "Lo paksa, gue pindah ke kursi lain."

*****

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Rasa tidak nyaman Olla sudah banyak berkurang selama film berlangsung. Alur sempurna dan akting mendukung. Seolah kepuasan yang dia dapat adalah hadiah utama, setelah melewati beberapa rintangan menyebalkan. Dia jadi orang terakhir yang keluar, sementara Heidi dan orang-orang itu keluar lebih dulu dari studio untuk ke toilet.

Sejujurnya Olla tergoda untuk pulang tanpa pamit, tetapi demi kesopanan, dia memutuskan menunggu. Siapa sangka, yang ditunggu ternyata sangat lama di toilet. Mau menyusul pun, Olla malas terlibat aktivitas yang memenuhi feed Instagram Heidi. Terkesan terlalu percaya diri, tetapi mengingat situasi sok kenal sok dekat saat menunggu tadi. Kemungkinan dia dipaksa, sangat besar.

"Maklumin aja kalau lama. Mereka memang pencinta kaca besar di toilet bioskop, apalagi ini hari biasa. Sepi. Puas gonta-ganti pose." Tiba-tiba lelaki bertumbuh gempal dan berambut gelap duduk di sisi kanan Olla, merapikan kacamata dengan santai, kemudian mengulurkan tangan kepadanya. "Devan."

Alih-alih menyambut, Olla bergeser untuk melebarkan jarak dan menyembunyikan kedua tangan di balik scarf. Dia sadar yang dilakukan terlalu kasar, tetapi menerima uluran tangan itu seperti upaya bunuh diri.

"Oh iya, lupa, tangan gue masih basah." Devan terkekeh. "Salam kenal juga." Terdengar tulus. "Itu Samuel." Devan mengarahkan telunjuk ke lelaki tinggi di depan mereka, berpenampilan khas eksekutif muda; kemeja slim fit yang memamerkan bisep, celana bahan, rambut tertata rapi oleh gel, dan sepatu pantofel.

Satu-satunya reaksi Olla adalah memalingkan wajah. Dia berharap bisa sedikit lebih ramah, tetapi seluruh tubuhnya bekerja secara otomatis. Seperti sudah terprogram untuk menolak apa pun bentuk koneksi dari orang asing.

Rasanya pergi tanpa pamit adalah pilihan cerdas saat ini, tetapi kemudian Heidi muncul.

Buru-buru Olla berdiri dan menghampiri Heidi. "Gue pulang. Thank you for today."

"Eh? Makan malam dulu aja, kami mau makan sushi. Favorit lo, tuh. Daripada di apartemen bingung mau makan apa, ujung-ujungnya mi instan," ucap Heidi, dengan ekspresi percaya diri bisa menggagalkan niat pulang Olla.

Olla tercenung. Sushi menggoda, tetapi dia sudah tidak sanggup lebih lama terjebak bersama orang-orang ini. Energinya habis, seolah habis mengikuti olahraga ekstrem.

"Olla?" Heidi berusaha meraih lengannya, tetapi Olla mundur dengan cepat.

Kemudian, dia menggeleng tegas lalu berbalik. Tidak peduli Heidi masih berusaha menghentikan.

Dalam hitungan detik segala upaya Heidi diganti teriakan; "Hati-hati! See you next time, Olla!", dan itu bukan suara Heidi.

Seperti maling ketahuan mencuri, Olla melangkah lebar-lebar keluar bioskop. Memeluk diri sendiri untuk mengurangi gemetar yang tiba-tiba melanda.

Heidi dan orang-orang itu tidak salah.

Olla-lah masalahnya.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Until We Meet Again-BAB 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya