Ada 826 Kasus Bunuh Diri di Indonesia pada Tahun 2022

Bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius. Menurut Tedros Adhanom, direktur jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap 40 detik ada satu orang yang meninggal karena bunuh diri. Sekitar 77 persen kasus bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Menyikapi fenomena tersebut, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengadakan virtual media briefing dengan tema “Fenomena Bunuh Diri di Indonesia” pada Senin (11/12/2023).
Narasumber yang dihadirkan ialah Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, direktur utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Apa saja yang dibahas?
1. Definisi dan data statistik terkait bunuh diri
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), definisi bunuh diri adalah seseorang yang meninggal karena melukai diri sendiri (self-harm) dan sedari awal bertujuan untuk mati. Sementara itu, percobaan bunuh diri adalah ketika seseorang bermaksud mengakhiri hidupnya dengan melakukan self-harm, tetapi nyawanya masih terselamatkan.
Lebih dari 700.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Dua negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi pada tahun 2022 adalah Korea Selatan (25,2 kasus bunuh diri per 100.000 penduduk) dan Jepang (17,5 kasus bunuh diri per 100.000 penduduk).
Dilansir Suicide Prevention Resource Center, bunuh diri adalah penyebab kematian ketiga pada kelompok usia 15–24 tahun, penyebab kematian keempat pada kelompok usia 35–44 tahun, dan penyebab kematian ketujuh pada kelompok usia 55–64 tahun.
Mengapa prevalensi bunuh diri di kalangan remaja dan dewasa muda sangat tinggi? Ini karena pada rentang usia tersebut korteks prefrontal belum berkembang sepenuhnya, sehingga mereka cenderung membuat keputusan yang impulsif ketika dihadapkan dengan masalah.
2. Prevalensi bunuh diri lebih tinggi di kalangan laki-laki
Dibandingkan dengan perempuan, laki-laki Australia 3 kali lebih mungkin meninggal karena bunuh diri, 3,5 kali lebih besar kemungkinannya bagi laki-laki Amerika Serikat (AS), dan 4 kali lebih besar kemungkinannya bagi laki-laki Rusia dan Argentina.
Salah satu alasan mengapa laki-laki lebih rentan bunuh diri adalah karena mereka diekspektasikan sebagai sosok yang kuat. Menceritakan masalah dan meminta bantuan dianggap sebagai pertanda kelemahan, sehingga banyak laki-laki yang memendam dan menyelesaikannya sendiri.
Selain itu, laki-laki juga lebih jarang mencari bantuan profesional. Karena egonya yang tinggi dan stigma yang berkembang di masyarakat, mereka menganggap orang yang berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater adalah orang yang memiliki masalah kejiwaan.
Tidak sedikit laki-laki yang melarikan masalahnya ke alkohol. Padahal, orang yang mengonsumsi minuman beralkohol dalam jumlah besar lebih mungkin memiliki pikiran untuk bunuh diri.
3. Kasus bunuh diri di Indonesia tahun 2022 lebih tinggi daripada tahun 2021
Menurut dr. Noriyu—panggilan akrabnya—kasus bunuh diri di Indonesia cenderung meningkat. Pada tahun 2022 terdapat 826 kasus bunuh diri, lebih tinggi daripada tahun 2021 (613 kasus). Data ini dikeluarkan oleh Polri pada 1 Desember 2022.
Tiga provinsi dengan kasus bunuh diri tertinggi tahun 2022 adalah Jawa Tengah (380 kasus), Jawa Timur (148 kasus), dan Bali (135 kasus). Para ahli menganggap kasus bunuh diri di Indonesia sebagai fenomena gunung es karena banyak yang tidak dilaporkan.
Berdasarkan Global School-based Student Health Survey (GSHS) 2015, ada 5,2 persen pelajar SMP dan SMA di Indonesia yang memiliki ide bunuh diri. Bahkan, 3,9 persen pernah melakukan percobaan bunuh diri!
Jika dibagi berdasarkan jenis kelamin, perempuan lebih mungkin memiliki pemikiran bunuh diri (5,9 persen versus 4,3 persen). Namun, kalau soal percobaan bunuh diri, lebih banyak laki-laki (4,4 persen versus 3,4 persen).
4. Faktor risiko ide bunuh diri pada remaja
Dokter Noriyu mengatakan bahwa ada empat faktor risiko ide bunuh diri pada remaja, yaitu:
- Loneliness: Kesepian adalah perasaan sedih karena kurangnya pertemanan, persahabatan, ikatan emosional, dan hubungan sosial dengan manusia lain. Ini adalah prediktor terkuat dan paling bisa diandalkan dalam mengenali ide bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
- Burdensomeness: Ketika seseorang merasa tidak cukup berkontribusi bagi orang lain, pemikiran bunuh diri mungkin akan berkembang. Misalnya, anak yang lama menganggur akan merasa bahwa dirinya adalah beban bagi orang tuanya dan menganggap dunia akan lebih baik tanpanya.
- Belongingness: Ketika seseorang berpersepsi bahwa dirinya expendable (mudah digantikan, ditinggalkan, atau dibuang) dan bukan bagian dari kelompok, ini akan membuatnya merasa tak berharga dan memantik pemikiran bunuh diri.
- Hopelessness: Kondisi ketika seseorang merasa putus asa serta kekurangan optimisme, gairah, dan harapan. Pemikiran bunuh diri mungkin akan timbul karena menganggap dirinya tidak punya masa depan, merasa stuck (tidak berkembang), dan tidak bersemangat dalam menjalani kehidupan.
5. Upaya untuk mencegah bunuh diri
Menurut Comprehensive Mental Health Action Plan yang dicanangkan oleh WHO, diharapkan pada tahun 2030 tingkat bunuh diri di Asia Tenggara akan berkurang 15 persen. Namun, ini tidak mudah dan perlu usaha ekstra untuk mencapainya.
Dalam level individu, salah satu hal yang bisa kamu lakukan adalah mengurangi toxic positivity. Ini adalah kondisi ketika seseorang dituntut mempertahankan pola pikir positif dan menekan emosi negatif sepanjang waktu.
Padahal, perasaan sedih, kecewa, takut, dan marah adalah bagian dari emosi alami manusia. Jangan mengecilkan perasaan seseorang dan menganggap masalahnya sepele. Alih-alih berkata “Halah, cuma gitu doang”, lebih baik ucapkan “I'm here, take your time”.
Selain itu, kamu bisa menghubungi hotline 0811-9791-0000 untuk konsultasi gratis 24 jam di D’Patens24 (salah satu layanan di RSJ dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor). Tidak hanya untuk orang yang memiliki ide bunuh diri, tetapi juga untuk keluhan psikologis lain. Bisa juga mengontak WhatsApp 0813-8007-3120 (khusus chat) pada hari Senin-Jumat pukul 07.00-15.00 WIB. Nantinya, kamu akan dilayani oleh tenaga kesehatan profesional, seperti psikolog, psikiater, dokter, dan perawat jiwa.