Masih Banyak Perempuan yang Alami Pelanggaran akan Otonomi Tubuhnya

Kita berhak untuk membuat keputusan tentang tubuh sendiri!

Sejak tahun 1978, Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) telah menerbitkan laporan Situasi Kependudukan Dunia (SWOP) dengan tema yang berbeda-beda. Pada Kamis (1/7/2021), UNFPA bersama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis SWOP 2021.

Sebelumnya telah diluncurkan pada April di New York City, AS dan Mei di Bangkok, SWOP 2021 mengambil tema " Tubuhku adalah Milikku: Mengklaim Hak Otonomi dan Menentukan Nasib Sendiri".

1. Apa itu otonomi tubuh?

Masih Banyak Perempuan yang Alami Pelanggaran akan Otonomi TubuhnyaIlustrasi perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Sebagai tema, otonomi tubuh termasuk ke dalam hak asasi manusia secara universal. Apa itu otonomi tubuh? Kepala Perwakilan UNFPA, Anjali Sen, menjelaskan bahwa otonomi tubuh berarti kemampuan seseorang untuk menentukan keputusan atas tubuh dan masa depannya tanpa intervensi orang lain.

"Otonomi tubuh adalah kemampuan untuk membuat pilihan dan keputusan atas tubuh dan masa depan tanpa ketakutan akan kekerasan atau paksaan, seperti kapan, apakah, dan dengan siapa kita ingin berhubungan seks dan hamil, serta kemampuan untuk mengakses layanan medis," papar Sen.

Menurut Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati, S.H., M.H., di Indonesia sendiri, kesetaraan gender dan otonomi tubuh adalah salah satu hal yang diperhitungkan dalam Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945, dan berbagai kebijakan sudah digelontorkan pemerintah RI untuk memayunginya.

Untuk pertama kalinya, laporan SWOP 2021 menekankan hak kesetaraan gender dan otonomi tubuh. Perilisan laporan SWOP secara tahunan adalah bagian dari tiga misi utama UNFPA, "Three Zeroes", hingga 2030 nanti, yaitu:

  • Mengakhiri kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi
  • Mencegah kematian ibu
  • Mengakhiri kekerasan berbasis gender dan praktik-praktik berbahaya di tahun 2030

2. SWOP 2021: Pemenuhan hak otonomi tubuh bagi perempuan dan anak perempuan masih jauh

Masih Banyak Perempuan yang Alami Pelanggaran akan Otonomi Tubuhnyapeluncuran State of World Population 2021 oleh UNFPA bertemakan otonomi tubuh (unfpa.org)

Sementara prinsip ini sering digaungkan, Anjali menegaskan bahwa otonomi tubuh pada perempuan dan anak perempuan dunia terus dieksploitasi.

”Kita semua berhak untuk membuat keputusan sendiri tentang tubuh kita sendiri. Namun, tidak semua bisa mendapatkan hak tersebut. Banyak orang, terutama perempuan dan anak perempuan, mengalami pelanggaran otonomi dan integritas tubuh mereka,” ujar Sen.

Dikutip oleh Kepala BKKBN, Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, SpOG(K), laporan SWOP 2021 memaparkan bahwa hampir setengah perempuan dan anak perempuan di 57 negara berkembang tidak memiliki hak kesetaraan gender dan otonomi tubuh. Selain itu, mereka pun menjadi sasaran dari praktik-praktik tak manusiawi seperti:

  • Perkawinan anak
  • Pemotongan dan pelukaan genital perempuan
  • Pemerkosaan dengan impunitas
  • Kawin paksa
  • Sterilisasi dan penggunaan kontrasepsi paksa
  • Pemerkosaan dalam perkawinan
  • Memaksa penyintas pemerkosaan untuk menikahi pemerkosa
  • Pemaksaan reproduksi
  • Tes keperawanan
  • Kesulitan mendapatkan akses pendidikan seksualitas yang komprehensif

Ketiadaan otonomi tubuh berdampak luar biasa dan melampaui bahaya yang dialami perempuan dan anak perempuan secara individu, seperti menekan produktivitas ekonomi, melemahkan keterampilan, hingga mengakibatkan biaya ekstra untuk layanan kesehatan dan sistem peradilan.

3. Kurangnya otonomi tubuh dan kesetaraan gender di Indonesia

Masih Banyak Perempuan yang Alami Pelanggaran akan Otonomi Tubuhnyailustrasi kesetaraan gender (unsplash.com/Micheile Henderson)

Pada 2020, Indonesia mencatat populasi perempuan sebanyak 49,42 persen ditambah 31,6 persen anak perempuan. Namun, sebagian besar dari mereka masih mengalami kekerasan dan pelecehan. Parahnya, pelakunya tidak lain adalah kenalan dan orang terdekat.

"Perempuan sebagai makhluk Tuhan mempunyai hak yang setara dengan laki-laki dan memiliki hak otonomi tubuh, sehingga tidak pantas dilecehkan apakah karena pakaiannya, bentuk tubuhnya,” ujar Susianawati.

Menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada 2016, 1 dari 3 perempuan Indonesia (15-44 tahun) pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Selain itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) pada 2018, 2 dari 3 anak Indonesia (13-17 tahun) mengalami kekerasan.

Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) KPPPA mencatat 14.821 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2020, didominasi oleh kekerasan di rumah tangga. Menurut SWOP 2021, tingkat kematian ibu di Indonesia adalah salah satu tertinggi di ASEAN per 2017, 177 maternal mortality ratio (MMR).

Baca Juga: Indeks Kesetaraan Gender di Indonesia Turun Peringkat, Ini Pemicunya

4. Otonomi tubuh dari perspektif keluarga berencana dan kesehatan reproduksi

Masih Banyak Perempuan yang Alami Pelanggaran akan Otonomi TubuhnyaReproductive Health Supplies Coalition on Unsplash" target="_blank">ilustrasi alat kontrasepsi (unsplash.com/RHSupplies)

Dokter Hasto mengatakan bahwa otonomi tubuh dapat meningkatkan derajat kesehatan. Hal ini dikarenakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia adalah kesehatan perempuan serta pencegahan kematian ibu dan bayi.

Akan tetapi, data SWOP 2021 mengatakan bahwa pada 2018-2019, persentase pernikahan dini di usia 18 tahun di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di ASEAN (16 persen).

Karena tubuh belum siap secara biologis, perkawinan dini dapat menyebabkan pendarahan dan persalinan macet, sehingga menyebabkan kematian ibu dan bayi. Di sisi lain, fenomena ini juga menyoroti ketiadaan hak otonomi tubuh bagi para perempuan dan anak perempuan, sehingga dapat dipaksa kawin.

“Organ tubuh sebenarnya tidak sanggup jika dikawinkan pada usia muda,” ujar Dr. Hasto.

Jika dipaksa kawin atau diperkosa, organ reproduksi kaum hawa yang tidak siap dapat terpapar pada risiko kanker mulut rahim yang lebih besar. Bercermin pada negara-negara maju yang tidak lagi takut pada kanker mulut rahim, penyakit ini masih jadi pembunuh perempuan paling mematikan nomor 2 di Indonesia.

Masih Banyak Perempuan yang Alami Pelanggaran akan Otonomi Tubuhnyailustrasi seorang perempuan yang merenung (pexels.com/Tung Vu)

Jadi, kenapa Indonesia belum menghargai otonomi tubuh? Dokter Hasto memberikan tiga faktor yang konkret:

  • Kurangnya pengetahuan
  • Keyakinan yang memengaruhi perilaku
  • Sentimen negatif terhadap pendidikan seksual

Sebagai contoh, beberapa keyakinan mengharuskan sunat perempuan. Sementara sunat pada laki-laki sudah umum diketahui manfaatnya, sunat perempuan dapat mengakibatkan kerusakan pada organ reproduksi. Sekali lagi, fenomena ini menggambarkan ketiadaan otonomi tubuh pada perempuan.

5. Otonomi tubuh dari perspektif keagamaan

Masih Banyak Perempuan yang Alami Pelanggaran akan Otonomi Tubuhnyailustrasi kesetaraan gender (banyanmentalhealth.com)

K.H. Husein Muhammad mengatakan bahwa terdapat tiga kekuatan utama yang membentuk kehidupan:

  • Tradisi
  • Aturan negara
  • Pandangan keagamaan

Berkenaan dengan otonomi tubuh, pandangan keagamaan adalah salah satu masalah terbesar, karena masih dilandasi oleh paham patriarki yang mengutamakan otoritas kaum Adam. Konon, laki-laki adalah, pemimpin, pelindung, pengayom, dan pendidik para perempuan. Pandangan ini kemudian membentuk sistem relasi antar kedua gender.

Dengan kata lain, laki-laki adalah subjek, sementara perempuan adalah objek.

“Tuhan tidak menilai seseorang dari jenis kelaminnya, tetapi dari iman dan takwanya... Jangan paksa generasi mengikuti tradisi karena mereka dilahirkan dalam ruang dan waktunya sendiri,” ujar K.H. Husein.

Komitmen kepada kemanusiaan membuktikan ketakwaan seseorang terhadap keyakinannya. Basis aturan kita adalah HAM, termasuk pemenuhan hak otonomi tubuh dan kesetaraan gender. Oleh karena itu, baik aturan agama dan negara seharusnya didasari pada HAM.

6. Otonomi tubuh dari perspektif sosial

Masih Banyak Perempuan yang Alami Pelanggaran akan Otonomi Tubuhnyailustrasi catcalling (freepik.com/zinkevych)

Selanjutnya, Koordinator Nasional Gusdurian Network, Alissa Wahid, mengatakan bahwa konsep otonomi tubuh sering kali terlalu dibuat simpel. Contoh, konsep umum otonomi tubuh adalah hanya menjangkau kebebasan berpakaian bagi perempuan. Padahal? Lebih dari itu!

Alissa kemudian mengutarakan bahwa faktor utama yang mendasari perkawinan anak yang marak bukan cuma agama dan tradisi, melainkan pandangan sosial. Dikarenakan konstruksi pandangan sosial terhadap anak perempuan, mereka tidak berdaulat akan tubuh dan masa depannya, terutama pendidikannya. 

“Pandangan umum terhadap anak perempuan adalah menikah berarti membantu keadaan ekonomi keluarga. Lalu, jika tidak menikah, maka anak perempuan bisa dianggap aib karena dilihat tidak laku,” papar Alissa yang juga adalah putri dari Presiden ke-4 Indonesia, DR. (H.C.) K. H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Lalu, apakah ada cara untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap otonomi tubuh secara keseluruhan? Alissa memberikan empat strategi yang dapat dilakukan secara bertahap, yaitu:

  • Perubahan kebijakan negara
  • Pendekatan teologis
  • Peran organisasi masyarakat sipil
  • Perubahan perspektif masyarakat akar rumput

7. Otonomi tubuh dari perspektif kaum muda

Masih Banyak Perempuan yang Alami Pelanggaran akan Otonomi Tubuhnyailustrasi mencintai karena terpaksa (pexels,com/Pixabay)

Sikap orang muda terhadap otonomi tubuh tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Konsep otonomi tubuh kabur karena ada persepsi sosial di masyarakat yang menanamkan bahwa mustahil seseorang, terutama perempuan, dapat memiliki otonomi tubuh.

Menurut Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany, definisi otonomi tubuh pada pribadi harus mempertimbangkan konstruksi sosial yang ada, terutama dari keluarga dan lingkungan sekitar. Jika seorang anak dibentuk berdasarkan hukum patriarki, maka ia pun akan tumbuh dan mengabaikan otonomi tubuh.

Banyak perempuan Indonesia tidak memiliki keistimewaan untuk menjadi mandiri, terutama secara ekonomis. Alhasil, mereka bergantung pada sosok laki-laki sehingga mereka tidak mampu mencapai otonom tubuh dan membiarkan sosok laki-laki memutuskan atas tubuh dan masa depannya.

Tidak jarang, negara ingin ikut campur. Pada 2020, terdapat RUU Ketahanan Keluarga yang mengenai peran istri dan suami. Kejadian ini justru membuat pemahaman otonomi sosial semakin kabur.

“Pemahaman otonomi tubuh tidak bisa 100 persen, bila kita tidak bisa menyelesaikan persoalan sistemik, seperti pendidikan, pengentasan kemiskinan struktural, baru kita bisa melakukan edukasi otonomi tubuh,” tandas Tsamara.

https://www.youtube.com/embed/TdFz6FiZ2bs

Pemenuhan otonomi tubuh dan kesetaraan gender menjamin peran perempuan dalam masyarakat dan bernegara. Karena ras, jenis kelamin, orientasi seksual, dan beberapa faktor lainnya, otonomi tubuh pun direnggut, sehingga para perempuan tidak dapat menentukan pilihan atas tubuh dan masa depannya, layanan kesehatan, serta pendidikan.

Untuk itu, pemerintah juga harus bertindak untuk memberi pemahaman otonomi tubuh kepada seluruh lapisan masyarakat, agar perempuan dapat membuat keputusan untuk tubuhnya dan masa depannya sendiri, dari segi ekonomi hingga kesehatan reproduksi.

Bagaimana pun, perempuan adalah sosok pertama dan penting dalam keberhasilan keluarga hingga negara. Oleh karena itu, marilah kita menyebarluaskan hak-hak otonomi tubuh untuk para perempuan, bahwa tubuh dan takdir mereka adalah milik mereka sendiri.

Baca Juga: COVID-19 Bikin Kesenjangan Gender di Berbagai Bidang Makin Lebar

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya